Rabu, 02 November 2016

Sepi dalam bingkai (ku)

“Sepi… adalah ketika tak ada lawan tanding yang setara.
Entah karena mereka lebih tinggi ataupun lebih rendah.
Magel, adalah kata lain dari sepiku.”

Diatas adalah cuplikan dari salah satu bait puisi yang pernah saya buat. Memperingati hari raya nyepi, hari raya yang bisa dibilang unik. Unik karena biasanya hari raya ialah saatnya untuk “Hore!” karena ada kata ‘raya’ dalam frasa tersebut, tetapi dalam hari besar ini, pe-raya-an hanyalah awal dari suati inti; nyepi.

Sepi berarti tak ada lawan tanding, yang berarti tak ada dialog, diskusi, debat ataupun jotos-jotosan. Dalam arti harafiah maupun dalam lingkup pikiran. Dunia ini begitu ramai akan dialog akan kesenjangan, bahkan manusia dengan alam pun memiliki kesenjangan yang ekstrim. Mencoba menghilangkan kesenjangan tersebut merupakan bentuk nyepi. Alam terlalu keji, ya sudah biarlah demikian, Gunung itu terlalu tinggi, ya sudah, biarlah demikian. Tak perlu ada jotos-jotsan rasa dan keinginan untuk melebihi, atau mengurangi. Itulah sepi.

Menghilangkan tandingan adalah upaya awal. Tandingan tersebut ada di dalam pikiran, dan itu yang paling rumit untuk dilawan, karena kita terus membutuhkan lawan. Lantas apakah dengan nyepi kita menghadirkan lawan berupa sepi itu sendiri?


Begitu banyak rambu di jalan, tapi tak ada yang mematuhi. Mereka tau tapi tidak mau tahu. Begitu juga yang kurasakan, bahwa berbagai macam hal punya pola dan korelasinya, tetapi aku bisa apa?

Bisa jadi adalah lingkungan aku dibesarkan, yang menuntut kesendirian. Imaji mengerikan akan perempuan sering terlewat di benak. Hingga playstation adalah teman terbaikku.

Alkitab bukanlah hal yang harus dipelajari di gereja setiap minggu sekali/dua kali. Tapi bisa dipelajari di rumah. Dan hal itu membuat kesendirian berdampak lebih lanjut.

Kesendirian dikala mereka ribut mengenai kulit luar, dan aku tertarik pada hal yang orang-orang tidak tertarik. Maka aku tidak menarik.

Berbagai pola muncul jelas dan terarah menuju kemana, dan aku menjadi aneh.

Sepi…..

11-24 Juli 2016 (Part 4 Final)

Tuhan sudah merencanakan semuanya…

Kami bertiga melanjutkan lagi sekitar dua kilometer dan ketemu Mie ayam, tanpa pikir panjang makan sudah meski di sebrang jalan! Ketika mau nyebrang, pesepeda touring lewat dan kami sapa, ternyata beliau berhenti. Acara berlanjut berkenalan, selfie dan berkenalan di media sosial. Namanya Wing Sentot Irawan. Dengan sepeda federal cat gelap, sadel yang punya suspensi klasik. Panier belakang full loaded ditambah pompa ban yang khas di ikat di belakang sepeda. Beliau memilih lanjut ketika kami tawari untuk makan bersama.

Swafoto bersama Wing Sentot Irawan
Memang harga sesuai bannernya, murah. Enam ribu rupiah tapi porsi dipersedikit.

Perjalanan lanjut ke arah Sarangan, kami melewati daerah Plaosan terlebih dahulu. Merasa begitu lelah, ternyata madu harganya mahal. Urung niat beli madu untuk energi ekstra. Memasuki tanjakan utama, kecepatan nggremet tak bisa dihindarkan.

Empat sore, lima sore setengah enam sore baru kami sampai Sarangan. Perlahan tapi yang pasti tiap tanjakan kami istirahat. terimakasih sekali pada Bung Tito yang ngemong dua keong ini ^_^  Tidak mengambil ke arah telaga, kami lanjut dan istirahat magrib di warung. Cek rem dan kesiapan sepedaku, tak lupa tehh panas menemani. Hari mulai gelap dan kami lanjut. Tak sampai tanjakan berikutnya usai. Hujan datang. Segera mencari warung yang tutup, dan kami okupasi. Sepeda tak bisa terlindung dengan baik dari hujan, begitu juga kami. Derasnya hujan melembabkan kami dengan tampiasnya. Elisa tidur dan minta dibangunkan kalau ujan reda. Dingin tak tertahanakn terimakasih lagi pada Bung Tito untuk perapian spiritusnya.. kopi dan biskuit hangatnya.. sleeping bag seharga Rp 82 ribu gagal menjamin kehangatan semalaman..

