Senin, 23 Februari 2015

Teluk Kao, Kau dan Aku

Tiba-tiba terasa getaran keras, diikuti suara dsingan angin. Ku tengok kejendela terlihat aspal dengan garis putih putus-putus. Bangunan kecil di salah satu sudut tanah ini, pertanda sudah mendarat di bandara Kao. Inilah Bandara Kao, di Halmahera Utara, bandara kecil yang tidak setiap hari menerima penerbangan.
 Aku dan teman-teman turun dan menyisihkan beberapa saat waktu kami untuk ber-selfie­ dengan latar belakang pesawat berbaling-baling. Setelah itu kami berdesakan mengambil bagasi kami, maklum bandara ini bukan seperti bandara besar dan terkenal. Walau bandara ini hanya melayani penerbangan lokal, aku pikir ini akan menjadi pengalaman yang mengasikan, pengalaman menjelajah salah satu sudut Nusantara.

Sebenarnya aku pun tak tahu tiba-tiba aku berada disini. Tiket pergi-pulang kuhabiskan sekitar enam juta rupiah ditambah anggaran untuk liburan ini sama dengan uang hasil tabunganku semasa kuliah dan satu tahun gajiku. Namun sempat ku pikir konyol juga uang sebanyak itu tiba-tiba habis dalam satu minggu kedepan.

Tujuan utama kami berlibur adalah menyelam di Tanjung Kakara, sebuah pulau di Teluk Kao, seberang kota Tobelo, Halmahera Utara. Kata teman sih pantai di situ bagus dan lokasi Tanjung Kakara gak kalah bagus dibandingkan lokasi menyelam yang lain. Walaupun ku pikir semua pantai di Indonesia timur memang bagus-bagus.

Lima orang temanku Utami, Anggun, Desita, Jati, Delon dan aku; Karang Nagari memulai petualangan kami di bumi Halmahera. Mereka adalah temanku semasa kuliah yang hingga kini masih tetap keep in touch. Seperti reuni saja.

“Eh, tidak ada bus ke kota kah?” kata Utami.
“Tidak tahu, sepertinya hanya travel” jawab Jati.

