Pagi itu seperti biasa,
aku bergegas ke kampus. Jam belum juga menunjukkan pukul 7.00 namun ku sudah
sampai kampus. Bukan karena ada kuliah, tapi demi mengejar akses Wi-Fi yang
cukup cepat di gedung baru kampusku.
Ya inilah aku Rega,
masih berstatus mahasiswa. Aku kuliah di suatu universitas di tengah kota
Yogyakarta yang cukup ternama, sedang menjalani libur panjang pergantian tahun
ajaran. Seharusnya semester ini aku sudah skripsi, namun ku masih merasa tak
layak secepat ini menghadap pembimbing.
Liburan memang hal yang
ditunggu-tunggu, bagi yang aktif studi dan kerja, namun apalah arti liburan
kini bagiku, ketika tak ada yang bisa diajak berbahagia bersama? Orang tuaku
bekerja seharian, dirumah sendirian, internetlah satu-satunya temanku. Meskipun
baru berjalan satu dari tiga bulan liburan, ku sudah bosan.
Di lantai teratas
gedung baru, ku duduk di bangku dekat lift, ku keluarkan laptop dan ponselku.
Coba ku gapai gelombang tak kasat mata; Wi-Fi, melalui gadgetku. Connected. Dan
mulai ku jelajahi alam maya ini. Home
page ku otomatis terbuka ketika browser
di klik, Facebook.
Tak ada hal baru di facebook ataupun artikel lain. Berita
pemilu dan kampanye sedang dominan menjejali beranda. Beberapa saat ku
berselancar, ponselku bergetar,
“Nak,
ikut Live in pemuda lah sana, lumayan tiga hari buat ngisi liburan”
Ya begitulah isinya,
dan tak kubalas sms itu. Sisa hidupku hari itu ku habiskan di bangku
dengan gadget ku. Ketika kala karyawan sudah berantri di dekat lift
berarti, sudah memberitahukan pukul 15.00 dan ku menghabiskan sedikit waktu
untuk membaca layar laptopku sekali lagi, walaupun ku tahu tak ada yang baru
dari postingan di beranda facebook
ku, sebelum ku meninggalkan gedung itu.
***
Sore, ku kembali
bertemu dengan orang tua, kegiatan membosankan lagi ketika kurasa orang tua pun
tak tahu mengenai penderitaanku sebagai jomblo semester tua dikala libur
panjang. Ponsel menjadi teman utama ku lagi ketika dirumah. Seperti anjing
terkekang dengan rantai, juga ku terkekang dengan kabel charger.
Sudah kebiasaan
keluargaku, walau tak ada keturunan Inggris, tiap sore mengadakan jam minum
teh. Teh panas disajikan dengan kue ataupun makanan ringan seadanya, kadang
tahu atau ketela goreng juga nikmat dipadu dengan teh panas di sore hari
bersama keluarga.
“Nak, ikutlah live in itu bersama pemuda dari Banguntapan, lumayan buat ngisi
liburan kamu. Ibu lihat kamu murung terus.” kata Ibu tiba-tiba.
“Hmm.. malas ah, lagian aku gak kenal
siapa-siapa di komunitas pemuda itu” jawabku.
“Nah itu dia, supaya teman kamu nanti
tambah makannya ikut kegiatan itu. Lumayan tiga hari, Jumat, Sabtu, Minggu”
“Apalagi itu bu, Sabtu, Minggu kan ibu
libur, bukannya aku lebih baik dirumah saja menemani ibu, kan seminggu kita
ketemu kalau sore malam saja. Emang dimana sih live in-nya?”
“Halah, biasanya juga orang tuamu ini
kamu tinggal di rumah terus. Katanya sih di Purworejo di desa.”
“Ah ndak mau ah”
“Halah, dah, ntar ibu daftarin ya
mumpung belum telat, ini masih Selasa”
“hmm…”
Ayah hanya diam saja sambil menikmati
rokoknya dan teh panas miliknya.
***
8.00 Jumat pagi, ku
sampai di balai desa Banguntapan, diantar ibu karena kantornya searah dengan
lokasi kumpul. Di situ sudah cukup banyak pemuda berkumpul, lima laki-laki
mengobrol di teras sisi utara, dan sekelompok perempuan di selatan. Terlihat
dua pemuda agak sibuk menghubungi lewat ponsel, dan kupastikan dia panitianya.
Kudatangi dia dan ku bayar uang pendaftaran dan aku disuruh menunggu.
Tak ada kata-kata
hingga jam 8.30. terlalu malu untuk memulai pembicaraan di lingkungan baru.
Hingga seseorang duduk disampingku dan berkata
“hai, anak baru ya? Darimana?” katanya
dengan nada riang.
“Oh, iya, aku dari Umbulharjo.” Jawabku
datar.
“Aku Rina”
Dia mengulurkan tanganya, mengajak
berkenalan.
“Aku Rega” kataku.
“Ok, ya tunggu dulu ya, busnya sudah
datang tapi pesertanya masih kurang. Aku ngurusin itu dulu ya”
Sisa waktu menunggu itu ku habiskan
dalam diamku.
Di dalam bus pun tak
ada yang menarik untuk menjadi bahan obrolan. Pemandangan selama perjalanan pun
terlewat begitu saja, jembatan kali Progo yang panjang, patung kuda Nyi Ageng
Serang di Wates, hingga jalan sejajar dengan rel kereta api, pertanda sudah
mendekati Purworejo.
***
Hari pertama di desa,
kami tiba sekitar pukul 11.00. dari jalan utama menuju desa, bus kami melewati hamparan
sawah yang luas. Sawah itu terlihat sedang menunggu hari untuk panen. Sejauh
mata memandang hanya sawah yang menguning, tersirat dalam pikiranku, kasihan
juga yang punya sawah di ujung sana tapi tinggalnya di desa seberang. Perlahan
kami memasuki desa. Desa ini cukup besar, namun sepi dan di balai desa
antahberantah ini kami turun dari bus.
Perkenalan singkat dan ramah tamah
dilakukan di balai desa itu. Pak Hari selaku pembina pemuda Banguntapan
simbolis menitipkan kami kepada Pak Suwino tokoh masyarakat di desa itu.
Setelahnya pembagian rumah.
Ku mendapat rumah di
bagian ujung desa, dekat dengan jalan pinggir desa yang melingkari desa sebagai
pembatas pemukiman dan hamparan sawah. Penduduk desapun sudah mengenal ring road pikirku. Ku tinggal di rumah
Pak Yosef. Rumah sederhana sudah berdinding bata, namun bertelanjang
langit-langit. Dari ruangan-ruangan rumah itu bisa diliihat bambu-bambu dipakai
sebagai penahan genting. Hanya lantai dapur yang masih tanah, dengan perapian
bahan bakar kayu membuat air yang disajikan berasa langu.
Satu
rumah ini dihuni 4 orang peserta, dua perempuan dan dua laki laki. Rina tidak
serumah dengan aku. Empat orang itu adalah aku, Erwin, Elga dan Rasya. Tentunya
aku bersama Erwin beda kamar dengan Elga dan Rasya. Walaupun begitu aku kurang
tertarik pada mereka berdua. Erwin pun mengajak bicara bila perlu saja.
“Yuk
makan siang, makanan udah disediain ama Bu Yosef” kata Elga mengagetkan aku
yang sedang membaca. Ya aku sengaja membawa buku bacaan untuk jaga-jaga
kebosanan.
“Eh,
ya” kataku masih belum sepenuhnya menyadari.
Siang itu meja makan penuh kami berempat
memakan dengan lahap makanan desa, sayur genjer, beberapa potong ayam bacem,
tempe dan kerupuk.
“Habis
makan keliing desa yuk nanti” Kata Elga
Kami bertiga mengiyakan.
