Sore itu, langit berwarna emas kemerahan, pertanda matahari
akan segera menyinari bagian lan dari bumi. Terlihat siluet salahh satu gedung
hotel menjulang tunggal diantara rumah-rumah dan sawah. Terlihat pula kendaraan
mulai menyalakan lampu, dan melintas dengan santai di tengah temaram cahaya
emas. Awan yang putih keabuan tak lagi memberikan bayangan di jalan lingkar
itu. Pepohonan di tengahnya tak lagi meneduhi jalanan, tak lagi punya bayangan
yang tercetak di keempat ruas lajur jalan.
Semakin rendah matahari semakiin terlihat siluet apik dari
komposisi hotel, rumah, pepohonan yang berdret linear di pembatas tengah jalan.
Pepohonan yang tumbuh dengan santainya menanti saatnya menghirup oksigen di
malam hari. Tak dikira bahwa itu adalah senja terakhir dari salah satu pohon
yang tertanam di pembatas tengah jalan.
Setelah malam datang, setelah jam sibuk berlalu sebuah mobil
merapat ke pembatas tengah jalan dan berhenti dekat gap pembatas yang digunakan
untuk mobil berputar di jalan lingkar itu. Enam orang turun dari mobil bak
terbuka. Salah satu orang itu berjaket bahan jeans langsung menyalakan rokok.
Dua orang menurunkan tali dan gergaji, dua orang yang lain menaruh segitiga
berwarna merah di belakang dan depan mobil mereka . Seorang yang mengenakan
sepatu warna putih kumal seperti tak pernah dicuci turun terakhir, kemudian berjalan mendekat ke ujung pembatas
dan berkata.
“Itu pohon yang menghalangi,” kataya dengan datar,
“pohon itu menghalangi rambu untuk berputar, sudah
seharusnya pohon itu kita tebang!”
Ia menengok pada dua orang yang memeprsiapkan gergaji dan
tali, member isyarat tanpa kata untuk segera menebang pohon itu.
Dua orang memanjat pohon untuk mengikatkan tali pada
dahan-dahannya, seorang menariknya kebawah, seorang lagi memanjat untuk
menggergaji.
Srook… Srookk… Srookk… !
Suara gergaji beradu dengan dahan basah bergetah.
Kata orang, pohon yang dilukai bergetah itu tanda pohon
tersakiti. Setetes demi setetes getah itu membasahi aspal hitam di jalan itu,
beberapa menetes di tangan penggergaji itu, sebagian lain terpercik ke baju dan
kulit orang-orang yang dibawah melihat dahan itu jatuh.
Setengah jalan menggergaji dahan tali ditarik, dan
“krakkkkk….!” Dahan itu jatuh…. Dengna gesit penggergaji itu menggergaji empat
dahan besar di pohon itu dan tersisa batang utama yang menjulang. Tak luput
dari mata gergajinya, digergaji pula batang utama itu sehingga meninggalkan
batang setinggi satu setengah meter tanpa daun, tanpa dahan, tanpa ranting.
Seperti manusia ditelanjangi tanpa baju.
“nah, begini baru papan rambu lalu lintas ini kelihatan,”
kata seorang yang bersepatu putih, “banyak orang bisa tidak lihat kalau disini
boleh berputar.”
Diangkut batang-batang pohon dan Diikatnya di bak mobil.
Keenam orang itu naik dan mobil melaju. Meninggalkan jejak merah lampu belakang
yang semakin jauh semakin mengecil dan menghilang di belokan jalur lingkar.
***
pagi muncul bersamaan dengan manusia beraktivitas, pepohonan
merajut bayangannya seiring surya dengan malas muncul. tak ada yang merasa
bahwa semalam ada pembantaian di lokasi itu. Manusia memacu kendaraannya
melewati lokasi tanpa menghiraukan deret pepohonan yang telah hilang satu
pohon. Tak ada perbedaan di hari itu dengan hari yang lain bagi manusia dengna
kendaraannya.
Malam pun tiba, tak ada yang membedakan bagi para manusia
yang lewat di jalan lingkar itu. Mereka melintas dengan satu maksud, cepat
sampai tujuan masing-masing.
Malam semakin larut, gelap semakin pekat, lampu jalanan
hanya beberapa yang menemani ruas jalan itu. Ketika manusia lelap tertidur
untuk memulai ketergesaannya di kemudian hari, sebuah pohon mengangkat akarnya
dan menggeliat bersuah payah menggerakkan akarnya untuk menuju ujung pembatas
tempat kendaraan diperbolehkan berputar.
Pohon itu menatap pada pohon yang tinggal satu setengah
meter tingginya, tanpa daun, tanpa batang, tanpa ranting dan berkata,
“ada apa gerangan sehingga manusia membenci mu, temanku?”
“Gwaahh….. “ pohon lain menggeliat menarik serajut akar dari
tanah dan mendekat pada batang satu setengah meter dan berkata, “aku benci
suara mereka menggergajimu.”
Aspal di jalan lingkar itu bergetar, dan selusin lebih pohon
dengan akarnya tercabut dari tanah mengelilingi pohon telanjang yang tinggal
satu meter itu.
“seharusnya ini tidak terjadi, dia sudah hidup disini puluhan tahun”
“aku tidak terima, ada kaum kita yang di siksa secara
kejam!”
“cih… manusia busuk, kami pohon tidak menggangu kehidupan
kalian, mengapa kalian mengusik salah satu dari kami!”
Dengan bijak pohon pertama yang datang berkata,
“teman, baiklah kita cari tahu, mengapa ia disiksa
sedemikian rupa.”
“ia tidak bersalah, ini hanyalah nafsu manusia yang keji
memotong tubuh kaum kita untuk kepuasan!”
“ini tidak bisa ditoleransi, mereka hanya membuang potongan
tubuh teman kita!”
“aku dengar salah satu dari pemotong itu berkata kalau ia
menutupi tiang besi dengan plat bercat biru bergambar panah warna putih itu
dengan dahan dan daunnya!”
“mari kita tanyai tiang besi itu untuk kejelasannya” kata
pohon yang paling bijak.
“hey kau, mengapa kau disini? Sejak kapan kau disini” kata
salah satu pohon.
Tiang besi berplat warna biru dengan panah warna putih diam
saja. Tetap diam ditanyai oleh pohon. Ia diam dengan dinginnya, sedingin malam
itu, yang membuat besi dan plat berwarna itu lebih dingin lagi.
“hei, kau tiang besi, apa gunanya kau disini!”
“Sejak kapan kau disini!” teriak pohon yang lain.
“siapa yang menyuruhmu disini!”
Tiang besi itu tetap diam, diam dalam pekatnya malam.
“ada yang tahu sejak kapan dia disini?” ujar pohon yang
bijaksana memecakan suasana marah para pohon.
“Kita para pohon lebih lama berada disini, seperti kita
tahu, kita telah puluhan tahun di sini, dan kita bisa hidup hingga puluhan
tahun lagi!” ujar salah satu pohon “sedangakan tiang besi itu masih berkilap,
birunya masih cerah, pasti tak tinggal disana lebih lama daripada kita, karena
kita ditanam sejak kecil bertujuan untuk meneduhi jalanan ini, untuk membuat
manusia nyaman melewati jalan ini”
“tiang besi itu hanya membuat teman kita mati sia-sia!”
“penggergaji itu piker teman kita menutupi tiang besi itu
sehingga teman kita perlu disingkirkan padahal kita lebih dulu ada disini!”
“benar! Tiang besi itu hanya mengganggu ketentraman kaum
pohon di jalan ini!” para pohon mengiyakan.
“untuk itu, kita balaskan siksaan teman kita supaya tidak ada
lagi pohon yang tersiksa karena tiang besi itu! Kata pohon dengan marahnya “
dia pikir mudah mengembangkan dahan dan daun sehingga bisa memberikan
kerindangan bagi jalan ini!”
“Hajar tiang itu!” seru para pohon
Sehingga di malam itu denyitan kayu beradu dengan besi
bersuara mengerikan. hantaman dan cabikan yang dilayangkan kepada tiang besi
itu menghasilkan suara yang tidak dapat
dideskripsikan, suara pilu amarah, dan derak kayu pohon setinggi lima belas
meter menghajar tiang besi menghantam aspal mencabiknya dengan
ranting-rantingnya. Amarah yang tidak sampai diungkapkan dengan kata-kata,
amarah akan kesedihan kehilangan menghasilkan siksaan dan kengerian, ditengah
dinginnya malam. Pekatnya gelap malam itu menambah gaung kengerian meneror
setiap yang mendengarnya, akan kemarahan pepohonan terhadap temannya. Bagi
pohon-pohon tidak ada yang bisa melupakan malam pembalasan itu.
--
Keesokan harinya manusia mulai beraktivitas, seiring
pepohonan mulai memberikan bayangannya. Di ujung pembatas jalan tak lagi Nampak
tiang besi dengna plat yang bercat biru dan arah panah berwarna putih
menjulang, hanya tersisa bekas patahan bulat besi, pertanda pernah ada tiang
besi berdiri disitu.
Pepohonan mulai jelas memberikan bayangannya, tak ada yang
berbeda di hari itu dengan hari-hari sebelumnya selain di sisi utara jalan, di
salah satu pohon tergantung seonggok besi, penuh goresan, dan tertekuk di
berbagai tempat, tak ada sisi yang halus dari besi itu, tak terlihat lagi makna
warna yang pernah mewarnai plat besi di onggokan besi itu. Besi itu bergoyang,
ketika dahan tempat ia digantung terhembus angin. Satu hal yang membuat besi
itu dikenali, adalah sedikit cat biru yang tersisa, bahwa besi itu dulu pernah
terletak di ujung pembatas jalan, untuk memberi isyarat kendaraan boleh
berputar.
Selain itu, derit besi mengadu dengan dahan kayu tak
terdengar, bayangan pepohonan tak dihiraukan, terkalahkan oleh deruman
kendaraan yang lewat. Hal ini tak berbeda dari hari-hari biasanya. Kendaraan
terus lewat, terus menderu. Deruan kendaraan yang saling berburu untuk menjadi terdepan
di jalan aspal lintasan jalur lingkar yang tak berujung.
17-01-2014