Memang tak ada plat nomor kuning disini, yang ada macam mobil keluarga yang sopirnya terus presuasif mengajak kami menumpang mobilnya dengan bahasa yang kurang aku mengerti.
“Nggun, tasmu terbuka,” kataku sembari berjalan.
“Oh iya, bisa minta tolong tutupkan?” sahut Anggun dan ku tutup tasnya tanpa kata, dia menoleh dan berkata “dah yuk, ikut salah satu mobil aja, tanya berapa tarifnya ke kota.”
Ya, Anggun, ketika menoleh dan berkata-kata pun anggun, serasi dengan namanya, dialah salah satu gebetan aku sejak kuliah.
Kejadian selanjutnya berupa tawar menawar antara Jati dengan salah satu sopir mobil, dan akhirnya dikenai biaya dua ratus ribu rupiah untuk berenam dalam satu mobil. Perjalanan itu cukup lelah namun menyenangkan pikirku, setelah semalam transit diberbagai tempat, pagi ini akhirnya sampai. Selama perjalanan ke kota, kulihat pohon kelapa luar biasa banyaknya, tak heran bila memang ada senandung rayuan pohon kelapa.
Perjalanan itu singkat namun kami nikmati, terkadang terlihat pantai dengan pasir hitam dan bayak pohon kelapa. Sesekali menyembul rumah yang  terletak jarang-jarang, tidak pedesaan di Jawa. Sesekali terlihat sampan, perahu diparkir di pasir pantai dari jendela mobil ini. Canda tawa dan obrolan menyenangkan menemani perjalanan ini.
Tak tahu arah, kami memutuskan tingal semalam di hotel dekat pelabuhan Tobelo. Hotel dengan fasilitas seadanya dan cukup murah bagi kami. Hari itu kami beristirahat sampai siang dan sore hari Utami mengajak untuk berkeliing kota.
“hey, ayo bangun, udah siang nih, yuk main keliling kota sebelum besok pagi kita ke pulau” ajak Utami tiba-tiba muncul di kamar cowok dengan bersemangat,
Kami dengan sedikit malas-malasan kemudian mempersiapkan diri. 14.00 kami keluar hotel. Matahari cukup terik dikala bulan pertengahan tahun ini. Kulihat di ponselku 34o C di kota Tobelo dan real feel-nya 39o C.
“Wah, pantas panas sekali! Lihat ni di aplikasi ponselku” ku berseru sambil menunjukan temperatur kota ini.
“Ya ampun, ga nyangka sepanas ini ya..” kata Jati.
“Kan disini lebih deket ke kathulistiwa daripada di Jawa” sahut Delon.
Karena masih terang, kami memutuskan untuk berkeliling, dan kami memutuskan untuk menggunakan bentor kendaraan becak bermotor, kami sewa dua bentor dan berkeliling Kota Tobelo yang kecil. Pengemudi bentor menjadi guide kami, dia membawa kami melewati gedung kantor bupati Halmahera Utara yang berbentuk segi delapan.
“Lihat itu, keren ya gedung pemerintahannya” seruku, “di jawa kliatannya gak ada yg bangunannya se ‘wah’ itu”
“Iya tuh, cocok, megah sebagai gedung pemerintahan” jawab Jati.
Perjalanan kami diteruskan melewati Hibualamo, seperti pendapa namun bersegi delapan rumah khas Tobelo. Kami juga dilewatkan universitas di Tobelo. Kemudian aku usul untuk ke kantorpos daerah itu sebelum tutup. Aku berencana mengabari orangtuaku dan kakakku kalau aku sudah sampai di Tobelo.
“Aku mampir kantorpos dulu ya, bentar, mau beli kartupos” kataku sambil melangkah turun dari bentor.
“Eh, aku ikut, aku juga mau kirim kartupos” kata Anggun juga ikut turun bentor.
Kami berdua masuk kantorpos dan membeli kartu pos dan perangko. Sampai ke Jawa prangko hanya butuh tiga ribu rupiah ternyata.
“kau tulis surat pada siapa Nggun?” tanyaku.
“Ke tanteku, kan aku tinggal sama tanteku” jawab Anggun.
“Oh, kirain buat cowokmu.”
“Eh, ngawur, belum punya ya..”
“Ah, masa sih, sejak lulus kuliah masa belum dapet juga”
“Beneran, suwer, ngejek kamu ah..!”
“kalau gitu ndaftar jadi calon boleh?” kataku sambil sedikit berlari menyerahkan kartuposku untuk di cap pada petugas.
“Gakkkk!” jawabnya spontan, “Heh, tunggu!”
Kami berdua lalu keluar kantorpos dan perjalanan terakhir kami dengan bentor di sekitaran pelabuhan. Di dekat pelabuhan ternyata ada pasar tradisional, tak jauh dari pasar ada juga supermarket, sepertinya satu-satunya di Tobelo. Setelah itu kami kembali ke hotel.
***
Petang hari, 18.30 masih serasa pukul 17.00 sore di Jawa. Kami bersama-sama keluar berjalan ke arah swalayan untuk membeli bekal ke pulau untuk tiga hari disana. Berjalan melewati pasar, seperti trotoar di Indonesia yang lain, sebagian digunakan untuk berjualan juga. Melewati pasar, ada hal unik, seperti gula aren yang bulat dibungkus daun kering, sepertinya daun palem. Tentunya itu hal yang khas dari daerah sini dan kupikir aku harus membelinya untuk oleh-oleh. Para penjual menampilkan dagangannya dengan unik, diletakkan dalam piring-piring, begitulah etalase dagangan mereka.
Sesampainya di swalayan itu, kami berbelanja.
“kamu Cuma beli itu Ri?” tanya Anggun.
“Iya, ngapain  beli banyak-banyak, berat ah” jawabku.
“tapikan disana di pulau, ntar ga ada yang jual pas kamu butuh kapok kamu”
“biarlah, ntar pasti juga ada diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa”
“Ah, Ngaco kamu mah!”
Sisa malam itu kami habiskan di hotel. Kami ngobrol ramai hingga mengantuk dan packing untuk esok hari, mempersiapkan untuk tinggal tiga hari di pulau yang kami belum pernah datangi.
***
Pagi itu pukul 7.30 kami sudah on the way ke pelabuhan. Pelabuhan ke Kakara arahnya belok kiri sebelum gapura masuk pelabuhan utama, dan dari situ belok kanan dan tak jauh dari situ sudah dapat ditemui dermaga. Dua kapal bercadik siaga disitu dan kami akhirnya menumpang kapal yang berwarna hijau. Kapal ini beratap sehingga ketika masuk kami perlu sedikit membungkuk. Kapal kecil ini sudah memakai mesin di yang berada di bagian tengah sedikit kebelakang, diatasnya kemudi kapal. Mesin itu dihubungkan dengan besi yang memutar baling-baling di belakang kapal. Orang sini menyebutnya katinting.
Mungkin perjalanan 10-20 menit saja, tak kulihat jam tanganku karena asik ku lihat laut yang begitu jernih dan berganti-ganti warna dari hijau muda yang menandakan dangkal, kadang warna putih terpantul dari karang-karangnya, dan bila hijau-biru gelap berarti pertanda perairan dalam. Ditengah perjalanan sebuah kapal tangker terlihat berjalan pelan meniti laut dalam menuju ke pelabuhan Tobelo.
Saat itu sedang surut, kami tiba di Tanjung Kakara dan sedikit kesulitan karena adanya gap antara katinting dengan dermaga. Dermaga yang terbuat dari kayu itu menyambut kami menghantarkan ke pasir putih Kakara. Sedikit masuk dari pantai terdapat bangunan yang merupakan rumah kami untuk tiga hari kedepan.
“yuk buruan ke guest house, lalu kita nikmati pantai ini” kata Utami.
Dia bergegas ke guest house itu dan menanyakan mengenai reservasi kami. Setelah kami bongkar muat barang di kamar, kami langsung menuju pantai dengan celana pendek dan membawa kacamata renang.
“Amboi… indahnya… dari Tobelo tadi sampai sini tak ada ombak sama sekali, beda dengan pantai laut selatan Jawa!” kata Anggun dan kami semua mengiyakannya.
“Ayuk Nggun, renang” kataku sesudahnya.
Aku, Anggun, Jati dan Delon langsung masuk ke air, sedangkan Utami hanya bermain air dipinggir dan Desita menikmati pasir pantai. Indahnya pantai ini, tidak dalam, karangnya menggiurkan untuk dilihat hanya saja nafas memaksa untuk segera keluar dari air untuk menarik oksigen yang dihasilkan pulau yang penuh dengan pohon kelapa ini.
“Keren banget ya disini!” kata Jati, “biasanya lihat kaya ginian cuma di google atau TV sekarang bisa ngalamin beneran!”
“Iya, bener banget kamu Jat!” kataku.
Sambil menyelam minum air, sambil menyelam ku mengamati gerakan Anggun berenang, sekali lagi, benar-benar Anggun. Rambutnya yang lurus menggelombang terkena air ketika berenang. Wajahnya menjadi lebih manis dengan latar belakang pemandangan dalam air. Andai dengan liburan ini aku bisa dipersatukan dengan dia.
Tak takut gosong kami berenang hingga menjelang tengah hari, dan siang hari kami makan makanan khas daerah situ, Ikan bakar dengan ketela goreng bersama sambal, kata orang guest house ni sambal namanya dabu-dabu. Lezat juga walau menurut kami ‘hanya’ ketela namun ternyata ini menjadi makanan utama disini.
Siang sampai sore kami habiskan untuk bermalas-malasan di pasir dibawah pohon di pantai ini. Menjelang tenggelamnya sang surya, kami segera berbilas dan menuju dermaga di tanjung ini untuk menikmati matahari tenggelam. Gunung Mamuya di daratan Halmahera dengan langit keemasan menjadi latar belakang tenggelamnya matahari. Air laut menjadi keemasan juga. Semakin gelap langit semakin terlihat kelip-kelip di air.
“Eh teman-teman lihat, tu ada kelip-kelip di air apaan ya?” kataku.
Bagaikan kunang-kunang air, kelap kelip.
“Mungkin ikan bercahaya?” jawab Jati.
“Atau makhluk gaib Ri?” kata Anggun.
“Ah, ngaco kamu Nggun” kataku.
 Awalnya kupikir itu pantulan cahaya, namun entahlah mungkin benar itu sejenis sepesies kunang-kunang dalam air. Pastinya suasana itu suasana paling romantis yang ada, seharusnya. Karena itu aku coba ajak ngobrol Anggun sebisaku, walau kami berenam teman dekat tapi kikuk juga bila ada maksud ‘tertentu’ ketika ngobrol. Di sisi lain, Desita menikmati petang itu dengan caranya sendiri, diam. Dia memang terkenal pendiam namun bila kami ajak untuk main pasti langsung ikut, seperti liburan kali ini.
***
“Aduh, sakit” tiba-tiba Anggun berteriak. Dia terjatuh sepertinya tersandung akar pohon, dan perlengkapan menyelamnya jatuh semua. Pasir menempel di tubuhnya yang masih basah.
“kenapa Nggun?” kataku sambil mendatanginya, “gak apa-apa kan?”
“gak apa-apa kok, Cuma tersandung aja” jawabnya sambil mengambil barang-barangnya yang terjatuh.
Setelah mengembalikan peralatan menyelam kami bersantai di pinggir pantai lagi.
“Nggun, itu kaki mu agak bengkak?” kataku tiba-tiba padanya.
“Iya masih sakit nih, mungkin terkilir juga” jawab Anggun.
“Aku ambilin salep ya, liburan belum ada setengah, ntar malah tambah buruk” kataku sambil beranjak ke guest house dan mengambil salep untuk kesleo.
“Ni salepnya, aku olesin ya” tidak tau mengapa tiba-tiba kata-kata itu muncul dan kulakukan. Ku olesi salep pada kakinya yang sedikit bengkak.
“Makasih ya Ri” katanya setelah ku oleskan salepnya.
Sisa hari itu kuhabiskan lebih khusus berada dekat Anggun. Juga pada api unggun kecil-kecilan di pinggir pantai yang kami lakukan di malam terakhir di pulau.
“Eh, tidur di luar aja yuk malam ini? Kita nikmati malam ini tidur di pantai.” Kata Jati, dan semuanya setuju.
Malam itu satu persatu tertidur, tersisa aku dan Anggun masih terjaga berbagi certia masa lalu dan masa kecil. Akhirnya dia pamit untuk meringkuk di tikarnya berselimutkan kain. Nyala api unggun kecil dan ku menyusul tidur meringkuk dengan jaket dan sarungku.
Sekitar pukul 3.00 pagi aku terbangun, api unggun tinggal bara, dan Anggun terlihat kedinginan dibalik selimutnya yang tipis. Terlihat tidurnya tidak tenang karena kedinginan walau dia tidak terbangun. Memang itu bukan selimut namun kain pantai. Lalu kulepas sarungku dan ku selimutkan padanya, dan kulanjut tidur malam itu.
“Makasih ya semalem.” Kata Anggun di pagi hari sebelum kami mandi pagi di pantai.
“makasih apa Nggun?” jawabku.
“makasih udah kamu pinjemin sarungmu semalem, itu kan sarungmu tiba-tiba terselimutkan ke aku. Siapa lagi yang punya sarung kotak-kotak biru disini selain kamu”
“Oh, iya, sama-sama. Soalnya aku kebangun liat kamu kliatannya kedinginan gitu, maka aku selimutin.”
“Ok, makasih ya,” katanya sekali lagi sambil berlari masuk ke air.
***
Kami berkemas, siang itu dan tiba-tiba penjaga guest house itu nimbrung.
“Barangkali tinggal semalam lagi? Belum berwisata ke desa kan?” kata penjaganya dengan dialek lokal.
“Eh, memang ada desa disini Pak?” kataku.
“Ada, desa Kakara namanya, seperti nama pulau” kata pak Kristo penjaga guest house, “ kalau mau bisa jalan, paling 10 menit atau naik katinting langsung ke dermaga desa”
“Mungkin siang ini sampai sore kita bisa disana, lalu petang kita baru balik kota bagaimana?” kata Jati menjawab dan menawarkan ide pada ku dan teman yang lain.
Akhirnya kami setuju untuk berjalan ke desa dengan pemandu Pak Kristo, dan baru petang hari kami tolak ke kota via pelabuhan desa Kakara. Siang itu dengan tas penuh, kami berjalan menyusuri bakau dan kebun kelapa. Sesekali dan semakin sering menemui manusia berarti rumah penduduk sudah dekat. Memang benar, setelah melwati kuburan kecil, rumah penduduk terlihat. Beratap seng dengan dinding papan kayu atau batako, satu dua rumah masih menggunakan atap daun.
Desa Kakara ini hanya mempunyai satu jalan dengan ujuung dermaga dan sekolahan di sisi dalam pulau. Di tengah desa kami diajak Pak Penjaga untuk mampir ke rumah seorang perajin, disitu kami diperlihatkan pembuatan Salawaku, perisai khas Tobelo dan pernak pernik terbuat dari kerang kecil, disini mereka menyebutnya bia.
“Mari kebelakang, torang minum kelapa muda, bahasa Tobelonya O giyau kelapa muda. Saya punya beberapa pohon” kata pak Jesen sang pengrajin.
“Boleh pak?” kataku.
“Mari-mari, ikut saya kebelakang”
Dengan cekatan dipetikkan beberapa kelapa muda dan dengan parang yang tajam Pak Jesen membukanya. Segarnya bukan main! Apalagi ditengah terik panasnya pulau ini.
Setelah minum kelapa muda, kami diberikan kenang-kenangan berupa gelang dari kerang. Secara pribadi aku meminta sebuah untaian kerang yang sedikit panjang, berupa kalung untuk aku. Bapak pengrajin yang baik hati itu memberikannya juga padaku.
Menjelang petang, kami ke dermaga, di dekat dermaga ada rumah adat Hibualamo. Bersegi delapan dan terbuka. Kami menghabiskan petang itu di dermaga untuk melihat matahari tenggelam lagi sebelum kami bertolak ke kota Tobelo. Anak-anak desa Kakara terlihat asik bermain di dermaga, berrenang ada yang memancing juga. Beberapa katinting terlihat datang untuk pulang.
Petang menjelang, matahari sudah menyentuh garis cakrawala. 18.40. cahaya keemasan membuat langit dan laut berwarna sama. Di petang yang romantis itu kuberanikan diriku untuk berucap, “Nggun?”
“Ya?” jawabnya.
“Ehm… mau gak kamu jadi pacar aku?” kataku lemah sedikit terbata-bata.
Dia tersenyum dan kembali menghadap cahaya keemasan matahari. Hal itu membuatku acakadut. Perasaan ini jadi tidak enak. Beberapa menit kami dalam keheningan.
“Oke” jawab Anggun tiba-tiba sembari tersenyum.
“Eh, anu… beneran?” kataku canggung.
“Beneran, kamu juga beneran kan nembak aku?” balasnya.
“Eh, iya… em… kalau gitu ini buat kamu…” kataku sambil menyerahkan kalung dari kerang yang kuminta dari pak pengrajin di desa itu.
“Ah, kamu kok dapat ini? Darimana?”
“Iya dong, sini aku pakaiin.” Kataku sambil mencoba mengkalungkan untaian itu ke lehernya. Dia tersenyum dengan kalung itu di lehernya manis sekali wajahnya. Kemudian kami kembali menghadap ke matahari yang tinggal separuh di cakrawala. Dia menyandarkan kepalanya dipundak aku sembari menatap arah yang sama. Petang itu di Kakara, pulau karang. Hatiku teguh bagaikan karang menyatakan cintaku yang diterima