Istirahat sebentar setelah
makan, sekitar jam dua siang kami berjalan keluar rumah, rumah ini berteras,
hal yang sudah jarang dijumpai di rumah perkotaan. Kami berjalan ke arah utara,
atau menurutku itu utara, benar-benar disorientasi diriku. Keutara berarti kami
menyusuri jalan pinggir desan.
Di
kanan kami terhampar sawah begitu luasnya, di kiri kami pepohonan tinggi khas
pedesaan; kelapa, gayam, belinjo, bambu dan terkadang serumpun pohon pisang.
Tak heran walaupun siang hari udara masih terasa sejuk.
“Di
sini hening sekali ya, tak ada polusi suara seperti di kota” kata Rasya.
“Benar, terasa alami” Jawabku
“Eh
Lihat, di sawah ini tidak ada orang-orangan sawah, padahal sudah mau panen,
bagaimana bila padi-padi dimakan burung?” kata Elga.
“Eh,
benar, tidak ada orang orangan sawah, mungkin mereka sudah punya kearifan lokal
sendri mengenai hal itu” jawabku.
Akhirnya
kami menemukan sebuah tempat di ujung pertigaan yang cocok untuk nongkrong.
Kami duduk-duduk disitu ngobrol sambil menikmati hamparan pemandangan sawah
yang luas. Sawah menguning yang memberi harapan baik pada petani dan buruh tani
yang mengelolanya. Sore itu kami habiskan waktu dengan saling mengenal di salah
satu sudut pinggir desa.
***
Kelompok rumah juga
merupakan kelompok Outbound di hari kedua. Mungkin pikirku untuk mencari cinlok dari dua cewek kelompokku. Siapa
tahu, iseng-iseng berhadiah pulang live
in punya pacar dan liburanku kan menggembirakan.
Outbound dimulai jam
14.00, sebelum itu kami sekelompok ikut Pak Yosef ke sawah, dia adalah buruh
tani, dengan penghasilan kualitas buruh tani untuk menghidupi istri dan dua
anaknya. Walaupun tak membantu banyak tapi kami mencoba melakukan pekerjaan dia
sebagai buruh tani; mengarit, memotong padi yang siap panen dan memasukkan
gabah ke dalam karung.
Memulai outbound dengan
membuat yel-yel, yang sederhana dan voting ketua; Elga. Kelompokku terlihat
pesimis, karena ternyata kelompok kami mempunyai jumlah anggota yang pling
sedikit; 4 orang. Namun ku coba meningkatkan semangat kami,
“menang atau kalah
bukan masalah, yang penting kita sudah berusaha, ok?!” kataku pada kelompokku
dan mereka mengiyakan.
Setelah itu kami berjalan menuju pos pertama
dalam rute kami. Pos pertama adalah pos memindah air dari ember ke ember
satunya. Di pos ini ku tunjukkan kekuatan kakiku bolak balik memindah air. Aku
mewakili kelompokku untuk memindahkan air sebanyak-banyaknya. Selelah mas
penjaga pos mengukur kelompok kamilah pemenangnya. Selain meningkatkan kepercayaan diri mungkin juga siapa tau Elga
menjadi tertarik padaku.
Outbond
berlangsung begitu cepat, kelompok kami memenangkan 3 dari 5 permainan yang ada
dan dengan total poin 165 menempati juara ke-3. Tak menyangka ketika dinikmati
dan berusaha dengan potensi yang dimiliki, kelompok kecil ini dapat meraih
juara 3.
“Selamat
ya Elga, Rasya, Erwin!” ucapku sambil mengajak mereka toss.
Tampaknya diriku cukup berpengaruh di
dalam kelompok ini.
Sisa hari itu
kuhabiskan waktu untuk mencoba menarik perhatian Elga, dengan mengajak
mengobrol dan melihat pemandangan matahari terbenam di hamparan sawah. Hanya
satu Truk dan dua pickup melewati
jalan di belakang kami selama kami duduk dipinggir sawah.
“Ah, akhirnya tinggal
malam ini dan besok siang sudah pulang balik jogja” kataku sambil membayangkan
tersedianya akses internet di ponselku setibanya di kota.
“iya, kamu keburu
pengen pulang?” tanggap Elga.
“Sebenarnya sih iya, tapi pasti menjelang
pulang pasti jadi tidak kepengen cepet pulang. Jadi ya nikmati aja lah selagi
kita masih didesa ini, belum tentu bisa merasakan hal yang sama di lain
tempat.”
“bener sih, paling ntar
baru kerasa waktu itu cepet setelah kita mau pamitan ke penduduk desa ini.”
“ya begitu lah… Eh,
dijadwal besok kan sebelum pulang ada trip ke pantai, Katanya Glagah, itu
beneran gak sih?”
“mestinya beneran lah,
emang knapa?”
“Sebenernya pengen ikut
sih, tapi aku ada janji besok jam setengah empat sore, sedangkan kita dari
Pantai baru jam tiga sore.”
“Ah sayang sekali,
pentingkah acaranya? Kl emg penting ntar bilang panitia aja Ga.”
“hmm… smoga aja bisa ak
tinggalin acaraku itu, tapi disini saja sulit sinyal, nge-hubungin temenku
susah juga”
Yang tadinya ku merasa
bosan, kini ku mempunyai alasan untuk berbuat sesuatu yang berbeda. Sekali
lagi, siapa tahu, dia bisa mengisi hari-hariku selama libur panjangku.
Pembicaraan sore itu berakhir saat matahari sudah hilang ditelan sawah yang
berkilau emas, namun jalanan masih terlihat.
Acara terakhir hari
itu, api unggun. Dan sekali lagi aku bersama tim berkolaborasi menyajikan
pertunjukan di tanah lapang tanpa rumput, dekat balai desa dengan latar
belakang api yang menyala-nyala. Hingga acara itu selesai, menunggu api dan
bara padam kami bercengkerama bersama peserta live in yang lain, dan ku selalu
berada satu kerumunan dengan Elga, namanya juga caper.
***
Pagi itu hari terakhir
mengikut kegiatan di desa bersama induk semang kami, Pak Yosef. Kami diajak ke
Pantai Jatimalang, tak jauh, hanya 12 kilometer dari desa yang kami tinggali.
Pergi kesana kami naik sepeda motor, Pak Yosef dan anaknya memakai sepeda motor
mereka sendiri. Kami meminjam sepeda motor panitia untuk ke pantai Jatimalang.
Setengah jam perjalanan
kami sampai juga di pantai, seperti pantai terkenal di Jogja, Parangtritis
& Depok pantai ini berpasir hitam. Tampak kapal nelayan bercadik berderet
diparkir dipasir. Menuju ke bibir pantai, berderet beberapa kios dan ada sebuah
pendapa kecil. Tempat Pelelangan Ikan belum juga buka, sentuhan wisata
komersial terlihat disini berupa kolam renang, plang kios penyewaan ATV.
“Ini pantai daerah
kami” kata Pak Yosef kepada kami, “ya begini lah adanya, ndak seperti pantai di
Jogja kan lebih baik pastinya”
“Ah tidak juga kok pak,
sama-sama punya pasir dan air laut juga pantai di Jogja” responku mencoba
sedikit melucu namun garing.
Ternyata Pak Yosef
memang rutin mengunjungi pantai ini dengan anaknya karena anaknya kadang sesak
nafas, terapi udara pagi pantai katanya bagus untuk ananya.
Kami berlanjut
bermain-main di pantai, sesekali berbasah mencelup diri di air. Sesekali
bercana lempar-lemparan pasir dan saling ciprat air, tentunya Elga adalah
sasaran utamaku.
“Ah! Basah tauk Ga,
stop jangan ciprati terus!” Kata Elga sambil mengelak.
“Biarin, namanya juga
main di pantai.” Kataku.
“Ah sayangnya penyewaan
ATV belum buka ya, aku pengen nyobain tuh”
“emang belum pernah?
