Minggu, 22 Februari 2015

Live In Love

Pagi itu seperti biasa, aku bergegas ke kampus. Jam belum juga menunjukkan pukul 7.00 namun ku sudah sampai kampus. Bukan karena ada kuliah, tapi demi mengejar akses Wi-Fi yang cukup cepat di gedung baru kampusku.
Ya inilah aku Rega, masih berstatus mahasiswa. Aku kuliah di suatu universitas di tengah kota Yogyakarta yang cukup ternama, sedang menjalani libur panjang pergantian tahun ajaran. Seharusnya semester ini aku sudah skripsi, namun ku masih merasa tak layak secepat ini menghadap pembimbing.
Liburan memang hal yang ditunggu-tunggu, bagi yang aktif studi dan kerja, namun apalah arti liburan kini bagiku, ketika tak ada yang bisa diajak berbahagia bersama? Orang tuaku bekerja seharian, dirumah sendirian, internetlah satu-satunya temanku. Meskipun baru berjalan satu dari tiga bulan liburan, ku sudah bosan.
Di lantai teratas gedung baru, ku duduk di bangku dekat lift, ku keluarkan laptop dan ponselku. Coba ku gapai gelombang tak kasat mata; Wi-Fi, melalui gadgetku. Connected. Dan mulai ku jelajahi alam maya ini. Home page ku otomatis terbuka ketika browser di klik, Facebook.
Tak ada hal baru di facebook ataupun artikel lain. Berita pemilu dan kampanye sedang dominan menjejali beranda. Beberapa saat ku berselancar, ponselku bergetar,
“Nak, ikut Live in pemuda lah sana, lumayan tiga hari buat ngisi liburan”
Ya begitulah isinya, dan tak kubalas sms itu. Sisa hidupku hari itu ku habiskan di bangku dengan  gadget ku. Ketika kala karyawan sudah berantri di dekat lift berarti, sudah memberitahukan pukul 15.00 dan ku menghabiskan sedikit waktu untuk membaca layar laptopku sekali lagi, walaupun ku tahu tak ada yang baru dari postingan di beranda facebook ku, sebelum ku meninggalkan gedung itu.
***
Sore, ku kembali bertemu dengan orang tua, kegiatan membosankan lagi ketika kurasa orang tua pun tak tahu mengenai penderitaanku sebagai jomblo semester tua dikala libur panjang. Ponsel menjadi teman utama ku lagi ketika dirumah. Seperti anjing terkekang dengan rantai, juga ku terkekang dengan kabel charger.
Sudah kebiasaan keluargaku, walau tak ada keturunan Inggris, tiap sore mengadakan jam minum teh. Teh panas disajikan dengan kue ataupun makanan ringan seadanya, kadang tahu atau ketela goreng juga nikmat dipadu dengan teh panas di sore hari bersama keluarga.
“Nak, ikutlah live in itu bersama pemuda dari Banguntapan, lumayan buat ngisi liburan kamu. Ibu lihat kamu murung terus.” kata Ibu tiba-tiba.
“Hmm.. malas ah, lagian aku gak kenal siapa-siapa di komunitas pemuda itu” jawabku.
“Nah itu dia, supaya teman kamu nanti tambah makannya ikut kegiatan itu. Lumayan tiga hari, Jumat, Sabtu, Minggu”
“Apalagi itu bu, Sabtu, Minggu kan ibu libur, bukannya aku lebih baik dirumah saja menemani ibu, kan seminggu kita ketemu kalau sore malam saja. Emang dimana sih live in-nya?”
“Halah, biasanya juga orang tuamu ini kamu tinggal di rumah terus. Katanya sih di Purworejo di desa.”
“Ah ndak mau ah”
“Halah, dah, ntar ibu daftarin ya mumpung belum telat, ini masih Selasa”
“hmm…”
Ayah hanya diam saja sambil menikmati rokoknya dan teh panas miliknya.
***
8.00 Jumat pagi, ku sampai di balai desa Banguntapan, diantar ibu karena kantornya searah dengan lokasi kumpul. Di situ sudah cukup banyak pemuda berkumpul, lima laki-laki mengobrol di teras sisi utara, dan sekelompok perempuan di selatan. Terlihat dua pemuda agak sibuk menghubungi lewat ponsel, dan kupastikan dia panitianya. Kudatangi dia dan ku bayar uang pendaftaran dan aku disuruh menunggu.
Tak ada kata-kata hingga jam 8.30. terlalu malu untuk memulai pembicaraan di lingkungan baru. Hingga seseorang duduk disampingku dan berkata
“hai, anak baru ya? Darimana?” katanya dengan nada riang.
“Oh, iya, aku dari Umbulharjo.” Jawabku datar.
“Aku Rina”
Dia mengulurkan tanganya, mengajak berkenalan.
“Aku Rega” kataku.
“Ok, ya tunggu dulu ya, busnya sudah datang tapi pesertanya masih kurang. Aku ngurusin itu dulu ya”
Sisa waktu menunggu itu ku habiskan dalam diamku.
Di dalam bus pun tak ada yang menarik untuk menjadi bahan obrolan. Pemandangan selama perjalanan pun terlewat begitu saja, jembatan kali Progo yang panjang, patung kuda Nyi Ageng Serang di Wates, hingga jalan sejajar dengan rel kereta api, pertanda sudah mendekati Purworejo.
***
Hari pertama di desa, kami tiba sekitar pukul 11.00. dari jalan utama menuju desa, bus kami melewati hamparan sawah yang luas. Sawah itu terlihat sedang menunggu hari untuk panen. Sejauh mata memandang hanya sawah yang menguning, tersirat dalam pikiranku, kasihan juga yang punya sawah di ujung sana tapi tinggalnya di desa seberang. Perlahan kami memasuki desa. Desa ini cukup besar, namun sepi dan di balai desa antahberantah ini kami turun dari bus.
Perkenalan singkat dan ramah tamah dilakukan di balai desa itu. Pak Hari selaku pembina pemuda Banguntapan simbolis menitipkan kami kepada Pak Suwino tokoh masyarakat di desa itu. Setelahnya pembagian rumah.
Ku mendapat rumah di bagian ujung desa, dekat dengan jalan pinggir desa yang melingkari desa sebagai pembatas pemukiman dan hamparan sawah. Penduduk desapun sudah mengenal ring road pikirku. Ku tinggal di rumah Pak Yosef. Rumah sederhana sudah berdinding bata, namun bertelanjang langit-langit. Dari ruangan-ruangan rumah itu bisa diliihat bambu-bambu dipakai sebagai penahan genting. Hanya lantai dapur yang masih tanah, dengan perapian bahan bakar kayu membuat air yang disajikan berasa langu.
            Satu rumah ini dihuni 4 orang peserta, dua perempuan dan dua laki laki. Rina tidak serumah dengan aku. Empat orang itu adalah aku, Erwin, Elga dan Rasya. Tentunya aku bersama Erwin beda kamar dengan Elga dan Rasya. Walaupun begitu aku kurang tertarik pada mereka berdua. Erwin pun mengajak bicara bila perlu saja.
            “Yuk makan siang, makanan udah disediain ama Bu Yosef” kata Elga mengagetkan aku yang sedang membaca. Ya aku sengaja membawa buku bacaan untuk jaga-jaga kebosanan.
            “Eh, ya” kataku masih belum sepenuhnya menyadari.
Siang itu meja makan penuh kami berempat memakan dengan lahap makanan desa, sayur genjer, beberapa potong ayam bacem, tempe dan kerupuk.
            “Habis makan keliing desa yuk nanti” Kata Elga
Kami bertiga mengiyakan.
Istirahat sebentar setelah makan, sekitar jam dua siang kami berjalan keluar rumah, rumah ini berteras, hal yang sudah jarang dijumpai di rumah perkotaan. Kami berjalan ke arah utara, atau menurutku itu utara, benar-benar disorientasi diriku. Keutara berarti kami menyusuri jalan pinggir desan.
            Di kanan kami terhampar sawah begitu luasnya, di kiri kami pepohonan tinggi khas pedesaan; kelapa, gayam, belinjo, bambu dan terkadang serumpun pohon pisang. Tak heran walaupun siang hari udara masih terasa sejuk.
            “Di sini hening sekali ya, tak ada polusi suara seperti di kota” kata Rasya.
            “Benar,  terasa alami” Jawabku
            “Eh Lihat, di sawah ini tidak ada orang-orangan sawah, padahal sudah mau panen, bagaimana bila padi-padi dimakan burung?” kata Elga.
            “Eh, benar, tidak ada orang orangan sawah, mungkin mereka sudah punya kearifan lokal sendri mengenai hal itu” jawabku.
            Akhirnya kami menemukan sebuah tempat di ujung pertigaan yang cocok untuk nongkrong. Kami duduk-duduk disitu ngobrol sambil menikmati hamparan pemandangan sawah yang luas. Sawah menguning yang memberi harapan baik pada petani dan buruh tani yang mengelolanya. Sore itu kami habiskan waktu dengan saling mengenal di salah satu sudut pinggir desa.
***
Kelompok rumah juga merupakan kelompok Outbound di hari kedua. Mungkin pikirku untuk mencari cinlok dari dua cewek kelompokku. Siapa tahu, iseng-iseng berhadiah pulang live in punya pacar dan liburanku kan menggembirakan.
Outbound dimulai jam 14.00, sebelum itu kami sekelompok ikut Pak Yosef ke sawah, dia adalah buruh tani, dengan penghasilan kualitas buruh tani untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Walaupun tak membantu banyak tapi kami mencoba melakukan pekerjaan dia sebagai buruh tani; mengarit, memotong padi yang siap panen dan memasukkan gabah ke dalam karung.
Memulai outbound dengan membuat yel-yel, yang sederhana dan voting ketua; Elga. Kelompokku terlihat pesimis, karena ternyata kelompok kami mempunyai jumlah anggota yang pling sedikit; 4 orang. Namun ku coba meningkatkan semangat kami,
“menang atau kalah bukan masalah, yang penting kita sudah berusaha, ok?!” kataku pada kelompokku dan mereka mengiyakan.
 Setelah itu kami berjalan menuju pos pertama dalam rute kami. Pos pertama adalah pos memindah air dari ember ke ember satunya. Di pos ini ku tunjukkan kekuatan kakiku bolak balik memindah air. Aku mewakili kelompokku untuk memindahkan air sebanyak-banyaknya. Selelah mas penjaga pos mengukur kelompok kamilah pemenangnya. Selain meningkatkan  kepercayaan diri mungkin juga siapa tau Elga menjadi tertarik padaku.
            Outbond berlangsung begitu cepat, kelompok kami memenangkan 3 dari 5 permainan yang ada dan dengan total poin 165 menempati juara ke-3. Tak menyangka ketika dinikmati dan berusaha dengan potensi yang dimiliki, kelompok kecil ini dapat meraih juara 3.
            “Selamat ya Elga, Rasya, Erwin!” ucapku sambil mengajak mereka toss.
Tampaknya diriku cukup berpengaruh di dalam kelompok ini.
Sisa hari itu kuhabiskan waktu untuk mencoba menarik perhatian Elga, dengan mengajak mengobrol dan melihat pemandangan matahari terbenam di hamparan sawah. Hanya satu Truk dan dua pickup melewati jalan di belakang kami selama kami duduk dipinggir sawah.
“Ah, akhirnya tinggal malam ini dan besok siang sudah pulang balik jogja” kataku sambil membayangkan tersedianya akses internet di ponselku setibanya di kota.
“iya, kamu keburu pengen pulang?” tanggap Elga.
 “Sebenarnya sih iya, tapi pasti menjelang pulang pasti jadi tidak kepengen cepet pulang. Jadi ya nikmati aja lah selagi kita masih didesa ini, belum tentu bisa merasakan hal yang sama di lain tempat.”
“bener sih, paling ntar baru kerasa waktu itu cepet setelah kita mau pamitan ke penduduk desa ini.”
“ya begitu lah… Eh, dijadwal besok kan sebelum pulang ada trip ke pantai, Katanya Glagah, itu beneran gak sih?”
“mestinya beneran lah, emang knapa?”
“Sebenernya pengen ikut sih, tapi aku ada janji besok jam setengah empat sore, sedangkan kita dari Pantai baru jam tiga sore.”
“Ah sayang sekali, pentingkah acaranya? Kl emg penting ntar bilang panitia aja Ga.”
“hmm… smoga aja bisa ak tinggalin acaraku itu, tapi disini saja sulit sinyal, nge-hubungin temenku susah juga”
Yang tadinya ku merasa bosan, kini ku mempunyai alasan untuk berbuat sesuatu yang berbeda. Sekali lagi, siapa tahu, dia bisa mengisi hari-hariku selama libur panjangku. Pembicaraan sore itu berakhir saat matahari sudah hilang ditelan sawah yang berkilau emas, namun jalanan masih terlihat.
Acara terakhir hari itu, api unggun. Dan sekali lagi aku bersama tim berkolaborasi menyajikan pertunjukan di tanah lapang tanpa rumput, dekat balai desa dengan latar belakang api yang menyala-nyala. Hingga acara itu selesai, menunggu api dan bara padam kami bercengkerama bersama peserta live in yang lain, dan ku selalu berada satu kerumunan dengan Elga, namanya juga caper.
***
Pagi itu hari terakhir mengikut kegiatan di desa bersama induk semang kami, Pak Yosef. Kami diajak ke Pantai Jatimalang, tak jauh, hanya 12 kilometer dari desa yang kami tinggali. Pergi kesana kami naik sepeda motor, Pak Yosef dan anaknya memakai sepeda motor mereka sendiri. Kami meminjam sepeda motor panitia untuk ke pantai Jatimalang.
Setengah jam perjalanan kami sampai juga di pantai, seperti pantai terkenal di Jogja, Parangtritis & Depok pantai ini berpasir hitam. Tampak kapal nelayan bercadik berderet diparkir dipasir. Menuju ke bibir pantai, berderet beberapa kios dan ada sebuah pendapa kecil. Tempat Pelelangan Ikan belum juga buka, sentuhan wisata komersial terlihat disini berupa kolam renang, plang kios penyewaan ATV.
