Senin, 23 Februari 2015

Teluk Kao, Kau dan Aku

Tiba-tiba terasa getaran keras, diikuti suara dsingan angin. Ku tengok kejendela terlihat aspal dengan garis putih putus-putus. Bangunan kecil di salah satu sudut tanah ini, pertanda sudah mendarat di bandara Kao. Inilah Bandara Kao, di Halmahera Utara, bandara kecil yang tidak setiap hari menerima penerbangan.
 Aku dan teman-teman turun dan menyisihkan beberapa saat waktu kami untuk ber-selfie­ dengan latar belakang pesawat berbaling-baling. Setelah itu kami berdesakan mengambil bagasi kami, maklum bandara ini bukan seperti bandara besar dan terkenal. Walau bandara ini hanya melayani penerbangan lokal, aku pikir ini akan menjadi pengalaman yang mengasikan, pengalaman menjelajah salah satu sudut Nusantara.

Sebenarnya aku pun tak tahu tiba-tiba aku berada disini. Tiket pergi-pulang kuhabiskan sekitar enam juta rupiah ditambah anggaran untuk liburan ini sama dengan uang hasil tabunganku semasa kuliah dan satu tahun gajiku. Namun sempat ku pikir konyol juga uang sebanyak itu tiba-tiba habis dalam satu minggu kedepan.

Tujuan utama kami berlibur adalah menyelam di Tanjung Kakara, sebuah pulau di Teluk Kao, seberang kota Tobelo, Halmahera Utara. Kata teman sih pantai di situ bagus dan lokasi Tanjung Kakara gak kalah bagus dibandingkan lokasi menyelam yang lain. Walaupun ku pikir semua pantai di Indonesia timur memang bagus-bagus.

Lima orang temanku Utami, Anggun, Desita, Jati, Delon dan aku; Karang Nagari memulai petualangan kami di bumi Halmahera. Mereka adalah temanku semasa kuliah yang hingga kini masih tetap keep in touch. Seperti reuni saja.

“Eh, tidak ada bus ke kota kah?” kata Utami.
“Tidak tahu, sepertinya hanya travel” jawab Jati.

Memang tak ada plat nomor kuning disini, yang ada macam mobil keluarga yang sopirnya terus presuasif mengajak kami menumpang mobilnya dengan bahasa yang kurang aku mengerti.
“Nggun, tasmu terbuka,” kataku sembari berjalan.
“Oh iya, bisa minta tolong tutupkan?” sahut Anggun dan ku tutup tasnya tanpa kata, dia menoleh dan berkata “dah yuk, ikut salah satu mobil aja, tanya berapa tarifnya ke kota.”
Ya, Anggun, ketika menoleh dan berkata-kata pun anggun, serasi dengan namanya, dialah salah satu gebetan aku sejak kuliah.
Kejadian selanjutnya berupa tawar menawar antara Jati dengan salah satu sopir mobil, dan akhirnya dikenai biaya dua ratus ribu rupiah untuk berenam dalam satu mobil. Perjalanan itu cukup lelah namun menyenangkan pikirku, setelah semalam transit diberbagai tempat, pagi ini akhirnya sampai. Selama perjalanan ke kota, kulihat pohon kelapa luar biasa banyaknya, tak heran bila memang ada senandung rayuan pohon kelapa.
Perjalanan itu singkat namun kami nikmati, terkadang terlihat pantai dengan pasir hitam dan bayak pohon kelapa. Sesekali menyembul rumah yang  terletak jarang-jarang, tidak pedesaan di Jawa. Sesekali terlihat sampan, perahu diparkir di pasir pantai dari jendela mobil ini. Canda tawa dan obrolan menyenangkan menemani perjalanan ini.
Tak tahu arah, kami memutuskan tingal semalam di hotel dekat pelabuhan Tobelo. Hotel dengan fasilitas seadanya dan cukup murah bagi kami. Hari itu kami beristirahat sampai siang dan sore hari Utami mengajak untuk berkeliing kota.