Menggigil ketika tidur, ialah musik malam itu. Dingin ialah selimut, hujan sapaannya. Warung milik siapa, kami berterimakasih…
Malam yang dingin, kabut, gelap, kayu dan tikar…

hujan usai dan kami batal melanjutkan perjalanan karena dinginnya begitu uhuy. Bung Tito membuat api-api untuk menghangatkan diri. Sedikit menghangatkan lanjut tidur. Elisa bangun dan api-api. Sempat terbangun sebentar untuk memakan beberapa biskuit dan lanjut tidur.

...............................................................................................

24 Juli,

setelah subuh terbangun, dan menemui Bung Tito brukut di balik tembok kios, mengokupasi wc di dekat situ untuk mencicipi air es ala Sarangan dilanjut persiapan perjalanan hari terakhir.
tidak berani langsung digenjot

tak berani langsung pancal karena otot begitu kaku kedinginan, bersama kami tuntun hingga dua tanjakan. Jalan agak datar lanjut kami kencangkan otot memancal pedal. Berat rasanya otot dingin disuruh mengeluarkan energi untuk nanjak. Hangatnya sinar mentari tak dapat dipungkiri memberi kekuatan bagi otot juga.


tiba di simpang jalur lawu lama dan baru, setelah berfoto maka dipilihlah jalur lama karena lebih dekat meski tanjakannya syahdu. Jalur ini sepi, dan semaknya gondrong.
persimpangan jalur lama (kiri) dan baru (kanan)

Ketika kendaraan besar lewat kami harus mengalah karena jalannya yang sempit. pantas dibuat jalur lawu baru yang lebih landai dan luas. Banyak waktu digunakan untuk mendorong sepeda, dan baru satu tanjakan butuh asupan gizi. Dibukalah mi instan dan dimakan untuk energi, tak lupa di tikungan terakhir kami masak air untuk hangat-hangat.
gegenen

Ilusi optik ketika ketemu jalur utama lagi. Jalur serasa datar tapi tetap berat dikayuh. dan setelah  jam berjuang, kami sampai Cemoro Sewu. Jelas kami foto-foto di situ. istirahat dan cari kamar mandi, baru lanjut perjalanan turun.
foto di cemoro sewu


Lupa belum sarapan, sewaktu turun ada pencucian wortel gesit aku langsung minggir dan nempil wortel untuk sarapan.

"misi Bu, boleh nempil wortelnya satu?"
"boleh mas, satu apa? kilo napa karung?"
"mboten bu, satu biji aja"
"woalah, monggo ambil aja, itu mbaknya juga ambilkan sekalian"

dan akhirnya sarapan wortel.

turunan di jalur baru arah Cemoro Sewu dari Tawangmangu begitu indah. sejuk, dingin, dan turunan yang tak habis-habisnya. berhenti untuk berfoto di beberapa titik. dan makan siang di dekat Terminal Tawangmangu. Makan soto nyam-nyam.
perjalanan turun itu berasa begitu lambat, padahal tercatat kecepatan bisa sampai 40km/jam. Sore kami sampai di Karanganyar dan makan sore di Solo. di Kartasura juga berhenti untuk sholat Magrib dan cuci-cuci sebelum melanjutkan 60km terkahir perjalanan kami.

perjalanan pulan melewati jalan Solo ini penuh keharuan dan ke-embuhan. 60km terberat, terutama secara mental pribadi. perjalanan paling menguras emosi, sehingga ada yang aneh sedikit gimana gitu.. sempat bertemu dengan rombongan PITNIk yang pulang dari Down Mall di Solo dan berfoto.

konflik batin muncul ketika, salah komunikasi dengan Elisa dan Bung Tito melaju begitu cepat, dan saya tertinggal di belakang. ketika mencoba ngebut mengejar, dan akhirnya tak ketemu 2 orang itu di depan. ahirnya pecah ra karuan rasa ini. Sepeda saya ambrukkan di pinggir jalan gapura masuk klaten, dan mengistirahatkan sambil minum air sebanyak-banyaknya.

ternyata... Bung Tito berhenti untuk sholat dan aku sudah di depan sendiri, pantes ngebut sak kemeng-e gak nemu siapa-siapa.. akhirnya bersama, lanjut perjalanan.
ngangkring di klaten
..
menjelang keluar klaten, ditraktir ngopi oleh bung Tito, meleremkan ati dan badan, juga biar kompak lagi dan lanjut. perjalnaan ke Jogja berhenti sekali lagi di pom dan perlahan kami menuju Tugu Jogja...

Tugu itu tetap disana. kami berfoto disana,
tak ada yang istimewa dari berfoto bersama di Tugu Jogja sebelum berpamitan,
namun yang istimewa itu selalu ada di ingatan kami.
..
Terimakasih atas pengalman indah ini !
tugu jogja 24 Juli


Pengeluaran: 23 Juli
Makan                  : pecel + minum 8rb
                                Kratindaeng 2 x 5rb = 10rb
                                Mie ayam + minum 2x 8rb =16rb

Lain2x                   : as roda 9rb
                                 Ban luar  40rb
                                 Ban dalam 16rb
                                
Pengeluaran 24 Juli:
Makan                     : kratindaeng = 7500, Wortel: gratis, Soto+minum 20.000, sop pak min: 18.000. burjo 10.000

3 tahun roda berputar

2013 adalah awal dari sepeda yang dibeli tahun 1994 keluar lagi setelah sekian lama di gudang. Diawali oleh teman yang barusan beli sepeda dan ngajak sepedaan sebelum berangkat diskusi malam Sabtu Pahing, kami sepedaan ke plengkung gading dan berakhir di Mangkubumi. Terkaget karena malam itu buanyaaakk sekali pesepeda nongkrong di ruas jalan itu. Kami pikir ada event apa gitu pada awalnya, dan setelah sekian bulan baru sadar ternyata malam sabtu Pahing waktu itu bertepatan dengan aktivitas Jogja Last Friday Ride (JLFR).

Asiknya atmosfir JLFR yang hidup diwarnai dengan berbagai macam sepeda dan sorakan pemudi-pemuda memang selalu dinanti di akhir bulan. Hingga akhirnya fanspage JLFR membagikan kegiatan sepedaan yang digagas oleh Umbulharjo Ngepit, tinggal di umbulharjo juga maka pada hari H datanglah ke acara sepedaan tersebut. Itulah awalnya saya bergabung dengan komunitas sepeda.

Dari komunitas sepeda ternyata dapat mengenal lebih banyak teman dari komunitas-komunitas sepeda yang lain. Kadang berkunjung ke komunitas lain untuk mengikuti acara yang diadakan. Kadang komunitas lain juga datang ke komunitas sini. Saat itu yang saya ingat banyak komunitas berdiri dengan basis kedaerahan, seperti umbulharjo, bangirejo, godean, sleman, berbah dkk dkk..

Tahun 2013-2014 sepertinya JLFR sedang pada masa emasnya bila ukurannya adalah pesepeda yang ikut. Kridosono dipastikan macet, pesepeda banyak yang menunggu aktivitas ini start di ruas jalan keluar dari kridosono. Bahkan katanya ada kalau hanya 3000 pesepeda berkumpul tiap akhir bulan di Jogja dalam satu aktivitas sepedaan ini. Tua muda  mudi, bebas mengekspresikan dirinya dalam sepedaan ini. Kostum keren dan unik, biasa ditemui, pesepeda juga tak sedikit menggunakan baju2 terbaiknya dalam aktivitas ini.

Klakson ranmor bagaikan suara latar bagi pesepeda, semakin lantang pula klakson dibunyikan oleh pengendara mesin yang tak sudi jalan aspal bersama ini dirampas sebulan sekali. Sepeda kami tetap melaju.

Kolaborasi antar komunitas juga muncul sebagai inisiatif memperkaya JLFR. Ketika puasa bagi takjil, bagi nasi bungus utk buka puasa, berbagai acara komunitas, dan yang paling ditunggu saat ulang tahun JLFR, karena pasti ruame dan banyak lomba yang berhadiah menarik dari berbagai komunitas yang urunan.

Tak hanya di dunia nyata, dunia maya juga penuh pro dan kontra yang menjadikan diskusi menambah wawasan tentang sepeda dan kota. Hingga impian yang begitu indah bila tiap hari adalah JLFR yang berarti ribuan orang bersepeda tiap harinya di Jogja.

Memasuki 2015 muncul Jogja Second Friday Ride, sepedaan di minggu kedua tiap bulan, yang akhirnya pupus juga setelah berjalan 6 bulan. Mungkin diharapkan oleh pendirinya supaya bisa seramai JLFR tapi yah.. JLFR tetap di hati.

Tahun 2015 cukup menampar pesepeda, karena banyaknya isu begal, klitih dan pesepeda yang diajak gelut saat JLFR. Entah kenapa, pasti ada yang tidak suka/takut pada masa banyak tak terorganisir dan aktifitasnya sustain dapat bertahan hingga 5 tahun hanya dengan rute!

Sepertinya lelah dan pawang hujannya begitu hebat, 2015 ulang tahun JLFR hujan deras, bagaikan ono udan salah mongso. Jogja Kota Night Ride(JKNR) kemudian muncul di minggu pertama tiap bulan, diawali para pesepeda yang belum puas karena belum merayakan ulang tahun JLFR 2015 di akhir bulan karena hujan. Namun JKNR juga tak tahan lama rutinitasnya.

2015 pesepeda yang ikut JLFR menurun drastis diterpa berbagai isu. Tak lama, di medsos, bagaikan paham keadaaan redupnya JLFR, heboh grup Jogja Gowes yang langsung naik daun diserbu pesepeda. Sepedaannya tidak malam hari seperti JLFR, cenderung lebih aman dari begal, dan menawarkan sepedaan tematik: menuju ke suatu lokasi tertentu, tidak sekadar sepedaan muter kota seperti JLFR.

Hebohnya Jogja Gowes juga memicu komunitas tematik lainnya bermunculan, baru maupun lama. Seperti Pitnik, pit community, segoro geni,dll. Sehingga eksistensi mereka diwadahi dalam grup yang disebut komunitas jogja gowes.

Pada perkembangannya jogja gowes sebagai komunitas muncul anggapan seolah-olah hanya menjual jersey dan yang pakai jersey langsung dianggap anggota komunitas. Memang namanya mengandung kata jogja yang berani memakai nama jogja berarti bisa menaungi. Dengan ini jogja gowes mungkin maksudnya sebagai komunitas induk pesepeda di Jogja. Seiring berjalan waktu, grup medsos jogja gowes secara fungsi berubah menjadi forum tempat bertukar pendapat tentang sepeda  dan  tempat eksistensi pesepeda yang sebelumnya belum muncul dirasa diakui.

Ide selalu lahir dan diperbaharui, kebutuhan kelompok untuk diakui tetap ada dan tanpa meninggalkan hal tersebut muncul ide sepedaan bersama tanpa sekat, lintas komunitas, namun juga guyub, hingga akhirnya muncul gowes bareng (gobar) yang sangat kental budaya silaturahminya antar komunitas yang ikut.

Dinamisnya budaya bersepeda di jogja ini begitu asik untuk dinikmati juga diikuti dan membuktikan bahwa masyarakat Jogja sebenarnya mempunyai budaya bersepeda yang hebat dari berbagai kalangan. Seperti sepedaan sebenarnya sudah ada dalam gen masyarakat jogja dan hanya perlu di sentil saja.

Hingga berkembang seperti sekarang, ada yang bilang JLFR sekarang sudah tidak seramai dahulu, namun kata-kata seperti itu hanya berlaku bila ukurannya adalah banyaknya pesepeda yang ikut. Lebih dari itu, dari puluhan kali sepedaan JLFR masa sih kamu ga punya daya tular positif yang bisa kamu tularkan ke orang lain? Begitu pula berbagai komunitas yang silih berganti mati dan muncul. Komunitasnya mungkin mati, tapi anggota-anggotanya pasti sempat menularkan virus positif ini ke orang lain barang satu. Hingga akhirnya semuanya berkembang sesuai kapasitas masing-masing di posisi masing-masing.

Dan kenapa sih, dia harus ikut aliran/cara bersepedaku? Mau banter, mau pelan, mau nuntun, mau sepeda Cuma jadi bahan klangenan… apapun itu, rayakanlah saat itu. Karena setiap kegiatan bersepeda adalah ungkapan atas kecintaan akan sepeda yang berbuah kegembiraan bersama.

Tapi, bagaimanakah menularkan kegembiraan bersama ini pada perempuan dan anak-anak?
tetaplah bergembira ^_^