Senin, 17 Februari 2020

Renovasi Gereja (?)


Beberapa tempat sedang merenovasi bangunan gerejanya, beberapa tempat bahkan ada yang sedang kesulitan mengurus pembangunannya. Seberapa penting kah pembangunan gedung gereja?



Selama ini kita mempunyai pola pikir bahwa suatu kegiatan/aktivitas harus diwadahi, hal ini berdampak pada kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang memakan luasan lahan, sehingga akan menjadi suatu permasalahan di tempat yang mempunyai lahan terbatas. Pada perkembangan bangunan gereja, biasanya kemudian gereja membeli lahan di sebelahnya, atau di dekatnya, untuk perluasan.



Stop.



Sampai kapan?



Gereja memang dipandang perlu untuk terus berkembang, menambah fasilitas, dan luasan bangunan, untuk dapat menampung jemaat yang semakin banyak sehingga bisa beribadah dengan nyaman, selain menambah ruang untuk aktivitas yang telah dilist sebelumnya.



Fakta, tiap tahun pasti jemaat semakin bertambah, karena manusia juga berkembang biak. Maka perluasan, renovasi, redesain gereja adalah salah satu solusinya. Namun dampak dari salah satu solusi itu terlalu banyak menyerap dana untuk pembangunan gedung. Bukan pada aset gereja sesungguhnya, Manusia. Bodonnya, berapa banyak gereja bisa menyekolahkan jemaatnya hingga S1 dengan dana pembangunan tersebut? Gereja menurut saya, aset terbesarnya adalah manusianya, sumber daya manusia, itu yang perlu terus dibangun dikembangkan. Saya tidak tahu apakah di gereja terdapat database jemaat, mungkin dengan pendidikan terakhirnya, dan apakah gereja sudah turut andil dalam mengembangkan jemaatnya dalam hal ini?



Selain itu, penambahan jumlah manusia adalah hal pasti. Menurut saya renovasi, ataupun redesain bangunan gereja yang baik adalah dengan mengakomodasi penambahan jumlah manusia yang akan terus bertambah. Tidak sekadar, renovasi dari kapasitas sekian jemaat menjadi sekian jemaat. Tapi gereja menghadirkan bangunan ibadah yang mempunyai kemampuan menampung jemaat yang mengembang dan menyusut tanpa harus tiap kali merenovasi.



Bisa kita ambil contoh, bangunan pendhapa, dengan tidak adanya elemen dinding pada pendhapa, memungkinkan peluasan area ibadah diluar pendhapa. Menurut saya begitu solusi desain gereja yang baik dan tidak secara berkala melakukan renovasi penambahan luasan gedung gereja.



Namun akan kemudian muncul banyak pertanyaan, bagaimana keamanannya? Bagaimana bila hujan? Bagaimana.... bila? Aduh,



1.       Kita berada di negara tropis, musim dingin/hujan kita tidak mati ibadah di dalam bangunan tanpa dinding, beda dengan di negara 4 musim. Tentunya mengurangi pengeluaran gereja dalam penggunaan AC / listrik pendingin ruangan/ kipas.

2.       Banyak masjid yang menerapkan tipikal bangunan seperti ini, dan tetap aman. Nah pertanyaannya, aman seperti apa untuk gereja? Soundnya hilang? Mimbarnya hilang? Mic-nya hilang? Jangan gitu amat lah. Dengan gereja terbuka seperti ini dapat menarik jemaat untuk beribadah/ziarah dengan waktu yang lebih leluasa. Jam 10 malam mau ujian nasional, galau, pengen berdoa, apa hanya bisa ke ganjuran?


3.       Di negara 2 musim, hujan adalah teman. Kalau ga panas ya hujan. Maka kita punya sistem yang dibuat nenekmoyang, namanya teras. Teras yang diperpanjang cukup untuk menampung sekian banyak jemaat. Bilamana cerah juga bagus dengan kursi secukupnya di letakkan di luar teras tersebut. Contoh bangunan; pagelaran kraton, dan beberapa pendhapa di dalam kraton yang mempunyai dimensi cukup lebar. Atau bisa mengadopsi sistem serambi pada masjid, tak ada salahnya. Dan bangunan gereja juga tak harus melulu ng-eropah.


Dengan begitu, menurut saya, desain bangunan gereja yang baik, adalah desain yang tidak kaku, tidak lagi membicarakan kapasitas jemaat, tapi cukup untuk memayungi jemaat bila beribadah, sedikit maupun banyak. Dan bila mbludag, kita bisa minta tolong pada pawang hujan dong, masa Yesus menghardik angin ribut kita percaya, tapi kalau gereja mau hajatan besar takut hujan tidak percaya pawang hujan.



Lho, Yesus kok klenik?



18 Februari 2020

Jumat, 17 Januari 2020

Jakarta



Salah satu kota yang saya paling emoh datangi adalah Jakarta. Sebisa mungkin saya enggak kesana, atau kerja disana. Kota yang saya anggap embuh itu malah kini ku datangi.

17 Januari 2020

menjelang weekend aku izin kepada atasan untuk tidak tidur di mess, tapi tidur di kos temen di daerah Kembangan.
"yang penting senin udah disini lagi"
"siap pak?"

Kamis 9 Januari, malam menuju 1000 harinya simbah saya, saya dipanggil atasan. Ternyata oh Ternyata, saya disuruh ke Jakarta. Yasudah memang minggu lalu saya sudah menolak, tapi dipanggil lagi, yasudah lah.

"besok Senin berangkat"

Oke.

Malam Jumat Legi itu saya ke tempat simbah saya, ikut ritual malam 1000 hari, sembahyang diiringi gamelan dan aroma dupa. Jumatnya ngijing simbah, dan malamnya bidston 1000 hari simbah yang saya datang ketika sudah saatnya makan :D

Sabtu malam, hari keberangkatan semakin dekat, seteresss semakin meningkat, Saya K.O stres pusing, mumet... Semua persiapan saya limpahkan kepada istri saya, dan meski tidak tenang karena tidak mempersiapkan sendiri, kelak aku berterimakasih karena yang menyiapkan adalah istriku tercinta :*


Kereta jam 10.20 dari Wates.



persiapan dari pagi hari, berangkat jam 8 sampai kulon progo ke kantor di Temon dulu, dan akhirnya masih ada waktu 40 menit sebelum kereta berangkat. Elora menggemaskan sekali mrobos di celah pagar penunggu kedatangan kereta dan emoh dadah.

kereta datang, dadah..

jalan kaki ke ujung kereta di ujung barat, sampai habis peronnya. ditemani pak Dodi senior saya.
masuk gerbong, duduk di tempat duduk yang sesuai.

begitulah perjalanan menuju Jakarta yang tak terduga.

ok, mengisahkan awal perjalanan ini, ingin ku berkata Jancukkk... XD