14- Jul-2014

Sang Dewi


Siang itu aku tergeletak di kasurku. Tanpa aba-aba airmata menetes dan mengalir di pipiku. Tenggorokanku berasa tercekat meskipun tak ada tangan yang mencekiknya. Ku geser-geser layar ponselku tak menemukan sesuatu yang dapat menhiburku. Facebook dan twitter pun sepertinya tak ada hal yang baru apalagi permainan.

Internet akhir-akhir ini serasa semakin lambat dan semakin menggugah emosi burukku. Entah hal apa ini merasuki aku, aku merasa siapapun yang ada di depanku sekarang pasti patah tulang! Namu kata orang hanyalah patah hati, sebuah kisah cinta yang berakhir tidak enak.
Ya, aku cowok, dan aku menangis karena sayang. Apakah hal itu dapat dianggap cengeng? Persetan kata orang, mereka gak pernah ngrasain hal yang aku alami sama persis. Bahkan bila mereka mengalaminya paling juga tidak lebih baik dari yang ku rasakan.

Kosong-song, samasekali tanpa ada satu sms pun masuk ponselku. Memang aku seorang introvert dan kata orang juga melankolis, tapi memang aku tidak terlalu suka berbincang. Maka, satu cewek (baca: mantan) ini memang terlalu menyakitkan buatku, karena untuk mendapatkan satu cewek pun jalur terlampau sulit buatku.
Mungkin salahku-mungkin salahnya yang pasti aku dan dia sama-sama pernah berbuat salah. Dia adalah sosok perempuan yang manis dan penyayang, cantik khas nusantara, kulit kuning langsat, rambut panjang lurus, gigi rapih berderet dan tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Walaupun sebenarnya buatku fisik tak masalah, namun bersyukur bila mendapat yang di idam-idamkan.

“Gi, break dulu yuk? Aku semakin berat mengurusi kuliah ini, terlebih menjelang ujan akhir semester, banyak tugas yang harus ku lembur. Bila kita pacarn masih seperti ini kuliahku hancur” kataku, kata yang kini ku sadar awal kehancuran kami.

“lalu kalau kita break aku gimana?” kata Regina, “kau tau kan aku tak punya teman, dirumah sendiri, sedangkan kuliahku seminggu hanya dua kali. Jangan lah, aku pasti kesepian”
“tidak apa-apa, hanya untuk sementara kok, nanti Januari, semester baru, kita semangat baru, aku janji!”
“Aku gak mau, kamu yang bikin aku nyaman, aku gak mau kita pisah…”

Setelah percakapan itu sudah dapat ditebak kelanjutannya. Nilai kuliahku hancur, hubunganku meregang, aku semakin tidak bisa membawa diri karena pikiranku terpecah. Aku bukan perempuan ataupun komputer yang bisa multitasking. Hasilnya nol besar menurutku.

Semakin hari ternyata benci ini semakin mengisi, dan aku benar-benar menginginkan putus. Namun tiap kali kuucap isaknya semakin menjadi dan aku semakin tidak tega. Hingga pada akhirnya dia berucap “iya”.

“Tapi kamu satu-satunya yang bisa ku bikin nyaman” kata Regina
“Iya, tapi kamu terlalu perasaan, sesekali pakailah logika!” sahutku.

Semakin hari, dia ternyata juga semakin menunjukkan kebaikan, beberapa kado tiba di rumahku atasnamanya. Tak hanya itu, dirinya pun semakin sering mengunjungi rumahku untuk sekadar bertemu atau bercengkerama. Lambat laun, aku semakin merasa bahwa hatiini harus membalasnya karena rasa ini pun sebenarnya juga masih ada, begitu banyak.

Mulai saat itu diriku mencoba menyayanginya lagi. Perlahan kasiih sayang kami pun tumbuh lagi, dan coba ku pupuk lagi hingga kami rujuk. Kisah-kisah indah mewarnai kami lagi. Hingga entah mengapa pada suatu hari dia menghilang, tanpa alasan yang jelas ketika kami berjanji untuk bersepeda bersama menghabiskan malam minggu yang seharusnya menjadi indah.

Satu minggu, kucari dia tidak ada respon. Dua minggu ku cari dia, hanya alasan aneh yang kudapatkan, satu bulan mencari akhirnya kutemui dia.

“Kamu kemana saja, tau kalau kita punya banyak agenda untuk dilakukan bersama?” kataku.
“Aku acara dengan saudara-saudaraku, aku sibuk ga bisa ngabarin kamu.” Jawab Regina.
“Sesibuk apa sih, sampai ga bisa ngabarin, ga bisa ngubungin hanya ucapan selamat pagi dan pamit tidur saja sms, gak mungkin lah kamu sampai seperti sibuk ngurusin EO aja. Apalagi Cuma ketempat saudaramu”
“Beneran, maaf…”
“Ga ada gunanya maaf, kalau tak ada tindakan. Aku lebih suka orang yang bertindak lebih baik daripada orang yang tiap kali hanya minta maaf”
“Maaf yah.. please…
“Enggak…”
“...tapi jangan marah ya”
Namun berkali-kali kejadian itu terjadi tanpa alasan yang jelas yang tidak bisa kumengerti. Dua bulan berjalan dan dengan anehnya hal yang membuatku pusing seumur hidupku mengenai logika perempuan.
“..mmm aku mau ngomong sesuatu” kata Regina.
“Apa Gi” perasaanku sudah tidak enak, dari kata-kata tersebut pasti sudah bisa ditebak kelanjutan percakapan ini.
“.. aku pikir kamu bener… aku gak cantik, aku gak sexy, aku gak seperti yang kamu mau.. kamu bener kalau kamu minta putus, aku iyain… skarang kita putus. Aku bukan cewek pinter, aku bukan cewek yang pandai bergaul, aku minta maaf ga bisa bahagiain kamu aku cewek yang lemah.
“Hey, ngomong apa kamu, kita saling sayang kan?
“..nggak.. kita udah nggak lagi .. kamu pasti akan jadi mantan terindah buat aku, maaf, aku ga bisa jadi yang kamu mau. Aku kira dengan ku slalu tolak kata putusmu dulu aku bisa mengubah kamu jadi lebih sayang aku tapi aku gagal.”
“Kok kamu kaya gitu sih? Ayo lah kita bersama! Kalau kamu pikir kurang baik, kita perbaiki bersama, nggak kaya gitu caranya”
“maaf… aku ga bisa lagi sama kamu, tapi ada kabar gembira, sekarang aku ditrima sbg karyawan di kampus, tapi part time slama liburan pergantian tahun ajaran, akhirnya aku bisa kerja juga”
“ayo lah kita belum putus, kita perbaiki..”
“nggak, kita udah putus.”

Hati ini rasanya bagaikan dikhianati dan ditusuk, digores, rasanya memang lebih baik mati daripada merasakan hal itu. Bagaimana tidak, memang aku menyadari dulu memang aku memutuskan dia, tapi dia tidak mau dengan berjuta alasan. Namun ketika ku pikir matang, sepertinya ku harus menerima dia lagi maka kami rujuk. Serasa bagai batu loncatan yang dibuang begitu saja ketika dia berucap putus, dan tak ada kompromi lagi. Untuk ku minta rujuk, dengan berjuta alasan lagi.

***

“Tok, tok tok” pintu kamarku tiba-tiba diketok.
“Nak, keluar lah. Ibu sudah pulang” seru ibuku yang barusaja pulang kantor, yang menunjukkan hari sudah sore.
“Ya bu…”

Sore itu aku berlanjut menikmati sore bersama keluargaku dengan hidangan tahu goreng sambal kecap utntuk cmilan. Ibuku menanyakan agenda liburanku dan kujawab bahwa gak ada kerjaan selama liburan.
“Sudah, ikut acara-acara musim panas saja, sana kamu Nak. Kan banyak to yang di adain oleh LSM-LSM buat ngisi liburan pemuda.”

“Ah, malas bu… liburan kok liburan sama orang yang gak aku kenal”
“Ya itu tujuannya biar kamu gak Cuma di kamar terus, cari temen, cari pengalaman mumpung masih muda, daripada tuamu besok susah”
***
Tak tentu arah ahirnya aku tiba di Jogja, dalam suatu acara musim panas yang diselenggarakan oleh salah satu LSM. Acara ini bertaraf internasional, kerjasama LSM Indonesia ini bersama Jepang dan Hongkong. Aku pikir hal ini biasa, karena dalam satu minggu ini isinya hanyalah workshop dan live in. total peserta 18 orang, 6 dari masing-masing perwakilan negara.
Tak ambil pusing mengenai bahasa, pikirku ini kesempatan untuk menjahit hatiku yang telah koyak. Di tengah pendhapa basecamp LSM ini tiba-tiba,
 “Hai, namaku Saraswati” sapa seseorang cewek tiba-tiba, “dari Jogja, aku tinggal di Bantul”
Ku tengok ke arahnya, seorang cewek, bertubuh sintal, rambutya lurus terurai panjang dengan aksesoris bando, matanya yang jernih menatapku tanpa ada risih. Dia memakai rok bermotif buga kecil-kecil dengna atasan kaos putih polos. Aneh juga pikriku pakaiannya. Menjulurkan tanggannya dan kami berkenalan dan bertukar info.

Stelah kami berbincang sejenak dia permisi dan mencoba menyapa orang lain dan berkenalan. Hari itu ku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya, walau perempuan dari Jepang dan Hongkong lebih menggoda. Tapi apa toh gunanya, paling juga seminggu ini saja kami berkenalan, ataupun maksimal satu bulan bertautan di sosmed, setelah itu teman dari manca negara itu juga memiliki urusannya di negaranya sendiri.

Bantul ternyata tujan pertama kami, talkshow dengan salah satu penerbit buku tenar di sebuah guest house ditengah sawah yang menawarkan nuansa tradisional khas Jawa. Kamar-kamar yang disediakan juga merupakan bangunan jawa, hanya saja aula yang kami tempati menunjukkan nuansa yang lebih kekinian.
“eh, disini deket lho sama rumahku” kata Saraswati dengan antusias.
Bantul, desa, pikirku, paling-paling kata deket untuk orang desa itu bisa saja 10km!
“oh ya? Memang dimana?” jawabku agak kurang tertarik.
“tadi kita masuk ke jalan menuju guest house ini kan lewat pertigaan dari jalan utama, nah, rumahku pertigaan sebelum kita masuk ke jalan menuju guest house ini.”
“ooh, beda desa? Ya dengan disini”
“beda sih, tapi aku tinggal di perumahaan kalik gak di desa”
“emang ada ya perumahan dibantul? Bantul kan desa?”
“ah kamu ini mentang-mentang orang kota!”

Percakapanku itu terjadi begitu saja, serasa bukan aku yang menggerakkan. Seperti ada daya lebiih dari Saraswati untuk memaksaku bercakap. Atau mugkinkah dia Saraswati jelmaan sang dewi Saraswati?
Beberapa workshop kami lewati dalam dua hari. Setelah workshop yang kami lakukan di beberapa tempat di Jogja, Jogja ternyata bagus juga sekarang. Walau kondisinya kata orang tak lagi nyaman, tapi tetap saja jadi tujuan pariwisata. Karena yang bilang gak nyaman itu penduduk asli. bukan pelaku pariwisata.
Tiba harinya untuk tinggal di desa, desa yang ditentukan ialah Turgo di kaki gunung Merapi. Sebelum kesana, bus yang kami tumpangi menuju ke arah Kaliurang untuk melihat Gunung Merapi dari gardu pandang yang ada disana.

Diatas Gardu, bisa dilihat ujung suatu sungai, entah sungai apa, dan Merapi bagaikan menyodok mata di depan kami. Dengan angkuhnya ia berdiri berwarna abu-abu biru tua. Terlihat lekuk di lerengnya yang ternyata tidak rata.

“Hai! Jangan melamun saja!” Saraswati mengagetkanku, “tuh, bagus kan dinikmati, jangan melamun”
“aku menikmati pemandangan ini yaa… gak melamun.”
“lihatlah, Gunung itu, besar, gagah, bagaikan sosok ibu, yang selalu mengayomi anaknya. Kasihnya dengan airnya yang ia alrikan melalui sungai, sesekali ia bagaikan ibu yang marah ketika meletus, tapi itu juga kasih sayangnya untuk anak-anaknya supaya dapat hidup lebih baik; bagi petani letusannya kan menyuburkan. Seperti ibu yang marah pada anaknya dengan tujuan anaknya kelak lebih baik”
“yaampun nogmong apa kamu?? Kamu yang gak melamun aja kesambet tuh, tuh”
“Ih!!! Kamu gak ngehargain orang ngomong ya! Awas kamu!”
Diatas gardu itu dia mencubiti aku, dalam canda dan tawa kami melanjutkan bercengkerama. Event Internasional jatuh hatinya sama orang lokal, tak apalah.

***

Bermain dengan anak adalah agenda kami utama, berdiskusi dengan pemuda adalah selingan, dan bersosialisasi dengan orang tua yang kami tinggali adalah intermezo, pikirku dalam live in ini di desa Turgo.
Dari desa ini terlihat bukit Turgo yang menjulang hampir menutupi Merapi. Di sisi bukit itu terdapat jalan setapak menuju puncak untuk melihat Merapi lebih baik. sesekali bertemu dengan warga sekitar pulang mencari rumput “ngarit” kata orang sini. Beberapa titik menarik untuk diabadikan dengan atau tanpa manusianya. Jalanan setapak hanya cukup untuk dilewati seorang demi seorang dengan Saraswati di depanku membuatku seperti bertanggung jawab atas keselamatan dia.
“Akhirnya puncak Turgo. Indahnya…” kata Saraswati, “Aku orang Jogja tapi baru pertama kali ini sampai di tempat ini.”
“ah masa, bukannya kamu tukang traveling?” sahutku, sebelum dia berkata lagi “awas jangan kesambet lagi kamu! Ntar tiba-tiba bikin prosa lagi ditempat ini”
“ngawur! Beneran tauk, itu kan tafsiranku pada Merapi, suka suka aku lah, week!”
“kalau gitu gantian aku menafisr, Merapi itu menurutku bagaikan Ayah.”
“mengapa?”
“Karena darinya sungai-sungai mengalir.. dan mengisi Samudra, samudra bagaikan rahim Ibu yang dibuahi oleh Merapi melalui sungai-sungainya. Dengan demikian yang disebut Ibu adalah laut, bukan Merapi. Bagaimana?”
“hmm… bagus juga, masuk akal.”

Sisa waktu itu kami mengobrol mengenal lebih jauh mengenali diri masing-masing. Dengan latar belakang merapi, di puncak bukit Turgo. Semakin siang, semakin pudar sosok gunung itu dan akhirnya kabut memaksa kami untuk turun kembali ke desa.

***

Suhu sepertinya dibawah 0 drajat Celcius, menurut perkiraan orang kota seperti aku, meskipun bisa jadi ini hanya kisaran 14o-18o C.  usai api unggun dan malam perpisahan dengan warga desa yang ramai, sorak sorai dan isak tangis oleh peserta Jepang dan Hongkong. Aku mendekati Saraswati dan duduk di sebelahnya sekitar 3 meter dari api unggun yang sudah kecil nyalanya. Anak-anak desa yang masih terjaga bersama peserta yang lain membakar jagung.
“Tumben diem? Biasanya riang dan selalu menyapa siapapun?” kataku membuka obrolan namun sepertinya garing dan kulanjutkan, “gak bakar jagung juga?”
“Hmm… oh ya. Mau dong, bakarin satu..” jawabnya. Ku kupas dua jagung dan ku olesi mentega lalu ku taruh di bara kayu.
“nagapin diem kamu?” kataku sambil mendekati Saraswati lagi dan duduk di sebelahnya, sedangkan anak-anak mulai mengkikis jagung dengan gigi mereka.
“Gak apa-apa kok, Cuma nikmatin malam ini aja. Perpaduan yang pas… langit cerah, dingin dan masyarakat berinteraksi dengan pendatang?” jawabmu.
“lama-lama omonganmu berat ah, bingung…”
“hahhaa… lihat tuh! Langit itu cerah, bintang berserakan bagai gula pasir tupah bercahaya. Dan lagi ini kala bulan mati, jadi mereka tampak lebih bersinar. Ketika tak ada saingan yang lebih berarti, pasti sekecil apapun usahamu akan terlihat.”
“tu kan… jangan-jangan kamu anak filsafat ya?”
“haha, enggak lah, tuh lihat bintang yang kaya layang-layang, tau gak aku sampe sekarang bingun kok bisa dibilang rasi bintang gubuk penceng, padhal dia kan mirip layang-layang. Apa jaman dulu gubuk tu bentuknya layang-layang gitu ya?”
“haha bener juga.. gak tau tuh. Tapi bagus, jarang bisa didapet pemandangan kaya gini di perkotaan yang dah banyak polusi cahaya.” Sungguh istimewa pikirku.
“Kedaluarsa…” kata Saraswati tiba-tiba ditengah keheningan kami menikmati bintang.
“apa?”
“Semua yang kamu lihat itu kedaluarsa…” uulangnya memperjelas, “karena itu cahaya ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.. baru bisa sampai sini saat ini… perjalanan jauh ditengah kehampaan luar angkasa. Jangan-jangan kalau kita mati, kita berpindah antar bintang gitu ya, ke planet lain tata surya, dan bagaikan nomaden saja…”
“tapi kalau begitu, kok kita tidak ingat kehidupan masa lalu kita?”
“hmm… ya entah lah… begitu saja kok dipikir, Hahahha… kita nikmati saja, dah”
Satu persatu anak-anak pulang meninggalkan bonggol jagung di dalam bara kayu dan yang tersisa tinggal peserta dan panitia yang ingin menikmati waktu malam yang indah ini. Malam terkahir di desa.

***

Tolak ke Jogja kota, suasana terasa ramai sekali, kendaraan dimana-mana, nampaknya beberapa hari di desa saja sudah bikin culutre gap!

Kunjungan ke Kraton Jogja, sepertinya hal yang menarik pikirku. Dari utara melewati tugu ditengah jalan yang tak ada yang sanggup menyuruhnya minggir karena menutupi jalan. Masuk ke jalan Mangkubumi, yang kata Saraswati udah ganti jadi Margo Utomo. Jalan meliuk dan melewati jembatan; sungai dibawahkami dan rel kereta diatas kami. Rel ganda sudah terpasang di Jogja. Lokasi itu ternyata bersejarah. Kreteg kewek. Peninggalan ‘kumpeni’.

Masuk ke area Malioboro, bus kami serasa besar sesak menhimpit pengendara lain.
“what a big Japanese motor showrom!!!”
“no, no, not a show room but parkin area”
“no way, it’s all Japanese brand!”
“yea, Japanese motorcycle has special right here to sell in a cheap price”

Terdengar obrolan di dalam bus dengan antusiasnya seorang peserta dari Jepang dan dijawab juga dengan antusias oleh peserta lain.

Kraton. GKR Hemas datang dalam ruangan itu dengan anggunnya, gedung Pacar Kepatihan. Ia adalah istri Sultan Yogyakarta. Dia bercerita sedikit mengenai folosofi kraton dan arsitekturalnya yang ternyata ialah sebuah linier kehidupan dari lahir hingga mati disimbolakn dalam berbagai bentuk ruang; Pantai Selatan, Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Kraton dan bangunannya, Alun-alun Utara hingga Tugu Jogja. Juga menjelaskan mengenai kepemudaan di Jogja.
Sesi tanya jawab, dan saatnya ku mengobrol dengan Saraswati. Sihir kekuatan aneh yang memberanikanku selama ini untuk mengobrol dengannya sepertinya belum hilang.
“Tuh, kan Jogja itu penuh cerminan kehidupan dengerin gak tadi?” kata dia mendahului aku.
“eh.. iya bener.. hebat banget ya berarti orang jaman dulu, mikirnya dalem banget.” Sahutku.
“ya iyalah, jaman dulu belum ada ponsel, sekarang dah ada ponsel, gadget dan elektronik yang lain bikin kita lupa berinteraksi dengan alam. Padahal alam yang menyediakan semuanya. Orang pikir sekarang kan beras tinggal beli, listrik tinggal bayar. Padahal kalau ga ada sawah ga ada beras, ga ada air ga ada pembangkit lisrik.”

“aku tercengang deh ama kata-katamu… beneran deh, kamu tambah kesambet, mungkin kesurupan, hanya saja yang ngerasukin kamu tuh mesti roh baik bukan kesurupan roh jahat, Hahhahahahaha” kataku bercanda
“Kamu ah! bukannya ngeiyain malah ngejekin terus!”

***

Hari terakhir. Kami diberikan waktu untuk berbelanja cindera mata di Malioboro. Ada toko cukup besar khusus cinderamata khas Jogja, kami menuju kesana. Selain berbelanja, kami juga sebagai pemandu bagi teman-teman kami peserta dari Jepang dan Hongkong.

Kulihat sebuah gelang, cukup unik yang gak begitu Jogja banget, dari logam dan bahan kayu, sepertinya batok kelapa. Berupa bulir-bulir dengan aksen bentuk hati tergantung di sis terjauh dari kaitan gelang itu. Aku pikir ini amunisiku untuk menyatakan cinlokku. Aku ambil dan kubayar di kasir, lalu aku bantu teman-teman peserta dari Mancanegara untuk memilih barang yang mereka suka.

Perpisahan dengan peserta Jepang dan Hongkong di bandara cukup ramai diwarnai isak tangis dan pelukan. Hingga akhirnya lambaian tangan terakhir kami lakukan mengiringi mereka memasuki ruang check in.
Usai bagi peserta luar, belum usai bagi peserta lokal. Juga tentunya belum usai bagi diriku. Aku duduk di bus yang menuju base camp LSM pembuat acara ini, diriku teringat bahwa diriku barusaja putus, dan dengan cepatnya mendapatkan gebetan. Apakah ini memang mukjizat atau keberuntungan. Apakah Tuhan memang mempercayaiku bisa menjaga hatinya?

Diriku tiba-tiba terserang demam galau menjelang rencanaku mengungkapkan isi hati pada Saraswati tepat sebelum berpisah. Macam-macam pertanyaan bermunculan di isi kepalaku. Apakahh aku bisa, apakah aku layak, dia terlalu berpikir hebat sedangkan aku hanya orang introvert yang dengan adanya kekuatan magis aneh ingin selalu berada di sebelahnya. Belum juga nanti bila dia udah punya pacar. Belum ntar kalau dia menganggapku hanya teman. Lain lagi ceritanya jika dia malah kemudian tidak respect sama aku.

Bus tetap berjalan, dan Saraswati dua kursi didepanku tertidur, hampir sisa peserta dan panitia tertidur. Kecuali aku dengan beban pikiran yang tiba-tiba tidak memerdekakanku. Tapi gelang ini sudah aku beli untuknya untuk sarana ku nembak dia? Aduh kenapa dengan otakku ini.

Tak lama bus sampai basecamp dan kami menurunkan barang kami. Teman-temanku sudah siap dijemput. kesempatan ini kesempatan terakhir untukku berucap pada Saraswati. Namun kegalauan masih saja menyerap semua rencana yang telah kupersiapkan, menjadi suatu gumpalan energi ketakutan menghadapi sesuatu.

Akhirnya dia berucap padaku, “aku pulang dulu ya, pengalaman indah acara ini dan sama kamu” aku mengiyakan dan membalas pamitan. Dia berbalik menuju salah satu jemputan yang ada.
“Hey, tunggu sebentar!” triakku pada Saraswati, dan ku keluarkan dari tasku notes dan alat tulis, kusobek satu lembar notes itu, dan kutulis;
“aku suka kamu, ku temui kamu kalau ku ke Jogja lagi”
Ku tekuk kertas itu dan kuserahkan pada Saraswati,
“Sampai ketemu lagi ya” kataku padanya,
Dan ku berjalan membelakanginya, di menuju jemputannya, ku menuju taxi yang mengantarku ke Stasiun. Stasiun, tempat keretaku yang mengantarku ke kotaku berada.

15-Jul-2014