“hey, ayo bangun, udah siang nih, yuk main keliling kota sebelum besok pagi kita ke pulau” ajak Utami tiba-tiba muncul di kamar cowok dengan bersemangat,
Kami dengan sedikit malas-malasan kemudian mempersiapkan diri. 14.00 kami keluar hotel. Matahari cukup terik dikala bulan pertengahan tahun ini. Kulihat di ponselku 34o C di kota Tobelo dan real feel-nya 39o C.
“Wah, pantas panas sekali! Lihat ni di aplikasi ponselku” ku berseru sambil menunjukan temperatur kota ini.
“Ya ampun, ga nyangka sepanas ini ya..” kata Jati.
“Kan disini lebih deket ke kathulistiwa daripada di Jawa” sahut Delon.
Karena masih terang, kami memutuskan untuk berkeliling, dan kami memutuskan untuk menggunakan bentor kendaraan becak bermotor, kami sewa dua bentor dan berkeliling Kota Tobelo yang kecil. Pengemudi bentor menjadi guide kami, dia membawa kami melewati gedung kantor bupati Halmahera Utara yang berbentuk segi delapan.
“Lihat itu, keren ya gedung pemerintahannya” seruku, “di jawa kliatannya gak ada yg bangunannya se ‘wah’ itu”
“Iya tuh, cocok, megah sebagai gedung pemerintahan” jawab Jati.
Perjalanan kami diteruskan melewati Hibualamo, seperti pendapa namun bersegi delapan rumah khas Tobelo. Kami juga dilewatkan universitas di Tobelo. Kemudian aku usul untuk ke kantorpos daerah itu sebelum tutup. Aku berencana mengabari orangtuaku dan kakakku kalau aku sudah sampai di Tobelo.
“Aku mampir kantorpos dulu ya, bentar, mau beli kartupos” kataku sambil melangkah turun dari bentor.
“Eh, aku ikut, aku juga mau kirim kartupos” kata Anggun juga ikut turun bentor.
Kami berdua masuk kantorpos dan membeli kartu pos dan perangko. Sampai ke Jawa prangko hanya butuh tiga ribu rupiah ternyata.
“kau tulis surat pada siapa Nggun?” tanyaku.
“Ke tanteku, kan aku tinggal sama tanteku” jawab Anggun.
“Oh, kirain buat cowokmu.”
“Eh, ngawur, belum punya ya..”
“Ah, masa sih, sejak lulus kuliah masa belum dapet juga”
“Beneran, suwer, ngejek kamu ah..!”
“kalau gitu ndaftar jadi calon boleh?” kataku sambil sedikit berlari menyerahkan kartuposku untuk di cap pada petugas.
“Gakkkk!” jawabnya spontan, “Heh, tunggu!”
Kami berdua lalu keluar kantorpos dan perjalanan terakhir kami dengan bentor di sekitaran pelabuhan. Di dekat pelabuhan ternyata ada pasar tradisional, tak jauh dari pasar ada juga supermarket, sepertinya satu-satunya di Tobelo. Setelah itu kami kembali ke hotel.
***
Petang hari, 18.30 masih serasa pukul 17.00 sore di Jawa. Kami bersama-sama keluar berjalan ke arah swalayan untuk membeli bekal ke pulau untuk tiga hari disana. Berjalan melewati pasar, seperti trotoar di Indonesia yang lain, sebagian digunakan untuk berjualan juga. Melewati pasar, ada hal unik, seperti gula aren yang bulat dibungkus daun kering, sepertinya daun palem. Tentunya itu hal yang khas dari daerah sini dan kupikir aku harus membelinya untuk oleh-oleh. Para penjual menampilkan dagangannya dengan unik, diletakkan dalam piring-piring, begitulah etalase dagangan mereka.
Sesampainya di swalayan itu, kami berbelanja.
“kamu Cuma beli itu Ri?” tanya Anggun.
“Iya, ngapain  beli banyak-banyak, berat ah” jawabku.
“tapikan disana di pulau, ntar ga ada yang jual pas kamu butuh kapok kamu”
“biarlah, ntar pasti juga ada diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa”
“Ah, Ngaco kamu mah!”
Sisa malam itu kami habiskan di hotel. Kami ngobrol ramai hingga mengantuk dan packing untuk esok hari, mempersiapkan untuk tinggal tiga hari di pulau yang kami belum pernah datangi.
***
Pagi itu pukul 7.30 kami sudah on the way ke pelabuhan. Pelabuhan ke Kakara arahnya belok kiri sebelum gapura masuk pelabuhan utama, dan dari situ belok kanan dan tak jauh dari situ sudah dapat ditemui dermaga. Dua kapal bercadik siaga disitu dan kami akhirnya menumpang kapal yang berwarna hijau. Kapal ini beratap sehingga ketika masuk kami perlu sedikit membungkuk. Kapal kecil ini sudah memakai mesin di yang berada di bagian tengah sedikit kebelakang, diatasnya kemudi kapal. Mesin itu dihubungkan dengan besi yang memutar baling-baling di belakang kapal. Orang sini menyebutnya katinting.
Mungkin perjalanan 10-20 menit saja, tak kulihat jam tanganku karena asik ku lihat laut yang begitu jernih dan berganti-ganti warna dari hijau muda yang menandakan dangkal, kadang warna putih terpantul dari karang-karangnya, dan bila hijau-biru gelap berarti pertanda perairan dalam. Ditengah perjalanan sebuah kapal tangker terlihat berjalan pelan meniti laut dalam menuju ke pelabuhan Tobelo.
Saat itu sedang surut, kami tiba di Tanjung Kakara dan sedikit kesulitan karena adanya gap antara katinting dengan dermaga. Dermaga yang terbuat dari kayu itu menyambut kami menghantarkan ke pasir putih Kakara. Sedikit masuk dari pantai terdapat bangunan yang merupakan rumah kami untuk tiga hari kedepan.
“yuk buruan ke guest house, lalu kita nikmati pantai ini” kata Utami.
Dia bergegas ke guest house itu dan menanyakan mengenai reservasi kami. Setelah kami bongkar muat barang di kamar, kami langsung menuju pantai dengan celana pendek dan membawa kacamata renang.
“Amboi… indahnya… dari Tobelo tadi sampai sini tak ada ombak sama sekali, beda dengan pantai laut selatan Jawa!” kata Anggun dan kami semua mengiyakannya.
“Ayuk Nggun, renang” kataku sesudahnya.
Aku, Anggun, Jati dan Delon langsung masuk ke air, sedangkan Utami hanya bermain air dipinggir dan Desita menikmati pasir pantai. Indahnya pantai ini, tidak dalam, karangnya menggiurkan untuk dilihat hanya saja nafas memaksa untuk segera keluar dari air untuk menarik oksigen yang dihasilkan pulau yang penuh dengan pohon kelapa ini.
“Keren banget ya disini!” kata Jati, “biasanya lihat kaya ginian cuma di google atau TV sekarang bisa ngalamin beneran!”
“Iya, bener banget kamu Jat!” kataku.
Sambil menyelam minum air, sambil menyelam ku mengamati gerakan Anggun berenang, sekali lagi, benar-benar Anggun. Rambutnya yang lurus menggelombang terkena air ketika berenang. Wajahnya menjadi lebih manis dengan latar belakang pemandangan dalam air. Andai dengan liburan ini aku bisa dipersatukan dengan dia.
Tak takut gosong kami berenang hingga menjelang tengah hari, dan siang hari kami makan makanan khas daerah situ, Ikan bakar dengan ketela goreng bersama sambal, kata orang guest house ni sambal namanya dabu-dabu. Lezat juga walau menurut kami ‘hanya’ ketela namun ternyata ini menjadi makanan utama disini.
Siang sampai sore kami habiskan untuk bermalas-malasan di pasir dibawah pohon di pantai ini. Menjelang tenggelamnya sang surya, kami segera berbilas dan menuju dermaga di tanjung ini untuk menikmati matahari tenggelam. Gunung Mamuya di daratan Halmahera dengan langit keemasan menjadi latar belakang tenggelamnya matahari. Air laut menjadi keemasan juga. Semakin gelap langit semakin terlihat kelip-kelip di air.
“Eh teman-teman lihat, tu ada kelip-kelip di air apaan ya?” kataku.
Bagaikan kunang-kunang air, kelap kelip.
“Mungkin ikan bercahaya?” jawab Jati.
“Atau makhluk gaib Ri?” kata Anggun.
“Ah, ngaco kamu Nggun” kataku.
 Awalnya kupikir itu pantulan cahaya, namun entahlah mungkin benar itu sejenis sepesies kunang-kunang dalam air. Pastinya suasana itu suasana paling romantis yang ada, seharusnya. Karena itu aku coba ajak ngobrol Anggun sebisaku, walau kami berenam teman dekat tapi kikuk juga bila ada maksud ‘tertentu’ ketika ngobrol. Di sisi lain, Desita menikmati petang itu dengan caranya sendiri, diam. Dia memang terkenal pendiam namun bila kami ajak untuk main pasti langsung ikut, seperti liburan kali ini.
***
“Aduh, sakit” tiba-tiba Anggun berteriak. Dia terjatuh sepertinya tersandung akar pohon, dan perlengkapan menyelamnya jatuh semua. Pasir menempel di tubuhnya yang masih basah.
“kenapa Nggun?” kataku sambil mendatanginya, “gak apa-apa kan?”
“gak apa-apa kok, Cuma tersandung aja” jawabnya sambil mengambil barang-barangnya yang terjatuh.
Setelah mengembalikan peralatan menyelam kami bersantai di pinggir pantai lagi.
“Nggun, itu kaki mu agak bengkak?” kataku tiba-tiba padanya.
“Iya masih sakit nih, mungkin terkilir juga” jawab Anggun.
“Aku ambilin salep ya, liburan belum ada setengah, ntar malah tambah buruk” kataku sambil beranjak ke guest house dan mengambil salep untuk kesleo.
“Ni salepnya, aku olesin ya” tidak tau mengapa tiba-tiba kata-kata itu muncul dan kulakukan. Ku olesi salep pada kakinya yang sedikit bengkak.
“Makasih ya Ri” katanya setelah ku oleskan salepnya.
Sisa hari itu kuhabiskan lebih khusus berada dekat Anggun. Juga pada api unggun kecil-kecilan di pinggir pantai yang kami lakukan di malam terakhir di pulau.
“Eh, tidur di luar aja yuk malam ini? Kita nikmati malam ini tidur di pantai.” Kata Jati, dan semuanya setuju.
Malam itu satu persatu tertidur, tersisa aku dan Anggun masih terjaga berbagi certia masa lalu dan masa kecil. Akhirnya dia pamit untuk meringkuk di tikarnya berselimutkan kain. Nyala api unggun kecil dan ku menyusul tidur meringkuk dengan jaket dan sarungku.
Sekitar pukul 3.00 pagi aku terbangun, api unggun tinggal bara, dan Anggun terlihat kedinginan dibalik selimutnya yang tipis. Terlihat tidurnya tidak tenang karena kedinginan walau dia tidak terbangun. Memang itu bukan selimut namun kain pantai. Lalu kulepas sarungku dan ku selimutkan padanya, dan kulanjut tidur malam itu.
“Makasih ya semalem.” Kata Anggun di pagi hari sebelum kami mandi pagi di pantai.
“makasih apa Nggun?” jawabku.
“makasih udah kamu pinjemin sarungmu semalem, itu kan sarungmu tiba-tiba terselimutkan ke aku. Siapa lagi yang punya sarung kotak-kotak biru disini selain kamu”
“Oh, iya, sama-sama. Soalnya aku kebangun liat kamu kliatannya kedinginan gitu, maka aku selimutin.”
“Ok, makasih ya,” katanya sekali lagi sambil berlari masuk ke air.
***
Kami berkemas, siang itu dan tiba-tiba penjaga guest house itu nimbrung.
“Barangkali tinggal semalam lagi? Belum berwisata ke desa kan?” kata penjaganya dengan dialek lokal.
“Eh, memang ada desa disini Pak?” kataku.
“Ada, desa Kakara namanya, seperti nama pulau” kata pak Kristo penjaga guest house, “ kalau mau bisa jalan, paling 10 menit atau naik katinting langsung ke dermaga desa”
“Mungkin siang ini sampai sore kita bisa disana, lalu petang kita baru balik kota bagaimana?” kata Jati menjawab dan menawarkan ide pada ku dan teman yang lain.
Akhirnya kami setuju untuk berjalan ke desa dengan pemandu Pak Kristo, dan baru petang hari kami tolak ke kota via pelabuhan desa Kakara. Siang itu dengan tas penuh, kami berjalan menyusuri bakau dan kebun kelapa. Sesekali dan semakin sering menemui manusia berarti rumah penduduk sudah dekat. Memang benar, setelah melwati kuburan kecil, rumah penduduk terlihat. Beratap seng dengan dinding papan kayu atau batako, satu dua rumah masih menggunakan atap daun.
Desa Kakara ini hanya mempunyai satu jalan dengan ujuung dermaga dan sekolahan di sisi dalam pulau. Di tengah desa kami diajak Pak Penjaga untuk mampir ke rumah seorang perajin, disitu kami diperlihatkan pembuatan Salawaku, perisai khas Tobelo dan pernak pernik terbuat dari kerang kecil, disini mereka menyebutnya bia.
“Mari kebelakang, torang minum kelapa muda, bahasa Tobelonya O giyau kelapa muda. Saya punya beberapa pohon” kata pak Jesen sang pengrajin.
“Boleh pak?” kataku.
“Mari-mari, ikut saya kebelakang”
Dengan cekatan dipetikkan beberapa kelapa muda dan dengan parang yang tajam Pak Jesen membukanya. Segarnya bukan main! Apalagi ditengah terik panasnya pulau ini.
Setelah minum kelapa muda, kami diberikan kenang-kenangan berupa gelang dari kerang. Secara pribadi aku meminta sebuah untaian kerang yang sedikit panjang, berupa kalung untuk aku. Bapak pengrajin yang baik hati itu memberikannya juga padaku.
Menjelang petang, kami ke dermaga, di dekat dermaga ada rumah adat Hibualamo. Bersegi delapan dan terbuka. Kami menghabiskan petang itu di dermaga untuk melihat matahari tenggelam lagi sebelum kami bertolak ke kota Tobelo. Anak-anak desa Kakara terlihat asik bermain di dermaga, berrenang ada yang memancing juga. Beberapa katinting terlihat datang untuk pulang.
Petang menjelang, matahari sudah menyentuh garis cakrawala. 18.40. cahaya keemasan membuat langit dan laut berwarna sama. Di petang yang romantis itu kuberanikan diriku untuk berucap, “Nggun?”
“Ya?” jawabnya.
“Ehm… mau gak kamu jadi pacar aku?” kataku lemah sedikit terbata-bata.
Dia tersenyum dan kembali menghadap cahaya keemasan matahari. Hal itu membuatku acakadut. Perasaan ini jadi tidak enak. Beberapa menit kami dalam keheningan.
“Oke” jawab Anggun tiba-tiba sembari tersenyum.
“Eh, anu… beneran?” kataku canggung.
“Beneran, kamu juga beneran kan nembak aku?” balasnya.
“Eh, iya… em… kalau gitu ini buat kamu…” kataku sambil menyerahkan kalung dari kerang yang kuminta dari pak pengrajin di desa itu.
“Ah, kamu kok dapat ini? Darimana?”
“Iya dong, sini aku pakaiin.” Kataku sambil mencoba mengkalungkan untaian itu ke lehernya. Dia tersenyum dengan kalung itu di lehernya manis sekali wajahnya. Kemudian kami kembali menghadap ke matahari yang tinggal separuh di cakrawala. Dia menyandarkan kepalanya dipundak aku sembari menatap arah yang sama. Petang itu di Kakara, pulau karang. Hatiku teguh bagaikan karang menyatakan cintaku yang diterima

14- Jul-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar