Sabtu 18 November 2017,
|
dapet kaos yey yey yey |
aku diutus
kantor untuk berangkat ke Parakan bersama Ludivine juga tim dari Tripdixi untuk
mengikuti acara Ekspedisii Jalur Kuno 2; Jejak Prasasti Rukam dan Kayumwungan. Berangkat
dari Puri Brata pagi hari, kami menggunakan mobil. Di perjalanan cukup lancar,
kecuali magelang dan temanggung kami mendapatkan sedikit kemacetan. Sampai di
Taman kota Parakan sekitar jam 10 pagi,. Sampai disana, kami dibagikan kaos
perjalanan dan berkenalan satu sama lain.
|
pemandangan di lokasi situs pertama |
Setelah
briefing oleh panitia, kami diarahkan untuk menaiki mobil bak
terbuka sebagai moda transportasi kami menuju situs-situs yang akan kami
kunjungi. Kunjungan pertama kami dari parakan naik, mengarah ke Kledung,
ditengah perjalanan hujan deras datang. Sebentar kami berhenti dan memakai
mantol yang dibagikan panitia, dan lanjut lagi, tariik mang! Untunglah saya pututskan memakai celana pendek dan sandal gunung, jadi aman deeh..
|
bahagia diatas pikep |
|
Berbahagia diatas pikep |
Hujan deras menemani kami diatas
pikep, karena derasnya hujan, panitia memutuskan untuk mengambil jalur lain
menuju situs pertama, katanya lewat atas, karena kalau lewat bawah kemungkinan
sungaii yang akan disebrangi banjir. Singkat cerita, pikep depan ga mau nyedot
bensiin dan mogok, untunglah dekat dengan desa yang menuju situs.
|
terekking |
|
balik dari situs pertama |
Kami masuk
desa, jalan sebentar dan mulai masuk ke pekarangan, dan lahan pertanian
penduduk sekitar. Jalan lalu menurun, cukup curam dan licin. Hingga sampai pada
sungai kecil yang bisa kami sebrangi. Dilanjutkan naik lagi ke lereng sisi lain
sungai dan kami berjalan seperti di pematang sawah, menuju ujung bukit. Sebelum
ujung bukit terdapat situs Lingga yang katanya ditemukan paling besar daripada
yang lain. Maju sedikit dari situs tersebut kami bertemu dengan tangga lurus
kebawah menuju ke tempuran (tempat bertemuanya dua sungai). Tangga tersebut
tinggal separo, konon jaman belanda dulu masih utuh sampai bawah tangganya.
|
prasasti tahun 1700an kalau ga salah |
Kemungkinan, gunung Sindoro
diatas dianggap sebagai lingga dan tempuran yang disucikan tersebut adalah
simbol dari anak Siwa. Sehingga lokasi tersebut adalah lokasi yang sakral. Kemungkinan
juga ritus yang dilakukan pada masa itu bukan dari bawah (sungai) ke atas
tetapi dari atas, lanjut ke sungai untuk melarung atau mengambil air, dan naik
lagi keatas. Dari titik ini juga terlihat longosoran tebing, yang katanya
memakan korban satu dusun.
|
tangga menuju tempuran |
|
horeee |
Perjalanan berlanjut, menuruti
jalur berangkat tadi. Beberapa kawan mendapatkan servis pijat ditengah kebon
karena kumat diperjalanan dan disarankan untuk lewat jalur lain yang lebih
datar namun sempit. Kami kembali ke pikep dan perjalanan dilanjutkan, kami turun
menuju kota Parakan lagi dan entah kemudian kemana, tibalah di lokasi yang
konon katanya ditempat itu ditemukannya prasasti yang kemungkinan berhubungan dengan penentuan
lokasi dibangunnya candi Borobudur.
|
kuliah diatas pikep |
Prasasti Kaymwungan.
|
Pendeta melakukan pamujan |
Disitu prasastinya sudah dipindah
di museum, dan tinggallah relief gajah yang ujud gajahnya sudah tidak daat
dikenali karena kena semen. Ya, oleh entah siapa batu relief ini di berdirikan
dan di perkuat dengan semen. Disini katanya juga sudah begitu banyak berubah,
dengan dulu katanya ada diberi makam-makam-an, mungkin supaya lebih mistis, dan
sekarang jadi ada peneduhnya, dan beberapa batu untuk numbuk padi, juga didatangkan
batu seperti pagoda.
|
ukuran bata yang digunakan di situs Kayumwungan |
Di sisi utara (menurutku) terdapat susunan bata berbentuk
kotak, di sisi selatan tersingkap sedikit susunan yang kemungkinan dulu batas
situs. Susunan batu kotak tersebut menurut bayangan saya dulu disitu adalah
kolam yang digunakan untuk membersihkan diri ataupun sumber air. Karena situs
ini diatas bukit maka permasalahan utama adalah air, sehingga perlu penampungan
air. Seperti di candi boko dan makam ratu Malang. Sekali lagi itu analisis saya
lho. Oh ya, penduduk yang mendiami di dekat situs ini juga membuat sumur dekat
situs, banyak ketemu batu, yang kata mas Chandra adalah batu dasaran untuk
perkuatan situs pada jamannya. Bukan jamannow. Daan sumurnya juga belum keluar
air sudah 17 meter.
|
Ludivine mencoba pijatan spesial dari Guru |
|
pak bos kita |
Kami istirahat makan siang di
tempat itu, dengan menu nasi jagung, nasi biasa dan sayur mayur, peyek ikan
asin, juga makanan macam-macam lainnya. Disajikan dengan daun pisang dan nuansa
syahdu dibawah pohon raksasa beringin putih yang menaungi puncak bukit
tersebut.
|
atap baru tambahan biar syahdu |
|
emejing |
|
lokasi kekinian di temmpat ditemukan prasasti |
Gondosuli.
|
menghargai tradisi moyang |
Di situs ini, yang paling menarik
bagi saya adalah cerita alasan tulisan di prasasti hilang. Ternyata karena
kebaikan penduduk sekitar yang ingin membersihkan prasasti tersebut dan
ternyata membersihkannya terlalu keras sehiingga aksara di batu tersebut juga
ikut terkikis dan hilang.
|
gondosuli |
Dalam pikiran saya, Gondosuli
juga ada di ketinggian lereng lawu, nama tempat juga. Apakah tumbuhan Gondosuli
cenderung tumbuh baik di ketinggian? Belum terjawab, mungkin kalau dah ketemu
jawabannya saya tulis di blog ini juga.
|
nih prasasti yang hilang ingatan. |
Di sisi timurnya prasasti ada
kompleks reruntuhan. Tidak yakin apakah situs hindu meski ada Yoni, karena di
masa lalu Yoni lebih universal sebagai simbol kesuburan, juga begitu kuatnya
percampuran antara Hindu Budha, bisa jadi Budhis Siwa dan apapun itu. Singkatnya,
bisa jadi yang membangun adalah masyarakat dengan kepercayaan X tapi tahunya
cara bikin pamujan dengan cara Y. kurang lebih begitu yang saya tangkap.
Ada arca Nandi, arca perempuan
yang tinggal sedikit bagian, yoni terisi air di lubang di dalamnya juga banyak
relief yang menggambarkan kondisi sekitar lokasi candi berupa burung, dan
tanaman, lotus terbuka utuh, separo dan kuncup. Tentunya bermakna tertentu yang
saya juga belum tau.
Chakra.
Pikep menghantar kami sampai
masuk desa, dan berhenti sebelum jembatan kecil. Kami berjalan masuk ke arah
sawah, menelusuri pematang sawah dan naik bukit entah bukit yang mana karena
ternyata banyak bukit di daerah sini, begitu banyaknya dan hampir di setiap
puncak bukit ada situsnya meski hanya sedikit. Setelah menyebrang sawah, kami
masuk lorong kebon bambu sebentar dan naik bukit melewati kebon telo. Cepat saja
sampai puncak bukit dikelilingi bambu yang lebat, ternampaklah klimaks dari
perjalanan ini. Sebuah lingkaran dengan empat lubang berbentuk apik, dan nampak
bersih begitu megahnya terletak di tengah-tengah. Rasanya tak ingin usai
memandanginya, mengapresiasi keindahannya. Biarkanlah foto yang berbicara kali
ini.
|
membuat menganga.. |
Oh ya, di setiap situs kami
beristirahat dan mendengar penjelasan. Juga ada pendeta budhis yang turut serta
dan sembahyang di setiap situs. Membuat imajinasi ini liar membayangkan jaman
dulu tiap-tiap situs juga didatangi oleh masyarakat unutk melakukan pemujaan.
|
selfie dengan masterpiece |
Hari mulai redup. Kami turun, dan
disajikan oleh sang maha kuasa, siluet gunung dari pikep kami. Perjalanan kami
lanjutkan dengan kunjungan pada batuan candi yang sudah jadi dasaran rumah. Hari
sudah gelap pencahayaan kurang asik karena kurang bisa melihat detail dan sudah
lelah diguyur banyak hujan seharian. Kami menuju base camp di desa Candi Sari.
|
lorong bambu yang epic |
|
nembang |