Jumat, 03 Juli 2015

Sepeda dan Sampah


Suatu sore saya membuka facebook dan menemukan poster, yang menginformasikan bahwa akan ada kegiatan berjalan kaki menyisir Jogja di sepotong sumbu imajiner yang terpotong; reresik dari tugu-0km.

Sayangnya pas acara tersebut saya tidak bisa ikut, namun menjadi inspirasi bagi saya untuk mengajak teman-teman Yogyakarta YMCA untuk melakukan hal yang mirip. Selang beberapa saat, munculah “Bike to-gather”

Poster Bike to-Gather 1
 Bike to-gather, bersepeda sambil mengumpulkan bisa juga sepeda untuk berkumpul, karena memang di desain untuk dwi makna, bersepeda untuk mengumpulkan sampah, dan bersepeda untuk menuju gathering (kumpulan) rutin bulanan YMCA Yogyakarta.

Bike to-Gather ini pada pelaksanaannya hanya bertahan 2x karena saat itu kami belum melek media untuk menggencarkan kegiatan ini sehingga personilnya hanya itu-itu saja dan kurangnya semangat membuat kegiatan ini redup.

Sempat muncul lagi ketika Yogyakarta YMCA diajak untuk berkolaborasi dengan teman yang mendapat tugas kampus untuk bikin acara, dan acara mereka adalah Fun Bike tradisional (dengan kupon dan tiket masuk plus-plus doorprize) yang notabene Yogyakarta YMCA pernah bekerja sama dengan Umbulharjo Ngepit perihal persepedaan dan kegiatan bike to Gather nya. Di acara funbike tersebut diselipkan acara pungut sampah di lokasi pakualaman dan lempuyangan.

Sepeda memang lambat dan sangat efektif untuk mengkoleksi informasi sembari sepedaan. Lambatnya juga memberikan waktu untuk merajut berbagai informasi tersebut jadi ide. Itulah sebabnya pesepeda seharusnya lebih peka. Namun sepeda sebagai ikon, ikon atau maskot untuk kegiatan lingkungan? Sepertinya tidak layak, karena sepeda juga sampah. Lihat di pengepul rosok, berapa banyak sampah dari sepeda, lihat di pasar sepeda; berapa banyak sepeda seken yang ada, lihat di bengkel sepeda; berapa banyak part sepeda yang berpotensi menjadi sampah, bungkus part sepeda, bungkus sepeda ketika beli baru. Sepeda juga berpotensi sampah.

Tong sampah JLFR | Sumber:
http://daniest.com/hingga_di_kayuhan_ramadhan_berita158.html
Sempat juga mendapatkan cerita mengenai teman-teman JLFR yang menyediakan tong sampah di Mangkubumi sebagai buah pemikiran bahwa paling tidak sebulan sekali mereka berkontribusi mengotori jalan Mangkubumi yang sebagai finish dari rute JLFR. Singkat kata cerita itu berakhir dengan hilangnya tong-tong sampah yang disediakan.

Hingga permasalahan ke-sampahan terbaru yang kemudian direspon oleh pesepeda yang concern terhadap hal itu; Willian Bike. Ikhalsnya aksi darinya kemudian memunculkan inisiatif-inisiatif positif dan kreatif; aktivitas Garuk Sampah. Bukan komunitas ataupun kelompok apapun; Garuk Sampah adalah aktivitas. Aktivitas ajakan bersama untuk reresik kota; menikmati kota dengan perspektif lain, mengajak melahirkan berabgai inisiatif dari diri sendiri tanpa sekat bahkan sekat setipis atribut dan tentunya tanpa adanya “kepentingan” yang selalu mencoba mendompleng.

Foto Profil page Garuk Sampah
Ketika kita datang untuk mengedukasi dengan berbagai macam atribut dan kesiapaannya yang terorganisir, masyarakat akan terbiasa, tetapi bila kita datang tanpa atribut dan mensetarakan diri kita dengan masyarakat sekitar, aktivitas ini akan dipertanyakan.
Tetapi mungkin itu poinnya, ketika mereka bertanya, berarti merka berpikir :)


Sehingga bila kemudian kesan atapun berbagai jargon peduli lingkungan kita sematkan pada sepeda, sepeda tidak cukup suci untuk mendapatkannya (apalagi pesepedanya). Lalu bagaimana sikap kita dengan sepeda dan lingkungan?



Ya mari kita pisahkan, keikhlasan kita menyayangi lingkungan kita lepaskan dengan ‘sepeda’ dan biarkan lah sepeda sebagai moda kita, moda kita untuk berbahagia, tetaplah bergembira dengan sepeda supaya janganlah kita yang menjadi sampah peradaban :)

Kamis, 02 Juli 2015

Sepeda dan Ibadah.


Seringkali kita bersepeda, seringkali kita terpana, tapi tak bermakna.

Menatap matahari terbit, mencari pemaknaan baru.

Berbagai kegiatan sepeda kota-kota sering saya ikuti, juga beberapa sepedaan jarak jauh. Dalam kegiatan itu seringkali saya bersepeda dengan dupa mengepul di sepeda saya, yang menyebabkan teman-teman sepeda saya merinding dengan aroma khasnya.

Lazim? Tidak, anti mainstream? Saya saja tidak tahu yang mainstream itu seperti apa.

Lalu mengapa berdupa?

Maka saya ceritakan;

Dupa sangat identik dengan ritual, terutama yang secara mind-set oleh macam-macam media dikaitkan dalam ritual klenik. Lalu apa itu klenik? Bila kita cari dari mbah gugel definisi klenik adalah “sesuatu yang tersembunyi”. Nah apakah dupa itu sesuatu yang tersembunyi? sepertinya tidak dia berwujud dan berasap, jadii sudah semestinya dia tidak klenik.

“Tapi kan yang tersembunyi di “balik dupa” itu?”

“nanti ngundang setan?”

Bila dikaitkan dengan klenik, yang adalah sesuatu yang tersembunyi, anggap saja misteri. Bukan kah kemudian itu wajar di setiap agama juga sangat khas dengan misteri Adi Kodrati-nya masing-masing? Mengapa “klenik” di masyarakat ini begitu di stigma-kan? Bukankah Tuhan juga sangat misteri, yang berarti juga sangat klenik?

Bila dikatakan ngundang setan? Ada lho agama yang dalam ritualnya butuh menggunakan dupa? Terus mereka menyembah setan? Bukannya dengan dupa malah datang berbagai roh baik (karena digunakan dalam ritual agama)?

Lalu bagaimana dengan dupa ini yang tercantol di sepeda?

Pada dasarnya manusia membutuhkan simbol, simbol sebagai penghubung antara Manusia dengan Sang Adi Kodrati. Simbol itu bisa beragam macam; salah satunya dupa.

Mengapa dupa?

Karena saya sangat familiar dengan dupa, di budaya Jawa juga erat dg dupa, selain itu dupa juga media yang murah (dibandingkan kalau bawa bunga atau menyan yang lebih “dianggap” serem). Juga cara saya memaknainya; bahwa doa-doa dan permohonan saya ibaratkan batang dupa itu, dan dengan energi dan usaha (panas) doa-doa dan permohonan itu diwujudkan menjadi tak berwujud (menyatu dengan udara hingga hilang) menjadi satu dengan Sang yang Tak Berwujud, Sang Adi Kodrati.

Lalu kaitannya dengan sepeda?

Ya, bersepeda adalah ibadah. Bersepeda itu salah satu laku. Dalam berabgai ritus keagamaan ataupun ajarannya tentu ada laku; puasa, meditasi dan laku-laku yang lain. Maka bersepeda pun adalah salah satu bentuk laku. Tak terbatas dalam hal yang familer dengan ritus keagamaan, esensinya adalah satu pikir satu tindakan. Ketika kita menjalani laku, kita berusaha menyelaraskan pikiran dan tindakan kita. Karena sangat umum pikiran dan tindakan tidak berjalan dg selaras. Maka dengan laku kita mencoba mengerem salah satunya.

Ketika pikir kita mendahului laku, arogansi, ego, ingin cepat sampai; instan dan keinginan yang  lain akan bertabrakan dengan fisik yang lakunya tidak selaju dengan pikiran. Proses pengereman pikiran ini menjadikan bersepeda adalah ritual beribadah.

Juga ketika fisik kita sebenarnya kuat, tapi ketika melihat tanjakan membuat mental kita mlintir. Mau tidak mau kita butuh “sinkronisasi” lagi ketika bersepeda supaya dapat mencapai puncak. Hingga pada akhirnya keselarasan pikiran dan tindakan bisa kita wujudkan dengan bersepeda.

Dengan demikian, dari berbagai pemaknaan tersebut saya berani mendeklarasikan bahwa dengan bersepeda saya juga beribadah. Perkara bentuknya yang berbeda, esensi beribadahnya tetap sama dengan kepercayaan yang saya anut.

Karena bagaikan sepeda, banyak part yang berputar, ketika kita hanya di permukaannya saja kita mudah terombang-ambingkan keadaan, tetapi ketika kita merapat mendekat pada As-nya, esensinya. Kita menjadi pusat, pusat akan diri kita sendiri menjadikan kita tidak terombang-ambingkan berbagai hal yang hanya pada tataran kulit saja.

Ban bisa berbagai material, merek, dan bentuk, tapi As tetap hanya selonjor logam silinder.


Salam bersepeda, dan jangan lupa bergembira :)

Umbulharjo

Rumahnya mata air di Yogyakarta

Aktivitas bersepeda biasanya mencari destinasi lokasi yang bisa dinikmati atmosfernya secara visual, karena kita dengan mudah mengabadikannya, lalu bagaimana bila kita bersepeda di keabadian? Keabadian cerita yang tak ada wujudnya dan kini hanya bisa didengar.
Mungkinkah saya terlalu lelah dengan segala visual.
Tapi toh, juga harus disajikan dalam bentuk visual.

Pemandangan Matahari terbit di Situs Warungboto

Umbulharjo, gabungan kata dari ‘umbul’ dan ‘harjo’ umbul berarti mata air, harjo dari kata Raharja yang berarti makmur. Jadi daerah Umbulharjo adalah daerah yang makmur mata air, atau kata lain banyak mata air di daerah ini.



Pemandangan ke kolam bekas mata air
dari atas Situs Warungboto
Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan reruntuhan bekas pesanggrahan jaman Hamengku Buwono II, Pesanggrahan Rejowinangun. Pesanggrahan Rejowinangun yang masih dapat dengan mudah dinikmati kini biasa disebut situs Tuk Umbul Warungboto. Berlokasi di Jl. Veteran Yogyakarta +- 2km dari Balaikota Jogja ke arah selatan.


Di sekitar situs Warungboto tersebut juga ada umbul lanang dan wadon yang dikelola warga sekitar sebagai kesatuan wisata bila ada yang berwisata ke lokasi tersebut. Dengan senang hati penduduk sekitar atau bila bertemu penjaga di situs Warungboto ini menunjukkan lokasi umbul lanang dan wadon tersebut.



Bekas mata air di bekas SD Glagah II
Salah satu SD yang rubuh pada gempa Jogja 2006 
Satu kilometer dari lokasi situs Warungboto arah barat laut, ada juga bekas mata air, terletak dibekas SD Glahah II yang kini sudah rata dengan tanah. Bekas mata air tersebut menyusut dan menjadi sumur, dan kini sumur juga telah diratakan hingga tak ada lagi jejak mata air kecuali cerita para sesepuh asli di daerah tersebut.

Banyaknya mata air juga tak terlepas dari area persawahan yang masif pada jaman dahulu sebagai daerah tangkapan hujan dan bentuk geografis berupa cekungan lembah kecil yang membentang dari Timoho hingga Warungboto sebagai sumber air bagi Umbulharjo dan terutama situs Warungboto.


Berpose sambil menikmati Sunrise
dengan segelas wedang, radio dan  bekal.
Seperti lokasi asik lain, situs Warungboto ini nikmat bila dinikmati di “golden hour” atau jam emas para foto grafer jam sunset dan sunrise, namun karena dari situs ini lebih leluasa memandang ke timur, tentunya view untuk sunrise lebih terasa atmosfernya.

Tahun 1996 ketika saya mengunjungi situs ini masih ada airnya, dan menurut penjaga mata air ini benar-benar kering memasuki tahun 1999 sebelum itu ketika musim hujan air masih mau keluar dari kolam mata air ini. Menurut penuturan warga yang telah lama mengenal mata air itu, jaman kecil situs itu dipakai untuk mandi-mandi bersama teman-teman.


Lokasi ini juga merupakan ide yang melatarbelakangi Komunitas Sepeda “Umbulharjo Ngepit” bersama YMCA Yogyakarta melakukan aksi simbolis pada hari air Sedunia 2014 lalu. Aksi simbolis bersepeda dari Alun-Alun utara Jogja ke situs mata air ini kemudian dan kemudian menuangkan air sebagai simbol. 

Sepeda dengan atribut yang kami bawa menuju Situs Warungboto
Proses simbolisasi aksi kita berbuat sesuatu terhadap mata air.

  Simbol bahwa kita sebagai manusia yang selama ini hidup dari air, selayaknya kini adalah saatnya kita balik memberikan sesuatu bagi air yang telah menghidupi kita.