Senin, 02 Maret 2015

Masyarakat Berdaya Untuk Berjalan Kaki

Malam tahun baru 2014 akhirnya pukul 01.15 bisa melewati Jalan Malioboro. Menuju malioboro diurungkan melalui jembatan Gondolayu karena antrean mobil masih pajang dari tugu hingga jembatan, pastinya tidak dari tugu namun itu antrean mobil yang ingin menuju malioboro. Sayang saat itu mobil tidak diperkenankan masuk ke ruas jalan Malioboro karena system buka-tutup jalan. Hanya sepeda motor yang dapat melewati jalan Malioboro.

Nuansa jalan itu lain, ketika yang melewati hanya para pesepeda motor dan pejalan kaki. Ramai namun lancar ketika semakin sedikit jenis alat transportasi yang diperbolehkan memasuki suatu kawasan.

Nuansa lain juga muncul ketika memasuki jalan Mataram. Terlihat banyak orang berjalan keluar dari jalan Malioboro, ada yang menuju mobilnya yang terparkir di ruas jalan itu, beberapa juga berjalan kaki akan pulang. Perjalananku hingga jalan Hayam Wuruk, terlihat masih banyak orang yang berjalan menuju rumahnya di sekitar kawasan Lempuyangan.

Hal ini mencengangkan saya, menunjukkan bahwa antusias masyarakat akan suatu event begitu besar dan untuk mencapai hal tersebut mereka rela berjalan kaki. Namun mengapa mereka rela berjalan kaki? Jawaban sepertinya lebih mengarah pada keadaan. Ketika mobil tidak bisa masuk Malioboro, mereka parker di jalan Mataram dan rela berjalan menuju Malioboro. Bagi yang asli Jogja dan tidak jauh mereka memilih jalan daripada ikut bermacet dengan kendaraan mereka.

Jalan Hayam wuruk ke malioboro memang tidak terlalu jauh, namun terasa jauh untuk ukuran jarak saat ini dengan kondisi mudahnya akses sepeda motor, hingga untuk ke warung dengan jarak kurang dari 200 meter saja menggunakan sepeda motor. Dan masyarakat berjalan kaki ke Malioboro, salut!

Untuk pengguna mobil, keadaan macet dan buka tutup jalan memaksa mereka berjalan kaki menuju malioboro. Ketika masyarakat terpojok pada aksesibilitas kendaraan pada akhirnya moda transportasi bawaan alam yang bergerak, kaki, sehingga mereka menjadi pejalan kaki.

Dari hal itu dapat dilihat bahwa sebenarnya masyarakat kita itu berdaya dan mampu untuk menempuh jarak dalam memenuhi kebutuhannya dengan berjalan kaki. Namun sepertinya pemikiran optimistis tersebut dikubur dalam-dalam oleh adanya iming-iming palsu kemudahan yang berupa moda transportasi pribadi.

Bila kita ibaratkan jalan malioboro ditutup untuk mobil, pasti dan harus masyyarakat tidak akan menggunakan mobil untuk ke malioboro, mereka akan menggunakan kendaraan lain. Dengan begitu ruas jalan malioboro akan lebih leluasa dan juga tidak merusak pondasi bangunan tua disekitar malioboro oleh tekanan berat kendaraan yang lewat.

Pertanyaannya, apakah kita berani menggaungkan bahwa kita berdaya dan mampu untuk berjalan kaki menggantikan transportasi pribadi yang begitu memikat?


4-Jan-2014

Balada Pohon

Sore itu, langit berwarna emas kemerahan, pertanda matahari akan segera menyinari bagian lan dari bumi. Terlihat siluet salahh satu gedung hotel menjulang tunggal diantara rumah-rumah dan sawah. Terlihat pula kendaraan mulai menyalakan lampu, dan melintas dengan santai di tengah temaram cahaya emas. Awan yang putih keabuan tak lagi memberikan bayangan di jalan lingkar itu. Pepohonan di tengahnya tak lagi meneduhi jalanan, tak lagi punya bayangan yang tercetak di keempat ruas lajur jalan.

Semakin rendah matahari semakiin terlihat siluet apik dari komposisi hotel, rumah, pepohonan yang berdret linear di pembatas tengah jalan. Pepohonan yang tumbuh dengan santainya menanti saatnya menghirup oksigen di malam hari. Tak dikira bahwa itu adalah senja terakhir dari salah satu pohon yang tertanam di pembatas tengah jalan.

Setelah malam datang, setelah jam sibuk berlalu sebuah mobil merapat ke pembatas tengah jalan dan berhenti dekat gap pembatas yang digunakan untuk mobil berputar di jalan lingkar itu. Enam orang turun dari mobil bak terbuka. Salah satu orang itu berjaket bahan jeans langsung menyalakan rokok. Dua orang menurunkan tali dan gergaji, dua orang yang lain menaruh segitiga berwarna merah di belakang dan depan mobil mereka . Seorang yang mengenakan sepatu warna putih kumal seperti tak pernah dicuci turun terakhir,  kemudian berjalan mendekat ke ujung pembatas dan berkata.

“Itu pohon yang menghalangi,” kataya dengan datar,
“pohon itu menghalangi rambu untuk berputar, sudah seharusnya pohon itu kita tebang!”
Ia menengok pada dua orang yang memeprsiapkan gergaji dan tali, member isyarat tanpa kata untuk segera menebang pohon itu.

Dua orang memanjat pohon untuk mengikatkan tali pada dahan-dahannya, seorang menariknya kebawah, seorang lagi memanjat untuk menggergaji.
Srook… Srookk… Srookk… !

Suara gergaji beradu dengan dahan basah bergetah.

Kata orang, pohon yang dilukai bergetah itu tanda pohon tersakiti. Setetes demi setetes getah itu membasahi aspal hitam di jalan itu, beberapa menetes di tangan penggergaji itu, sebagian lain terpercik ke baju dan kulit orang-orang yang dibawah melihat dahan itu jatuh.

Setengah jalan menggergaji dahan tali ditarik, dan “krakkkkk….!” Dahan itu jatuh…. Dengna gesit penggergaji itu menggergaji empat dahan besar di pohon itu dan tersisa batang utama yang menjulang. Tak luput dari mata gergajinya, digergaji pula batang utama itu sehingga meninggalkan batang setinggi satu setengah meter tanpa daun, tanpa dahan, tanpa ranting. Seperti manusia ditelanjangi tanpa baju.

“nah, begini baru papan rambu lalu lintas ini kelihatan,” kata seorang yang bersepatu putih, “banyak orang bisa tidak lihat kalau disini boleh berputar.”

Diangkut batang-batang pohon dan Diikatnya di bak mobil. Keenam orang itu naik dan mobil melaju. Meninggalkan jejak merah lampu belakang yang semakin jauh semakin mengecil dan menghilang di belokan jalur lingkar.

***
pagi muncul bersamaan dengan manusia beraktivitas, pepohonan merajut bayangannya seiring surya dengan malas muncul. tak ada yang merasa bahwa semalam ada pembantaian di lokasi itu. Manusia memacu kendaraannya melewati lokasi tanpa menghiraukan deret pepohonan yang telah hilang satu pohon. Tak ada perbedaan di hari itu dengan hari yang lain bagi manusia dengna kendaraannya.

Malam pun tiba, tak ada yang membedakan bagi para manusia yang lewat di jalan lingkar itu. Mereka melintas dengan satu maksud, cepat sampai tujuan masing-masing.

Malam semakin larut, gelap semakin pekat, lampu jalanan hanya beberapa yang menemani ruas jalan itu. Ketika manusia lelap tertidur untuk memulai ketergesaannya di kemudian hari, sebuah pohon mengangkat akarnya dan menggeliat bersuah payah menggerakkan akarnya untuk menuju ujung pembatas tempat kendaraan diperbolehkan berputar.

Pohon itu menatap pada pohon yang tinggal satu setengah meter tingginya, tanpa daun, tanpa batang, tanpa ranting dan berkata,

“ada apa gerangan sehingga manusia membenci mu, temanku?”
“Gwaahh….. “ pohon lain menggeliat menarik serajut akar dari tanah dan mendekat pada batang satu setengah meter dan berkata, “aku benci suara mereka menggergajimu.”
Aspal di jalan lingkar itu bergetar, dan selusin lebih pohon dengan akarnya tercabut dari tanah mengelilingi pohon telanjang yang tinggal satu meter itu.
“seharusnya ini tidak terjadi, dia  sudah hidup disini puluhan tahun”
“aku tidak terima, ada kaum kita yang di siksa secara kejam!”
“cih… manusia busuk, kami pohon tidak menggangu kehidupan kalian, mengapa kalian mengusik salah satu dari kami!”

Dengan bijak pohon pertama yang datang berkata,
“teman, baiklah kita cari tahu, mengapa ia disiksa sedemikian rupa.”
“ia tidak bersalah, ini hanyalah nafsu manusia yang keji memotong tubuh kaum kita untuk kepuasan!”
“ini tidak bisa ditoleransi, mereka hanya membuang potongan tubuh teman kita!”
“aku dengar salah satu dari pemotong itu berkata kalau ia menutupi tiang besi dengan plat bercat biru bergambar panah warna putih itu dengan dahan dan daunnya!”
“mari kita tanyai tiang besi itu untuk kejelasannya” kata pohon yang paling bijak.
“hey kau, mengapa kau disini? Sejak kapan kau disini” kata salah satu pohon.
Tiang besi berplat warna biru dengan panah warna putih diam saja. Tetap diam ditanyai oleh pohon. Ia diam dengan dinginnya, sedingin malam itu, yang membuat besi dan plat berwarna itu lebih dingin lagi.
“hei, kau tiang besi, apa gunanya kau disini!”
“Sejak kapan kau disini!” teriak pohon yang lain.
“siapa yang menyuruhmu disini!”

Tiang besi itu tetap diam, diam dalam pekatnya malam.

“ada yang tahu sejak kapan dia disini?” ujar pohon yang bijaksana memecakan suasana marah para pohon.
“Kita para pohon lebih lama berada disini, seperti kita tahu, kita telah puluhan tahun di sini, dan kita bisa hidup hingga puluhan tahun lagi!” ujar salah satu pohon “sedangakan tiang besi itu masih berkilap, birunya masih cerah, pasti tak tinggal disana lebih lama daripada kita, karena kita ditanam sejak kecil bertujuan untuk meneduhi jalanan ini, untuk membuat manusia nyaman melewati jalan ini”

“tiang besi itu hanya membuat teman kita mati sia-sia!”
“penggergaji itu piker teman kita menutupi tiang besi itu sehingga teman kita perlu disingkirkan padahal kita lebih dulu ada disini!”
“benar! Tiang besi itu hanya mengganggu ketentraman kaum pohon di jalan ini!” para pohon mengiyakan.
“untuk itu, kita balaskan siksaan teman kita supaya tidak ada lagi pohon yang tersiksa karena tiang besi itu! Kata pohon dengan marahnya “ dia pikir mudah mengembangkan dahan dan daun sehingga bisa memberikan kerindangan bagi jalan ini!”
“Hajar tiang itu!” seru para pohon
Sehingga di malam itu denyitan kayu beradu dengan besi bersuara mengerikan. hantaman dan cabikan yang dilayangkan kepada tiang besi itu  menghasilkan suara yang tidak dapat dideskripsikan, suara pilu amarah, dan derak kayu pohon setinggi lima belas meter menghajar tiang besi menghantam aspal mencabiknya dengan ranting-rantingnya. Amarah yang tidak sampai diungkapkan dengan kata-kata, amarah akan kesedihan kehilangan menghasilkan siksaan dan kengerian, ditengah dinginnya malam. Pekatnya gelap malam itu menambah gaung kengerian meneror setiap yang mendengarnya, akan kemarahan pepohonan terhadap temannya. Bagi pohon-pohon tidak ada yang bisa melupakan malam pembalasan itu.

--

Keesokan harinya manusia mulai beraktivitas, seiring pepohonan mulai memberikan bayangannya. Di ujung pembatas jalan tak lagi Nampak tiang besi dengna plat yang bercat biru dan arah panah berwarna putih menjulang, hanya tersisa bekas patahan bulat besi, pertanda pernah ada tiang besi berdiri disitu.

Pepohonan mulai jelas memberikan bayangannya, tak ada yang berbeda di hari itu dengan hari-hari sebelumnya selain di sisi utara jalan, di salah satu pohon tergantung seonggok besi, penuh goresan, dan tertekuk di berbagai tempat, tak ada sisi yang halus dari besi itu, tak terlihat lagi makna warna yang pernah mewarnai plat besi di onggokan besi itu. Besi itu bergoyang, ketika dahan tempat ia digantung terhembus angin. Satu hal yang membuat besi itu dikenali, adalah sedikit cat biru yang tersisa, bahwa besi itu dulu pernah terletak di ujung pembatas jalan, untuk memberi isyarat kendaraan boleh berputar.

Selain itu, derit besi mengadu dengan dahan kayu tak terdengar, bayangan pepohonan tak dihiraukan, terkalahkan oleh deruman kendaraan yang lewat. Hal ini tak berbeda dari hari-hari biasanya. Kendaraan terus lewat, terus menderu. Deruan kendaraan yang saling berburu untuk menjadi terdepan di jalan aspal lintasan jalur lingkar yang tak berujung.


17-01-2014