Selasa, 21 November 2017

1570 mdpl -2017/11/19




Usai hari menyusur jejak jalur kuna, maka hari kedua ini di awali dengan ucapan syukur yang sangat karena dapat menikmati kemegahan lereng  Sindoro dan pemandangan yang heavenly berupa pemandangan rangkaian puncak gunung yang tersaji di arah matahari terbenam. 1100mdpl dan tanpa halangan yang berarti, Gunung Ungaran, Telomoyo, Andong, Merapi, Merbabu dan tentunya Sumbing serasa menyapa kami dengan agungnya.


Tak usai disitu ucapan syukur ini, perjalanan pagi berlanjut ke 1570mpdl untuk menikmati pemandangan sekaligus pemandangan matahari terbit yang sedikit terlambat. Menaiki pikep kami menyusur jalanan makadam hingga lokasi melihat pemandangan. Sesekali melewati pinggir jurang terus menanjak menuju lokasi.



Beberapa puluh meter menuju lokasi, pikep berhenti dan kami berjalan mendaki, kiri kanan sejak tadi perkebunan sayuran milih warga. Ada instalasi bambu yang disediakan untuk berfoto ria. Kata petani disitu, seminggu ini baru kali ini cerah lagi.



Syukur bagi-Nya.

Berbincang dengan mas Chandra yang membagikan cerita perjuangan hidupnya, yang tentunya sangat menginspirasi atas ketekunan dan penemuannya tentang esensi ‘hidup’ dalam usia yang begitu muda.




Syukur sekali lagi diucapkan.

Begitulah pagi ini 19 November 2017 saya ceritakan.





Senin, 20 November 2017

Ekspedisi Jalur Kuna #2

Sabtu 18 November 2017,
dapet kaos yey yey yey
aku diutus kantor untuk berangkat ke Parakan bersama Ludivine juga tim dari Tripdixi untuk mengikuti acara Ekspedisii Jalur Kuno 2; Jejak Prasasti Rukam dan Kayumwungan. Berangkat dari Puri Brata pagi hari, kami menggunakan mobil. Di perjalanan cukup lancar, kecuali magelang dan temanggung kami mendapatkan sedikit kemacetan. Sampai di Taman kota Parakan sekitar jam 10 pagi,. Sampai disana, kami dibagikan kaos perjalanan dan berkenalan satu sama lain.




pemandangan di lokasi situs pertama
Setelah briefing oleh panitia, kami diarahkan untuk menaiki mobil bak terbuka sebagai moda transportasi kami menuju situs-situs yang akan kami kunjungi. Kunjungan pertama kami dari parakan naik, mengarah ke Kledung, ditengah perjalanan hujan deras datang. Sebentar kami berhenti dan memakai mantol yang dibagikan panitia, dan lanjut lagi, tariik mang! Untunglah saya pututskan memakai celana pendek dan sandal gunung, jadi aman deeh..




bahagia diatas pikep
Berbahagia diatas pikep
Hujan deras menemani kami diatas pikep, karena derasnya hujan, panitia memutuskan untuk mengambil jalur lain menuju situs pertama, katanya lewat atas, karena kalau lewat bawah kemungkinan sungaii yang akan disebrangi banjir. Singkat cerita, pikep depan ga mau nyedot bensiin dan mogok, untunglah dekat dengan desa yang menuju situs.
terekking

balik dari situs pertama
Kami masuk desa, jalan sebentar dan mulai masuk ke pekarangan, dan lahan pertanian penduduk sekitar. Jalan lalu menurun, cukup curam dan licin. Hingga sampai pada sungai kecil yang bisa kami sebrangi. Dilanjutkan naik lagi ke lereng sisi lain sungai dan kami berjalan seperti di pematang sawah, menuju ujung bukit. Sebelum ujung bukit terdapat situs Lingga yang katanya ditemukan paling besar daripada yang lain. Maju sedikit dari situs tersebut kami bertemu dengan tangga lurus kebawah menuju ke tempuran (tempat bertemuanya dua sungai). Tangga tersebut tinggal separo, konon jaman belanda dulu masih utuh sampai bawah tangganya.
prasasti tahun 1700an kalau ga salah
Kemungkinan, gunung Sindoro diatas dianggap sebagai lingga dan tempuran yang disucikan tersebut adalah simbol dari anak Siwa. Sehingga lokasi tersebut adalah lokasi yang sakral. Kemungkinan juga ritus yang dilakukan pada masa itu bukan dari bawah (sungai) ke atas tetapi dari atas, lanjut ke sungai untuk melarung atau mengambil air, dan naik lagi keatas. Dari titik ini juga terlihat longosoran tebing, yang katanya memakan korban satu dusun.
tangga menuju tempuran
horeee
Perjalanan berlanjut, menuruti jalur berangkat tadi. Beberapa kawan mendapatkan servis pijat ditengah kebon karena kumat diperjalanan dan disarankan untuk lewat jalur lain yang lebih datar namun sempit. Kami kembali ke pikep dan perjalanan dilanjutkan, kami turun menuju kota Parakan lagi dan entah kemudian kemana, tibalah di lokasi yang konon katanya ditempat itu ditemukannya prasasti  yang kemungkinan berhubungan dengan penentuan lokasi dibangunnya candi Borobudur.
kuliah diatas pikep
Prasasti Kaymwungan.
Pendeta melakukan pamujan
Disitu prasastinya sudah dipindah di museum, dan tinggallah relief gajah yang ujud gajahnya sudah tidak daat dikenali karena kena semen. Ya, oleh entah siapa batu relief ini di berdirikan dan di perkuat dengan semen. Disini katanya juga sudah begitu banyak berubah, dengan dulu katanya ada diberi makam-makam-an, mungkin supaya lebih mistis, dan sekarang jadi ada peneduhnya, dan beberapa batu untuk numbuk padi, juga didatangkan batu seperti pagoda.

ukuran bata yang digunakan di situs Kayumwungan
Di sisi utara (menurutku) terdapat susunan bata berbentuk kotak, di sisi selatan tersingkap sedikit susunan yang kemungkinan dulu batas situs. Susunan batu kotak tersebut menurut bayangan saya dulu disitu adalah kolam yang digunakan untuk membersihkan diri ataupun sumber air. Karena situs ini diatas bukit maka permasalahan utama adalah air, sehingga perlu penampungan air. Seperti di candi boko dan makam ratu Malang. Sekali lagi itu analisis saya lho. Oh ya, penduduk yang mendiami di dekat situs ini juga membuat sumur dekat situs, banyak ketemu batu, yang kata mas Chandra adalah batu dasaran untuk perkuatan situs pada jamannya. Bukan jamannow. Daan sumurnya juga belum keluar air sudah 17 meter.

Ludivine mencoba pijatan spesial dari Guru
pak bos kita

Kami istirahat makan siang di tempat itu, dengan menu nasi jagung, nasi biasa dan sayur mayur, peyek ikan asin, juga makanan macam-macam lainnya. Disajikan dengan daun pisang dan nuansa syahdu dibawah pohon raksasa beringin putih yang menaungi puncak bukit tersebut.

atap baru tambahan biar syahdu



emejing
lokasi kekinian di temmpat ditemukan prasasti


Gondosuli.
menghargai tradisi moyang
Di situs ini, yang paling menarik bagi saya adalah cerita alasan tulisan di prasasti hilang. Ternyata karena kebaikan penduduk sekitar yang ingin membersihkan prasasti tersebut dan ternyata membersihkannya terlalu keras sehiingga aksara di batu tersebut juga ikut terkikis dan hilang.












gondosuli

 



Dalam pikiran saya, Gondosuli juga ada di ketinggian lereng lawu, nama tempat juga. Apakah tumbuhan Gondosuli cenderung tumbuh baik di ketinggian? Belum terjawab, mungkin kalau dah ketemu jawabannya saya tulis di blog ini juga.
nih prasasti yang hilang ingatan.
Di sisi timurnya prasasti ada kompleks reruntuhan. Tidak yakin apakah situs hindu meski ada Yoni, karena di masa lalu Yoni lebih universal sebagai simbol kesuburan, juga begitu kuatnya percampuran antara Hindu Budha, bisa jadi Budhis Siwa dan apapun itu. Singkatnya, bisa jadi yang membangun adalah masyarakat dengan kepercayaan X tapi tahunya cara bikin pamujan dengan cara Y. kurang lebih begitu yang saya tangkap.

Ada arca Nandi, arca perempuan yang tinggal sedikit bagian, yoni terisi air di lubang di dalamnya juga banyak relief yang menggambarkan kondisi sekitar lokasi candi berupa burung, dan tanaman, lotus terbuka utuh, separo dan kuncup. Tentunya bermakna tertentu yang saya juga belum tau.

Chakra.
Pikep menghantar kami sampai masuk desa, dan berhenti sebelum jembatan kecil. Kami berjalan masuk ke arah sawah, menelusuri pematang sawah dan naik bukit entah bukit yang mana karena ternyata banyak bukit di daerah sini, begitu banyaknya dan hampir di setiap puncak bukit ada situsnya meski hanya sedikit. Setelah menyebrang sawah, kami masuk lorong kebon bambu sebentar dan naik bukit melewati kebon telo. Cepat saja sampai puncak bukit dikelilingi bambu yang lebat, ternampaklah klimaks dari perjalanan ini. Sebuah lingkaran dengan empat lubang berbentuk apik, dan nampak bersih begitu megahnya terletak di tengah-tengah. Rasanya tak ingin usai memandanginya, mengapresiasi keindahannya. Biarkanlah foto yang berbicara kali ini.
membuat menganga..
Oh ya, di setiap situs kami beristirahat dan mendengar penjelasan. Juga ada pendeta budhis yang turut serta dan sembahyang di setiap situs. Membuat imajinasi ini liar membayangkan jaman dulu tiap-tiap situs juga didatangi oleh masyarakat unutk melakukan pemujaan.
selfie dengan masterpiece
Hari mulai redup. Kami turun, dan disajikan oleh sang maha kuasa, siluet gunung dari pikep kami. Perjalanan kami lanjutkan dengan kunjungan pada batuan candi yang sudah jadi dasaran rumah. Hari sudah gelap pencahayaan kurang asik karena kurang bisa melihat detail dan sudah lelah diguyur banyak hujan seharian. Kami menuju base camp di desa Candi Sari.
lorong bambu yang epic

katanya itu relief gajah
untuk dekorasi lahan pribadi

Isitirahat sebentar sambil ngopi dan nglinthing dan berangkat lagi untuk menghadiri acara didesa. Oncor menerangi jalan kami dan di tangga menuju petilasan, makam leluhur pertama desa tersebut. Tak lama datanglah rombongan berpakaian surjan lengkap diikuti iringan membawa tumpeng dan ingkung. Mulailah tembang dan doa-doa yang berakhir jam 11 malam dilanjut kita makan malam bersama nasi tumpeng yang sudah didoakan tersebut.
Prosesi
nembang

dapat lorotan degan

prosesi
Lalu kami disuguhkkan nanyian Lirilir yang sudah dimodifikasi kekinian dan tembang bahasa jawa kuna yang juga disajikan lebih mistis kekinian. Acara diakhiri dengan kata-kata dari mas Chandra, dan kami balik ke basecamp, kallau aku sih langsung cari posisi tidur, beralas tikar dan karpet, dan berseteru dengan dinginnya 1100mdpl diantara dua Gunung. Selamat malam!
persiapan manggung

pemandangan malam

Selamat malam!

Kamis, 09 November 2017

Fajar Menyingsing


Pagi ini, 10 November 2017 adalah hari pertama saya tidak lagi terikat dengan kampus UKDW yang selama 7 tahun saya mempunyai keterikatan khusus sebagai mahasiswa dan asisten dosen.

Oktober lalu, usai menyelesaikan membantu sahabat menjelang pengumpulan Tugas Akhirnya, tiba-tiba ada lowongan di suatu konsultan di ujung selatan Bantul, dan saya mencoba untuk mendaftar. setelah sekian hari saya mendapatkan balasan untuk wawancaara dan singkat cerita; diterima. Dua minggu awal, saya masih membagi waktu dengan menjadi asisten dosen di kampus pada mata kuliah Struktur dan Konstruksi 5 (SK5) juga mata kuliah Tektonika. Terhitung 9 November kemarin, adalah hari terakhir saya mengemban kebahagiaan menjadi asisten dosen.

Memang menarik menjadi asisten dosen selama ini, bertemu dengan pemudi-pemuda yang penuh semangat perjuangan kuliah, dan pengetahuan baru yang saling didapat oleh mahasiswa dari hasil diskusi yang hidup. meskipun ada gap pengetahhuan yang saat semester itu ketika saya kuliah saya belum mendapatkan dan tantangan baru lainnya yang saya harus hadapi.

Mungkin saya menjadi asisten ini sebagai perkenalan awal dalam menuju dunia kerja, dan saya sangat berterimakasih pada mas Bagus yang memberikan kesempatan ini pada Saya, dan Pak Yoga yang menerima saya sebagai asistennya meski tak usai satu semester. Juga pak Eko yang menawari saya menjadi asisten dosen pada matakuliah Tektonika yang diampu Bu Linda, yang darinya saya banyak belajar ternyata susah juga mengajar di depan kelas, dan berbagai ilmu kritis yang perlu lebih dipelajari kalau besok saya jadi dosen, hahaha ngarepp..

ok, tak lupa saya berterimakasih pada teman-teman SK 5 dan Tektonika semester ganjil tahun ajaran 2017-2018 yang sudah mau dan mempercayakan pertanyaannya pada saya. Ya saya jawab sebisa saya, bila tidak bisa saya kulakan dulu tanya ke dosen dan ku jelaskan padamu, cieeh.. tentunya saya juga mempunyai pengetahuan baru dengan bekerja sama bersama-teman-teman selama ini.

:)

semoga diskusi selama ini, dapat menjadi bekal, dan berguna bagi kelanjutan studi kalian guys!
selamat kuliah, menggarap tugas besar, dan sukses selalu untuk kuliahnya!
..
pesan saya, gak usah kuliah lama-lama, cari cara cepet dalam menyerap ilmu dan segera keluar dari kampus, dan segera mendapatkan penalaman kerja secara profesional.

dan dunia baru pekerjaan hari ini saya arungi.
sukses juga buat saya ^_^

Salam!

Selasa, 17 Oktober 2017

Bike Camp - Compi Jejal

Sabtu, 14 Oktober 2017
Hari yang ditunggu telah tiba, saatnya hari untuk bike-camping bersama dengan kompi Jejal; Komunitas pit penjelajah Jalanan. Bagi kompijejal, bike camp adalah agenda periodik. Bukan perkara setiap berapa bulan sekali, tapi setiap mayoritas anggota selo, maka diadakanlah aktivitas ini. Tak menutup keikutsertaan hanya anggota saja, bagi siapapun yang ingin ikut dipersilakan yang penting gayeng.

Meskipun janjian berangkat Sabtu sore, saya baru melakukan persiapan perlengkapan Sabtu siangnya. Tenda, makanan, air minum, sarung, sleeping bag dan perlengkapan lain sudah siap, saatnya  pannier dipasang dan menunggu keberangkatan. Saya berangkat bersama Elisa yang mampir untuk repacking perbekalan di rumah. Rombongan kompijejal berangkat jam 15.00 kami berangkat jam 17.00 kaerna menghampiri Kholis dahulu, di daerah Tembi, sepulang dia kerja. Sekitar magrib 17.45 kami tiba di rumah Kholis dan bertiga melanjutkan perjalanan menuju selatan, sesuai pesan singkat di WA, Pantai Goa Cemara masuk, perempatan kecil kebarat, penangkaran penyu kebarat sekitar 50m lalu keutara. Disitulah teman-teman yang dahulu datang mendirikan tenda.

Perjalanan keselatan dipercepat karena tipikal jalanan di DIY kalau keselatan berarti turunan meski sangat landai, dengan kayuhan biasa dapat mencapai 25kmph. Istirahat sebentar di sekitar Sanden, sekalian Kholis membeli air mineral 1.5 literan dan mengunyah eskrim-nya. Perjalanan menyelatan disambut dengan gelapnya jalan karena minim penerangan setelah memasuki gerbang retribusi pantai yang sudah tidak dijaga. Disambut pertigaan jalur selatan arah samas, kami berbelok ke barat, menyusur jalan yang sunyi dan gelap. Semak dan bangunan yang dilewati menampakkan kesan seramnya, membuat kesan sedikit horor. Sampai di simpang pantai Goa Cemara, kami masuk dan ternyata disitu ramai acara. Kami menuju kebarat, semakin terasa aura horornya. Jalan selebar dua meter dengan semak tinggi di kanan kiri. Melewati bangunan penangkaran penyu terlihat sepi tapi ada lampu menyala. Bagaikan di film horor. Aduh, aku gondrong tapi ya takut kaya ginian.

Maju dari penangkaran penyu dengan sinyal seadanya, mengabari kawan di WA bahwa kami sudah sampai bangunan penangkaran penyu. Sebentar berhenti di persimpangan menunggu balasan, dan akhirnya dua teman memberi sinyal dengan senternya, menjemput hingga tepi jalan. Langsung kami ikuti dua teman tersebut, dan ternyata menuju lokasi pendirian tenda perlu mendorong sepeda di pasir-pasir. Untunglah tidak terlalu jauh dan pasir mengeras terbasahi air hujan sore tadi. Tak lama kami sampai lokasi kemah.

Di lokasi, teman-teman lain sudah menyalakan arang yang dibawa dengan ceret diatasnya. Datang dan menurunkan barang bawaan kami, dan menyapa mereka. Bongkar-bongkar barang, dan mendirikan tenda, serta mengatur ulang tenda yang sudah didirikan supaya membentuk ruangan asik mengelilingi arang unggun.

Saya meras kedinginan tapi beberapa teman merasa sumuk, jadilah saya sarungan dan mereka ngligo. Meneguk secangkir goodday dan saya mapan bobok. Teman lain masih ngobrol hiingga subuh. Saya setengah sepuluh malam sudah mendengkur, sekitar jam 10.30 gerimis datang, menyiagakan aku yang setengah tertidur, mengecek kalau ada yang bocor, dan hanya menggeser terpal alas tidurku saja. Gerimis selesai, akupun tidur lagi. malam hari ku dengar suara cewek teriak, dan terbangun sesaat, ternyata hujan, tak kuasa ngantuk, ku tidur lagi.

Jadi judulnya Cuma pindah tidur. Paginya langsung menghangatkan badan dengan secangkir sekoteng. Menikmati pagi diatas pasir sebelum bongkar tenda. Fly sheet 15ribuan perhari ternyata berguna, dengan bentang 3x4 meter hampir menutupi dua tenda sekaligus. Pagi yang cerah ini diakhiri dengan berkemas dan menuntun sepeda kembali ke jalur aspal untuk dikendarai pulang.

Pulang lewat jalur selatan, begitu cerah ramai, tidak mencekam samasekali. Ternyata di timur goa Cemara itulah kebun bunga matahari yang lagi hits. Kami lewat saja, sekilas bertemu dengan mas Noel yang saya pernah sepedaan se rombongan 4 orang dengannya ke Bromo. Mas Noel dan pacarnya ingin mengunjungi kebun Bunga tersebut, dan kami melanjutkan perjalanan. Sebentar kami mampir di penjual Semangka, Kang Sabar dan Kholis beli semangka yang tulisannya 5ribu tapi semangka yang 5 ribuan habis, hahaha..

Perjalanan pulang sementara singgah di warung soto, mengisi bahan bakar, dan dilanjut ke rumah kang Sabar, makan semangkanya dan dapat oleh-oleh Sukun. Usai hujan saya dan teman lain pamitan, pulang. Sebelum sore sudah sampai rumah. Sudah termasuk mengembalikan fly sheet di Sapen bonus cerita menarik dari yang menyewakan.

Tak lupa sebelum istirahat sepeda dicuci dan perlengkapan di un-load. Sepeda dicuci supaya tidak mudah karat pada material yang terbuat dari besi, karena semalaman terpapar angin pantai.

Begitulah kisah kali ini. salam!

Minggu, 01 Oktober 2017

Puncak Gebang

 Alternatif tempat bercengkrama

Pemandangan ke arah barat, dengan hamparan sawah di bawah.
Suatu hari di akhir tahun 2016, ketika menikmati malam sambil scrolling layar ponsel, berharap ada barang murah di forum jual beli sepeda. Bertemu dengan postingan komunitas sepeda baru di DIY, Mataram Riders, yang mempunyai basecamp di Plered, Bantul. Meliihat postingan di FJB tersebut, saya jadi tertarik bergabung, juga rute-rute bersepeda mereka menantang. Saya komentari untuk mendapatkan kontak pesepeda yang memposting, dan berlanjutlah di minggu selanjutnya, hari selasa saya bergabung bersepeda bersama komunitas ini.

Trek yang saya lalui bersama komunitas sepeda ini dari Plered arah Segoroyoso menuju tanjakan legendaris; cino mati. Namun sebelum tanjakan cinomati kami berbelok ke kiri, arah depokan dan muter-muter nanjak, akhrinya perjalanan berhenti di sebuah tebing, yang syahdu untuk menatap kepergian sang surya ketika sore hari. Itulah puncak Gebang.

Bukan candi Gebang yang ada di utara UPN, tapi ini puncak Gebang di Bawuran, Bantul. Bila dari kota tugu Jogja bisa kita tempuh hanya dengan menggelinding sejauh 15km saja ke arah tenggara. Bila dari ringroad janti untuk menuju tempat ini, anda harus ke selatan hingga dua persimpangan, nah di persimpanan kedua ini (kalau ke kanan/barat arah kotagede) belok ke timur/kiri, mengikuti jalan, ada petigaan ambil kanan, ikuti terus sampai mentok daerah Segoroyoso, jalan berbelok kekiri, ikuti hingga ada pertigaan, ambil kiri. Setelah itu patokannya jalan utama berkelok ke kanan, dan dikiri ada jalan masuk kampung, nah di simpang Y tersebut, ada gang yang sedikit ngumpet di kanan/timur jalan. Gang-nya mimikri dengan bangunan di kanan-kirinya.  Oh, ya di simpang Y tersebut patokannya ada kandang sapinya. Nah bila ketemu gang ke arah timur tersebut, masuk dan ikuti. Hanya melewati dua rumah dan hamparan sawah terbentang bagai ucapan selamat datang menuju puncak Gebang. Ikuti jalan hingga menanjak dan nikmati hingga sampailah di puncak Gebang.


Sore
suasana sore ketika musim kering
Waktu yang menurut saya terbaik menikmati tempat ini adalah sore hari. Karena tempat ini menyediakan pandangan yang leluasa, hampir tanpa hambatan untuk menikmati sinar matahari sore dan proses tenggelamnya. Bila musim panas pemandangan syahdu dengan pepohonan setengah keringnya, bila musim basah, akan lebih bernuansa refreshing, ijo-ijo daun pepohonan. Ditambah bila sawah terbentang dibawah sedang hijau. Komposisi pemandangan sawah di bawah dan batuan di tebing,  sawah yang terlihat di bawah bagaikan  karpet tergelar empuk enak untuk gulung-gulung. Pemandangan-pemandangan ini membuat rileks mata juga pikiran yang bekerja keras ketika beraktifitas seharian. Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta berinteraksi dengan sesama. sumber 

Tak perlu khawatir juga bila datang tak membawa bekal, karena ada beberapa penjual dengan warung bambunya. Yang hampir selalu penuh pesanan minuman ketika lokasi ramai pengunjung. Menikmati sore sembari meneguk sedikit-demi sedikit teh hangat atau kopi ditemani gorengan merupakan makanan rohani bagi ketentraman jiwa. Duduk-duduk di bebatuan alami atau di bangku dari kayu, silakan dipilih, atau kalau ingin lesehan bisa meminjam tikar pada warung.
Bila beruntung dapat menikmati suguhan dari sang Ilahi

Kini, pengunjung lebih bervariatif, dari keluarga dengan anaknya yang menikmati sore secara murahmeriah dan mendapatkan pemandangan alam ala resort, pemuda-pemudi yang merajut kenangan, pemuda yang pengen nongkrong saja, hingga pesepeda yang membutuhkan pemandangan asik diatas bukit yang tak terlampau sadis tanjakannya.

Kadang matahari sudah meninggalkan kami terlampau cepat karena ada mendung atau awan pekat di sisi barat, tapi itu tak mengurangi indahnya matahari terbenam, meski hanya terbenam di balik awan.


Jarak-Waktu-Kualitas
Dengan jarak 10-15km dari kota Jogja, lokasi ini tidak terlampau jauh. Juga bila dicapai dengan moda sepeda. Bila dengan sepeda, saya sarankan dari kota berangkat jam 15 atau 15.30 supaya sampai  di puncak Gebang masih mendapat waktu cukup untuk istirahat dan menikmati tenggelamnya matahari.
Cari saja puncak gebang di googlemap bila ingin kesini.
Jarak yang relatif sama, bisa sampai bukit bintang, ataupun candi Abang. Meski di buit bintang pemandangan yang disajikan lebih aduhay, namun nuansa disana sudah sangat komersil. Kita datang untuk bertransaksi. Bangunan-bangunan warung yang sengaja dibuat supaya kita harus membayar untuk menikmati pemandangan. Berbeda dengan di puncak gebang, menuju kesana sudah disajikan pengalaman ruang melewati jalanan yang masih banyak sawahnya, sampai di puncak gebang, kita bisa leluasa memandang pemandangan hampir tanpa halangan. Warung di lokasi ini berada di timur pemandangan. Belum bila datang dengan sepeda, dan diatas bertemu dengan sesama pesepeda, cerita ngalor ngidul dan teman baru didapat.
 
Masyarakat sekitar lokasi mempercantik, yang dari jauh mengapresiasi
sruput teh anget dan cuci mata.

Lokasi puncak gebang ini konon merupakan tanah pribadi, bukan aset desa. Diluar masalah kepemilikan, dan lokasi yang strategis, adanya tempat ini meberikan dampak positif bagi masyarakat. Memberikan sarana wisata murah-meriah dan yang paling penting menurut saya, lahan puncak gebang ini menjadi ruang publik yang semakin langka dan jarang direncanakan secara baik oleh pemerintah. Kecenderungan pemikiran selama ini ruang publik hanya pemborosan lahan, karena berarti lahan tidak terbangun = tidak menguntungkan. Tapi tidak bagi pandangan saya, ruang publik dibutuhkan meski tidak profit, tapi ada benefit bagi banyak orang. Bahkan menurut pak presiden, "Membangun ruang publik yang berkualitas sama saja dengan membangun manusia yang berkualitas" sumber.
Setiap hari mempunyai senjanya sendiri.

Semoga puncak gebang tetap menjadi wisata yang bersifat alternatif, dan tidak menuju komersil. Dan semoga yang punya lahan di puncak gebang diberikan pahala yang begitu besar, karena memberikan kebahagiaan rohani bagi tiap pengunjung yang menikmati nuansa di lokasi tersebut.

jangan ditiru bila sepeda berat.
Jadi, kapan kita mulai meningkatkan kualitas hidup kita dengan mengapresiasi ruang publik yang ada?

tak lupa mengabadikan sang senja


narsis dulu