“Ini pantai daerah kami” kata Pak Yosef kepada kami, “ya begini lah adanya, ndak seperti pantai di Jogja kan lebih baik pastinya”
“Ah tidak juga kok pak, sama-sama punya pasir dan air laut juga pantai di Jogja” responku mencoba sedikit melucu namun garing.
Ternyata Pak Yosef memang rutin mengunjungi pantai ini dengan anaknya karena anaknya kadang sesak nafas, terapi udara pagi pantai katanya bagus untuk ananya.
Kami berlanjut bermain-main di pantai, sesekali berbasah mencelup diri di air. Sesekali bercana lempar-lemparan pasir dan saling ciprat air, tentunya Elga adalah sasaran utamaku.
“Ah! Basah tauk Ga, stop jangan ciprati terus!” Kata Elga sambil mengelak.
“Biarin, namanya juga main di pantai.” Kataku.
“Ah sayangnya penyewaan ATV belum buka ya, aku pengen nyobain tuh”
“emang belum pernah? Hahaha ndeso ah kamu”
“Emang kamu udah?”
“Belum juga, week” Jawabku sambil menciprati Elga dengan air lagi, “mestinya disini lebihmurah biaya sewanya daripada di Jogja”
Istirahat sebentar di pantai kutengok ponselku.
Dari Chatur: 08xx-xxxx-xxxx
“Sory bro, aku gak enak badan, ntar yang mimpin kamu ya, stg 4 lo jgn lp”
Oh my God pikirku, terpaksa ga bs ikut sampai selesai kegiatan ini dong.
Puas bermain di pantai, kami pulang ke desa, disana kami tinggal packing dan siap-siap ke balik ke jogja setelah acara ramah-tamah dan perpisahan dg warga desa.
“Ga, kliatannya ak bonceng salah satu panitia deh langsung ke Jogja, ak ga bs ikut bus. Acaranya ga bs aku tinggalin kliatannya.” Kataku sambil packing di ruang tamu
“Yaah.. ga asik dong” jawab Elga.
“Ya gimana lagi sih” jawabku, sambil mikir kalau sebenarnya bukan aku yang mau acara live in ini, tapi didaftarin ama orang tua aku.
“udah tinggalin aja, lumayan lho kita ke Glagah, pantai yang katany mau jadi pelabuhan itu kan. Kan kita bisa foto-foto dulu disana” Kata Erwin.
“Iya lho, aji mumpung sekalian udah disini masa gak diselesaiin sampai akhir” Rasya juga ikut njawab.
Aku galau, sebenarnya ini acara kecil, karena komunitasku ini baru dan sedikit juga anggotanya, tapi pikirku karena baru itu seharusnya konsisten dan rutin. Tapi acara ini semakin mendekati akhir semakin seru saja.
Usai perpisahan dengan desa, ku ditawari panita untuk membonceng.
“Bonceng aku ntar kalau jadi pulang duluan” kata Mohan, salah satu panitia.
“Ok.” Jawabku.
Menuju ke bus, ku berpapasan dengan serombongan panitia.
“kamu jadi pulang duluan? Ah sayang, skalian aja, to jarang kita bisa punya acara beginian masa ditinggalin.”
Aku jadi semakin galau, antara ku puulang duluan meninggalkan acara ini dan Elga atau ikut bersama mereka.
Perlahan ku mendekati Bus, dan menyapa panita yang berpapasan. Sampai di pintu bus aku mencolek salah satu panitia,
“Mas, aku ikut bus aja” kataku padanya dan dia mengiyakan, dan menginfokan ke panitia lain kalau aku ikut bus.
Ku masuk lewat pintu depan bus itu, ku cari bangku yang kosong, nomor dua dari depan, sisi kiri bus. Seorang cewek melambai tangan dan berkata bahwa bangku sebelahnya masih kosong, ternyata dia Elga.
Menuju pantai Glagah aku bercengkrama bersama dia sepanjang perjalanan. Sesampainya, kami turun dari bus, berjalan melewati berbagai kios, sebuah laguna buatan dan beberapa kolam renang buatan. Mirip Jatimalang hanya saja disini lebih banyak pilihan.
Di bibir pantai, berjalan diatas cor beton menuju ujung karang buatan ini, kanan kiri kami beton-beton pemecah ombak. Terlihat calon pelabuhan di kiri kami belum fungsional. Diujung pemecah ombak terhampar Samudra Hindia dengan gelombangnya yang terus menghantam beton-beton itu. Di bawah cipratan air laut itu, ku katakan kepaa Elga,
“Elga, aku suka kamu”
Dia menganguk pelan, dan hatiku tak karuan, kemudian dia menarik tanganku mengajakku mendekat ke ujung pemecah karang dan sedikit berteriak

“Ayo foto berdua disini!”


14-Jul-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar