Rabu, 26 Desember 2018

Natal - 2018

Natal tahun 2018 ini adalah natal yang terasa lebih sadar dan terasa lebih mengalami, bisa jadi hanya karena barusan dialami, juga natal kali ini mendapatkan pemaknaan baru mengenainya.

Dimulai dari cerita bahwa tema khotbah kali ini adalah jangan lupa bahagia, dan singkat cerita bahagia itu kan sifatnya berbeda-beda tergantung manusianya. Bisa jadi saya bahagia karena dapat uang 100ribu tapi kamu baru bahagia ketika mendapat 1juta dan berbagai buanyak perbedaan lain yang sangat dekat kita temui. Tapi bagaimana menanggapi jangan lupa bahagia kalau saat ini punya hutang 50 juta dan harus dilunasi hari ini dan belum cukup dana? Adanya Cuma mumet. Kebanyakan khotbah akan mengarah jalan pintas menuju kata sakti “percaya” pasti bisa, pasti ada jalan.

Banyak khotbah menggunaan contoh studi kasus, tapi banyak kata-kata dalam khotbah juga tak mempan bila dicoba dalam studi kasus. Terutama dalam mencerna bagian “percaya” bagaimana bisa cukup dengan percaya semua masalah selesai. Pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah saja kita harus merelakan barang kita untuk di gadai. Lha ini perkara percaya pada yang Kuasa.

Ya bisa, kita lanjutkan pemaknaan percaya itu tidak pasif, tapi aktif, bahwa percaya berarti pasrah pada kehendak-Nya tapi bagaimana kita tahu kehendak-Nya ? ya dengan mencoba, dengan demikian percaya pasrah itu adalah tindakan aktif kita mencari kehendak-Nya. Enggak mesti kehendak-Nya bagi kita itu sesuai yang di khotbahkan tiap minggu di gereja.

Ok, bahagia,

Suatu malam, kami pulang dari berpergian, bapak saya lalu mengatakan. Doa itu bisa saja singkat, mengucap syukur bahwa masih berada disini sudah cukup. Sekian tahun sekian bulan, sekian purnama, kata itu diketik di blog ini dan mengingatkan akan suatu kebahagiaan. Bersyukur. Tapi sekali lagi itu sangat kondisional.

Dalam keadaan terpuruk biasanya kita gencar berdoa, tapi kalau berdoa selesai mengucap kita lalu pergi, lupa bahwa kita sedang berbicara pada-Nya. Jangan-jangan Dia akan berbicara pada kita tapi terlanjur kita tinggal. Ya begitulah. Berdoa adalah dialog.

Terkadang jebakan adalah alam pikiran kita, setan, iblis, yang mempengaruhi macam-macam dengan ke-Logisannya, memang itu diperlukan, tapi dalam bertemu dengan-Nya kita bertemu dalam Rasa. Lalu bagaimana membedakan bahwa ini adalah hasil dari pemikiran yang tidak murni v.s kehendak-Nya? Ibarat wungkal yang adalah alat untuk mengasah, kita harus tiap kali mengasah ketajaman ini. Hasil dari pikiran pasti bisa kita tawar, tiap kali kita mengasah, kita bisa menawar hasil dari pikir. Seperti Yesus yang dicobai di padang gurun, siapa iblis? Yesu

s lapar? Lapar datang dari sinyal-sinyal tubuh yang dikirim ke otak, ya iblis itu adalah pikiran kita. maka saat itu Yesus ber-tawar-menawar dengan pikir ini, dan bisa. Beebeda bila memang ini kemauan Tuhan, tidak akan bisa di tawar lagi, yang terjadi haruslah terjadi. Seperti di Getsemani, Yesus tak lagi bisa menawar bahwa besok adalah kematiannya.

Kebahagiaan sejati bolehlah kita sepakati dan ketahui bersama adalah bersama dengan Tuhan. Tapi kemudian apakah dalam kehidupan sehari kita kita sudah hidup bersama dengan Tuhan? Ketika hal yang kita lakukan sudah selaras dengan kehendak Tuhan kita akan menemukan kebahagiaan sejati yang tak terpengaruh frekuensi naik turunnya kehidupan.

Dimulai dari saat kita membuka mata di pagi hari, sebelum kaki menyentuh tanah, sebelum macam-macam kegiatan dimulai, ada baiknya kita berucap pada-Nya, memohon bahwa berkenanlah Tuhan merasuk dalam raga ini, supaya yang kulakukan hari ini sesuai kehendak-Mu saja.

Selamat Natal..



Selasa, 18 Desember 2018

Cinta

Akhirnya cinta menentukan takdir bagi kami untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 29 Desember.

Tiga tahun mengenal Elisa Kurniawati, bukan waktu singkat tapi juga bukan waktu lama untuk merajut pondasi supaya dapat berjalan dalam rel yang sama dengan tujuan yang sama, tujuan satu entah apa itu.

selama kami masih mencari, tak akan usai cerita ini.








Selasa, 23 Oktober 2018

Berhenti

Tanggal 14 September 2018 saya resmi berhenti dari pekerjaan saya. Banyak hal yang dipelajari, tapi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang akan saya dapat di tempat  lain dengan undur dirinya saya.

Setelah rekan kerja saya mengetahui saya mengundurkan diri, ternyata mereka juga turut membuat surat pengunduran diri.

kini, salah satu rekan kerja saya sudah mendapat pekerjaan di daerah Sleman. Semoga disana lancar ya..

yang satunya sampai berita ini diturunkan belum ada khabar.

sekian dan terimakasih. :D

Email Baru

Ketika akan lulus dari kuliah, seorang dosen pmbimbing menyarankan untuk meng-upgrade nama alamat emailku minimal mencantumkan namadiri, dan tidak alay. Kedepannya nama emaill ini akan digunakan secara profesional, memudahkan kontak-kontak, pengiriman berkas lewat yang cukup formal pasti akan lewat email.

daaann... dengan berat hati meninggalkan email lama yang begitu bersejarah, saya membuka email baru dengan alamat

Eigner4000@gmail.com

untuk pemindahan keberkasan dan lain lain akan dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,



ttd


Eigner tanpa Endus.

Tetikus baru - Rexus Xierra X2

Hai, hai juga bagiku lama tak jumpa dan lama tak nulis. Kali ini tulisan mau review mouse, hehe habis beli nih. Yak, siang ini, karena mouse yang biasa dipakai dibawa ibu ke kantor, dan akhirnya memutuskan untuk beli mouse baru biar gak hobi rebutan mouse, hehe. Siang-siang pepanas meluncur ke janti.

Puas dengan performa mouse sebelumnya rexus G5 seharga 85K tahun 2015 yang hanya memiliki kelemahan terlalu besar digenggaman tanganku. Kali ini pilihan pada Rexus Xierra - X2 dengan harga 78ribu, karena Cuma bawa uang 100k ke toko, hehe. Sebenarnya dari desain tampilan hati ini terjatuh pada Xierra X6 tapi ketika di test jari manis nggesek terus di klik kanan mouse. Maka dengan desian yang mendekati sama, dipinanglah tetikus Xierra X2 ini.
Tanpa basa basi, sampai rumah langsung unboxing yang tidak di video karena belum hobi nge-vlog, hehe. Tampilan asik, warna abu kalem, terus warna warni lampunya gak menyilaukan seperti seri G5 nah saatnya test performa. Sekali tancap langsung sedih, karena ternyata mouse ini opticalnya gak bekerja di mousepad selembar kertas putih. Ini langsung bikin saya sedih karena kebutuhan saya yang sering mobile dan malas membawa mousepad. Ketika digenggam lama-lama ternyata baru terasa bahwa jarak roda untuk scrolling terlalu jauh, sehingga untuk scroll keatas jari mati langkah, meski baru scroll sedikit. Lalu, ternyata dimensinya panjang membuat jari serasa selonjor, kurang rileks. Oke untuk ukuran jemari saya yang sejengkal sepanjang 23.5cm mouse Xierra X2 terlalu panjang, dan mouse rexus G5 terlalu gendut. Oh ya roda scrollingnya ternyata tidak terlalu berasa solid juga, jadi berasa khawatir tentang keawetannya, tapi ini baru asumsi saja.



Namun di sisi lain, build in kabelnya oke, dengan adanya lapisan yang “gaming” memberi perlindungan ekstra. Di sisi lain desaiin tampilannya emang ciamik keren dah!

Ya begitu review saya pada tetikus ber merk Rexus Xierra X2 ini. Siapa tau Anda pas jatuh cinta dg tampilan mouse ini, semoga kekurangan yang saya rasakan bisa jadi pertimbangan, siapa tau malah di jemari Anda tetikus ini cocok dan lebih fungsional.

Salam!

Jumat, 14 September 2018

ORIGAMI BURUNG


Di Awal September 2018 ketika beli telur, istri saya minta untuk beli kertas origami juga. Dia beli dua, satu pak kecil dan satu pak besar. Katanya untuk bikin origami burung bangau nanti di ikat tali untuk mainan Elora. Yap! Origami burung bangau yang konon katanya kalau kita bisa tuntas membuatnya sebanyak 1000 buah maka harapan kita akan satu hal akan terkabul!
 

Dua hari kemudian saya lihat kertas origami tersebut masih tergeletak di kursi sejak pulang beli. Lalu saya ambil satu yang besar dan satu yang kecil untuk saya bikin origami bangau. Lama tidak menyentuh kertas origami rasanya rumit juga memulai kegiatan ini. Akhirnya jadilah dua buah bangau mainan dari kertas lipat!.

Sabtu 15 Sepember setelah saya keluar dari kerjaan jumat hari sebelumnya, saya mencoba membuat satu origami bangau lagi tak sengaja merenung dan menemukan pemaknaan ini. Untukk membuat origami burung ini langkah pertama ialah kita harus melipat hampir semua sisi kertas, setelah terlipat dengan bekas lipatan itu dibentuk formasi awal seperti kuncup teratai, setelah kuncup terbentuk untuk menjadikan burung kertas ini cenderung mudah.

Secara umum ada tiga langkah pembuatannya, 1. Melipat menyiapkan jalur 2. Dari lipatan tersebut dibuat formasi awal 3. Finishing. Dari ketiga langkah itu tetiba saya renungkan, ternyata bisa jadi origami ini begitu populer karena ketiga langkah tersebut, dan cara memaknainya.

Langkah pertama, melipat, menyiapkan jalur, pada tahap ini terkesan membosankan. Melipat, membuka lipatan, melipat di sisi lain, dan berulang, seperti acak tak ada arah tapi berpola. Namun sejak kita memegang kertas sebenarnya tujuan kita sudah jelas, membuat origami burung! Tapi untuk itu kita perlu melewati hal ini. Mempersiapkan jalan untuk memudahkan proses selanjutnya. Mungkin ini hal yang aneh di era instan ini, tapi hasil bagus konon tidak dari hal yang instan.

Bila di umpamakan, kita akan ke sekolah besok, supaya esok hari proses kita kesekolah lancar maka kita butuh mempersiapkannya. Misal, di malam harinya kita siapkan buku pelajaran untuk esok hari, masukkan dalam tas, sekaligus seragam sekolah yang akan dipakai besok sudah siap untuk dipakai diletakkan dekat dengan tas. Bisa juga untuk memperlancar proses pergantian pelajaran di kelas, buku diurutkan sesuai jam pelajaran sehingga lebih efisien. Dengan begitu esok hari kita lebih mudah dalam mempersiapkan hal untuk kesekolah.

Langkah kedua ialah, dari lipatan itu, kita membentuk formasi awal. Ibarat bekas lipatan tadi adalah data dalam penelitian, saat ini adalah saat untuk meramunya, menggunakan data-data tersebut, memilah mana data yang dapat digunakan dan data sampah, tidak semua lipatan juga digunakan tapi lipatan lain sangat memudahkan proses membuat origami ini. Proses ini cenderung singkat tapi rumit, karena lebih menggunakan strategi, teknik, kebiasaan, dan pengalaman. Tapi dengan terus menerus diasah hal ini akan lebih mudah semakin harinya.

Langkah ketiga ialah, finishing, ketika jejek lipatan sudah ditekuk untuk membentuk formasi awal, maka langkah selanjutnya adalah menyempurnakannya untuk menjadi, tak banyak hal rumit disini karena pondasi kita sudah kokoh untuk melanjutkan.

Setelah ketiga langkah itu jadi, tadaaa… selesai… satu, dua tiga..

Tapi……

Mungkin kita sering abai pada proses, dalam hal lipat melipat ini adalah proses awal, membentuk garis lipatan. Melipat, dibuka lagi, dilipat lagi, hal yang monoton, tapi akan berdampak besar pada hasil akhir, bila kita lipat pada proses yang sangat awal ini tidak presisi, maka hasil akhir juga tidak akan presisi. Jadi detail, ketekunan dalam berproses di awal, membuat pondasi, membuat persiapan begitu matang sangat berdampak di hasil akhir. Maka dari itu, meskipun monoton, membosankan, suatu proses yang panjang layak untuk ditekuni dan di perhatiak setiap deailnya. Kemampuan untuk setia dalam setiap proses yang membosankan ternyata sangat berdampak pada hasil akhir.

Jadi bisa dibayangkan bila proses membuat origami burung ini diulang begitu banyak, hingga seribu kali, dengan ketelatenan yang begitu tinggi, sangat mungkin harapan yang ingin dicapai juga dapat terkabul!

Selasa, 08 Mei 2018

Surga dan ruang publik kota.

*) disclaimer: tulisan ini tanpa adanya ilustrasi, ataupun foto seperti tulisan yang lainnya.
..
Selamat pagi, dua hari ini saya bisa bangun pagi, jam setengah tujuh pagi, maka dari itu perlu saya me-reward diri sendiri. Salah satu reward bagi diri saya adalah meluangkan waktu untuk menulis.

Kali ini saya menulis tentang Jogja. Banyak yang bilang Jogja itu ngangenin, tapi itu bagi yang hanya sempat tinggal di jogja beberapa lama, tapi bagi saya, kadang Jogja itu anugerah, kadang menyebalkan.

Tinggal di jogja itu anugerah, dan menurut Tristan, seorang urban designer dari Prancis, Jogja itu kota impian bagi urban planner, karena hanya dengan 15 menit dari pusat kota, bisa menggunakan kereta api mencapai bandara. Kita bisa parkir di stasiun, bahkan tak perlu parkir, cukup menggunakan transportasi publik ke stasiun kereta untuk mencapai bandara. Menyebalkannya ialah, seharusnya kereta dari pusat kota ke bandara ada tiap 15 menit sekali, bukannya 1 jam sekali. Terlalu lama, kata pak prof Tristan.

Ok, karena saya juga jarang ke bandara dan lebih sering bersepeda (motor) keliling kota, ada dua hal selalu jadi daya tarik saya di kota Yojo ini keika keliling-keliling kota.  Bagaikan lagu anak jaman dulu yang begitu istimewa, saya pergi ke jantung kota jogja hanya untuk melihat keramaian yang ada.

Material, pejalan kaki dan Ranmor.
Setelah jogja mendapatkan dana keistimewaan, salah satu hal istimewa yang dilakukan adalah mempercantik citra kota, dengan mengganti perkerasan di simpang 0km jogja (0km suatu kota patokannya adalah kantorpos induk kota-banyak yang salah sangka karena 0km jogja di situ karena depan kraton) dan perkerasan jalan di simpang Tugu pal putih Jogja.

Perkerasan yang dipasangkan di persimpangan tersebut adalah batu, bukan aspal. Sehingga terlihat lebih hangat atmosfir yang disajikan oleh kota ini. Ketika sekian banyak persen wisatawan domestik di jogja adalah pelajar-mahasiswa yang dari luar jogja, maka menikmati jogja adalah hal yang wajib. Mereka mengunjungi titik panas kota untuk menongkrong, selain menongkrong, hal jaman now yang lakukan ketika wisata adalah menduplikasi citranya dengan kamera di ponselnya (bukan ha-pe).

Terjadilah silang kepentingan antara wisatawan domestik yang berjalan meyebrang di persimpangan dengan kendaraan bermotor. Di simpang tugu jogja, akan sangat tidak harmonis terdengar suara klakson secara periodik menyalak para pejalan kaki yang me-nengah mendekat ke tugu jogja untuk berfoto dengan ikon kota jogja tersebut. Menganggap jalan raya juga persimpangan adalah hak kendaraan bermotor, maka bahasa simbol adalah dengan klakson menyuruh minggir para pejalan kaki. Bukankah itu bentuk arogansi para pengendara kendaraan bermotor yang tergesa-gesa kebelet?

Bahkan ketika ada petugas pengaman disana, juga menyarankan dan mengingatkan para pemburu swafoto untuk minggir mengalah di simpang tersebut. Alhasil, menurut saya, simpang tugu tersebut jadi tidak terlalu hidup, dan pasti akan keren bila buanyak manusia berkumpul di tengah untuk mengapresiasi kota ini, bukannya disarankan minggir untuk mengalah.

Alasan saya sangat personal, tapi apakah bagi pemerintah mengganti perkerasan di simpang tersebut tidak mempunyai alasan khusus? Meskipun iya, tanpa alasan khusus yang lebih memanusiakan pejalan kaki, apakah para penguna jalan raya tidak sampainya berpikir untuk memelankan kendaraaannya? Itu tidak aspal lagi lho...! ngebut disitu juga gak enak, gemronjal. Apakah pemahaman ini tidak ada? Ataukah karena aspal di jogja juga sama gemronjalnya dengan jalan perkerasan batu tersebut. Apakah perlu diberi polisi tidur supaya mempertegas kawasan ini adalah kawasan publik dimana orang perlu dan dengan senang hati mengapresiasi kota ini.

Bagi saya, sekadar berswafoto di kota jogja ini, dimanapun, maka kota ini sudah ter-apresiasi oleh seseorang yang melakukannya.

Ruang publik, ruang nongkrong.
Tak jarang nongkrong menghasilkan ide briliant untuk berkarya. Hanya saja, tak semua orang mempunyai budget yang selo untuk menyewa tempat nongrong yang berkopi mewah. Banyak juga yang hanya butuh lokasi nongkrong yang free smoking. Ada kopi maupun tidak.

Nol kilometer jogja, edisi sebelum tampilan sekarang (8 mei 2018) banyak pot tanaman, hijau memang, tapi sedikit ruang bisa dipakai untuk menongkrong. Kini, teman-teman bisa lebih banyak pilihan ruang nongkrong (lesehan tentunya) di nol km Jogja. Bila dirasa penuh, dan mahal parkirnya, bisa pindah ke selatan dikit, di alun-alun utara kota jogja. Parkirnya di pinggir jalan, ilegal memang, tapi sepertinya tidak apa bila sudah malam. Cek saja bila malam minggu tiba.

Banyak manusia bisa ditampung berarti lebih banyak manusia yang akan mengapresiasi. Begitu di nol kilometer kota jogja. Tentu dengan persimpangan bermaterial perkerasan batu. Menambah epic-suasana di sini.

Di cerahnya malam dan terangnya lampu penerangan kota, nol kilometer jogja merupakan bukti bahwa kota jogja akan lebih banyak membutuhkan titik-titik ruang publik lain untuk bisa diolah dan di apresiasi. Pendidikan terus memperbanyak kampus, demi menampung banyak lagi siswa, akan ada banyak lagi siswa datang ke kota jogja. Tak luput untuk menongkrong.

Bisa dipastikan nongkrong adalah salah satu kebutuhan, biar tidak dikira kurang piknik (stres kerjaan). Ruang publik di kota salah satu fasilitas jawabannya. Maka, siapapun desainer atau yang bersedia menyisihkan tanah untuk dipakai dan diapresiasi menjadi ruang publik dipakai banyak orang untuk nongkrong secara murah meriah, maka dialah yang empunya sorga. Sekian ribu manusia akan bisa mendapatkan ketentraman di ruang publik, setiap hari, ataupun minggunya. Jadi bila ingin lancar masuk surga, bertemanlah dengan urban desainer, hihihi...

-- ... ---
Apalagi sebentar lagi bulan puasa, sembari menunggu buka, pasti akan ada banyak acara dan kegiatan di ruang publik. Bertambah pula pahala bagi para penyedia ruang publik yang dapat diakses siapapun di suatu kota.

Selamat pagi.

Jumat, 02 Februari 2018

Menghadiri YYAF #4 Design Identity




Sore 2 Februari 2018 sepulang dari kantor di Puri Design Bayu Tama, mbak Susi dan saya bermotoran menuju hotel di utara balaikota jogja untuk menghadari acara Yogyakarta Young Architect Forum (YYAF) yang ke-4. Meskipun yang ke-4 tapi ini adalah acara YYAF yang saya datangi. Sampai di lokasi sudah magrib, langsung dapat coffee break. Tak lupa daftar ulang dan mengambil name-ticker (stiker nama) yang di lekatkan di kaos yang saya pakai. Seminar kit juga didapat dari sponsor. Lumayan dapat buku catatan di dalam seminar kit, hehehe…

Saya masuk dan acara sesi-2 dimulai. Sesi dua ini menghadirkan narasumber yang asik, arsitek muda yang sukses menangani 150an proyek setahunnya, dengan kantor di Jakarta, Semarang dan Bandung. Revano namanya. Dia menceritakan rumahnya yang ia desain. Di rumahnya sendiri dia memecahkan masalah dan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Seperti desain kantor di rumahnya terbuka, dan langsung terhubung dengan ruang keluaga, bagi orang lain  mungkin tidak nyaman tapi begitulah dia desain dengan mempertimbangkan masa lalunya tinggal di rumah yang begitu banyak ruang privat sehingga katanya bisa satu tahun tinggal di dalam satu rumah tapi tidak ketemu sama sekali. Di sisi lain, dia pecinta mainan, koleksinya banyak. Akhirnya dia buat tempat mainan di luar, katanya idenya didapat dari istrinya, “taruh aja di luar”.

Setelah beberapa tanya jawab, dilanjut sesi selanjutnya yang menghadirkan para dewa; Pak Revi, Pak . dan Pak Eko Prawoto. Sesi ini dimulai dari yang muda, setengah tua dan ditutup oleh pak Eko. Dijelaskan mulai dari identitas, kesadaran bahwa tidak ada orisinalitas, maka identitas itu kemudian hal yang mudah dipertanyakan. Ibarat lego, material tersedia, dan kita menyusunnya dengan meletakkan di tempat yang paling optimal. Namun akan lebih asik ketika lego, masih dalam bentuk yang raw (kotak) bukan yang sudah bertema, karena olahan desain dan imajinasi akan lebih lagi. lalu penjelasan dari pak Eko yang dapat ditebak pasti begitu reflektif dan menyajikan kesimpulan untuk disimpulkan masing-masing yang mendengar. Beliau mengingatkan tentang konteks, bahkan dalam dunia desain, konteks begitu cepat berubah, kini. Generasi mulai merapat yang bisa tadinya generasi baru muncul tiap 25 tahunan, besok 10 tahunan bahkan kurang. Maka kemampuan beradaptaasi untuk memecahkan permasalahan arsitektural yang kontekstual itu dibutuhkan. Tentu, penyajian dan mengiingatkan kembali akan nilai humanis, juga “njuk ngopo” kalau sudah ini – itu perlu refleksi lagi, lalu apa, tujuan yang lebih lagi adakah, tentunya yang lebih mulia.

Usai penjelasan oleh pak Eko Prawoto, semua narasumber kemudian dipersilakan naik ke panggung dan peserta dipersilakan bertanya, tiga orang penanya dari masing-masing grup tempat duduk (A, B, C) nah, bertanyalah saya.

Bertanya.
Ternyata bertanya itu sulit. Ketika sesi dua tadi saya baru datang, dan belum konek alur seminarnya, jadi menyimak penyajian masih menerima secara utuh, dari tidak tahu menjadi tahu. Nah di sesi kedua sudah agak nyambung, eh yang keluar para dewa, apalagi yang disajikan oleh Pak Eko begitu lengkap.

Maka pertanyaan saya, meminta nasihat saja, bila identitas sejati arsitek adalah mendesain, dan desain itu adalah pemecahan masalah. Maka identitas arsitek adalah memecahkan masalah. Tak jarang kita terjebak kita menggunakan katai identitas desain dan mencari identitas desain tapi yang dimaksud sebenarnya adalah style ketika arsitektur itu sekadar transformasi dari yang sudah ada tanpa originalitas. Bahkan kadang demi style atau dilihat wangun, suatu bangunan jadi kutukan seumur bangunan pembantu disitu untuk ngepel tiap kali hujan karena kena tampias (dalam presentasi Pak Revi tadi diceritakan rumah Butet karya pak eko yang Butet begitu menyukai karena dia juga suka hujan, tapi kalau selesai hujan pembantunya kerja keras mengepel)

Maka kira-kira bagaimana nasihat untuk kaum muda dalam berproses jangan terjebak pada menganggap style berarsitektur adalah identitas-nya. Yang kedua, konteks, ketika pak Eko berani bilang generasi desain kedepannya akan semakin rapat jaraknya, maka konteks akan semakin cepat berganti, dan kita perlu adaptasi, maka kira-kira parameter apa yang perlu kita waspadai supaya kita lebih tepat dalam merespon konteks.

Ketika bertanya, saya gemetaran, pikirku takut karena para dewa dipajang on stage gitu, eh ternyata usai tanya jawab saya juga masih gemetaran, ternyata saya lapar. Jam menunjukkan nyaris pukul setengah sebelas malam dan belum makan malam, perut baru diganjal coffee break tadi petang.

Menjawab
Mungkin wagu ya pertanyaanku, tapi gapapalah, mumpung masi muda, yang penting gasak dulu. Pertanyaan diajukan pada tiga narasumber terakhir. Kadang manusia sebagai arsitek bisa diibaratkan dunia para dewa dengan berbagai solusi tanpa tahu permasalahan, sedangkan di dunia bawah sana, penuh permasalahan tanpa solusi. Disarankan sebagai arsitek jangan begitulah. Lebih peka, kepekaan perlu diasah untuk mengetahui gejala-gejala yang timbul untuk direspon secara aktif, juga dilatih sehingga udah jadi mind-set dalam menghadapi berbagai permasalahan. Ditambahkan pula oleh pak eko penjelasan, sedikit analisis kedepannya dengan berbagai informasi begitu cepat betebaran dalam media digital ini, maka kedepan, arah desain akan mengarah ke hal yang lebih digital, maka persiapkanlah itu. Di akhir penjelasannya, untuk merespon berbagai macam informasi yang begitu banyak bersebaran beliau berkata “silakan berterbangan kemana-mana”

Diskusi
Pulang dari seminar, bareng Bayu Tama dan kami putuskan untuk makan malam dulu di Bakmi Jawa Kang mas Daru. Disana ternyata dia sharing bahwa ada pertanyaan yang sebenarnya dia ingin ajukan tadi, tapi karena satu grup kursi dengan saya dan yang bertanya saya duluan maka dia ga bisa tanya. Jadi, pertanyaan Bayu kurang lebih seperti ini, ‘gimana sih suatu karya desain bisa survive, kalau tadi dikatakan generasi semakin begitu cepat berganti.

Nah karena sekarang sudah jam 7.09 dan jam 7.30 nanti saya mau ikut diskusi 15 cerita arsitek muda di koinonia UKDW, maka tulisan bersambung J dulu ya.



3 - Februari 2018