Hahaha ndeso ah kamu”
“Emang kamu udah?”
“Belum juga, week”
Jawabku sambil menciprati Elga dengan air lagi, “mestinya disini lebihmurah
biaya sewanya daripada di Jogja”
Istirahat sebentar di
pantai kutengok ponselku.
Dari Chatur:
08xx-xxxx-xxxx
“Sory bro, aku gak enak
badan, ntar yang mimpin kamu ya, stg 4 lo jgn lp”
Oh my God pikirku, terpaksa
ga bs ikut sampai selesai kegiatan ini dong.
Puas bermain di pantai,
kami pulang ke desa, disana kami tinggal packing
dan siap-siap ke balik ke jogja setelah acara ramah-tamah dan perpisahan dg
warga desa.
“Ga, kliatannya ak
bonceng salah satu panitia deh langsung ke Jogja, ak ga bs ikut bus. Acaranya
ga bs aku tinggalin kliatannya.” Kataku sambil packing di ruang tamu
“Yaah.. ga asik dong”
jawab Elga.
“Ya gimana lagi sih”
jawabku, sambil mikir kalau sebenarnya bukan aku yang mau acara live in ini,
tapi didaftarin ama orang tua aku.
“udah tinggalin aja,
lumayan lho kita ke Glagah, pantai yang katany mau jadi pelabuhan itu kan. Kan
kita bisa foto-foto dulu disana” Kata Erwin.
“Iya lho, aji mumpung sekalian udah disini masa
gak diselesaiin sampai akhir” Rasya juga ikut njawab.
Aku galau, sebenarnya
ini acara kecil, karena komunitasku ini baru dan sedikit juga anggotanya, tapi
pikirku karena baru itu seharusnya konsisten dan rutin. Tapi acara ini semakin
mendekati akhir semakin seru saja.
Usai perpisahan dengan desa,
ku ditawari panita untuk membonceng.
“Bonceng aku ntar kalau
jadi pulang duluan” kata Mohan, salah satu panitia.
“Ok.” Jawabku.
Menuju ke bus, ku
berpapasan dengan serombongan panitia.
“kamu jadi pulang
duluan? Ah sayang, skalian aja, to jarang kita bisa punya acara beginian masa
ditinggalin.”
Aku jadi semakin galau,
antara ku puulang duluan meninggalkan acara ini dan Elga atau ikut bersama
mereka.
Perlahan ku mendekati
Bus, dan menyapa panita yang berpapasan. Sampai di pintu bus aku mencolek salah
satu panitia,
“Mas, aku ikut bus aja”
kataku padanya dan dia mengiyakan, dan menginfokan ke panitia lain kalau aku
ikut bus.
Ku masuk lewat pintu
depan bus itu, ku cari bangku yang kosong, nomor dua dari depan, sisi kiri bus.
Seorang cewek melambai tangan dan berkata bahwa bangku sebelahnya masih kosong,
ternyata dia Elga.
Menuju pantai Glagah aku
bercengkrama bersama dia sepanjang perjalanan. Sesampainya, kami turun dari
bus, berjalan melewati berbagai kios, sebuah laguna buatan dan beberapa kolam
renang buatan. Mirip Jatimalang hanya saja disini lebih banyak pilihan.
Di bibir pantai,
berjalan diatas cor beton menuju ujung karang buatan ini, kanan kiri kami
beton-beton pemecah ombak. Terlihat calon pelabuhan di kiri kami belum
fungsional. Diujung pemecah ombak terhampar Samudra Hindia dengan gelombangnya
yang terus menghantam beton-beton itu. Di bawah cipratan air laut itu, ku
katakan kepaa Elga,
“Elga, aku suka kamu”
Dia menganguk pelan,
dan hatiku tak karuan, kemudian dia menarik tanganku mengajakku mendekat ke
ujung pemecah karang dan sedikit berteriak
“Ayo foto berdua
disini!”
14-Jul-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar