Tiba-tiba terasa
getaran keras, diikuti suara dsingan angin. Ku tengok kejendela terlihat aspal
dengan garis putih putus-putus. Bangunan kecil di salah satu sudut tanah ini,
pertanda sudah mendarat di bandara Kao. Inilah Bandara Kao, di Halmahera Utara,
bandara kecil yang tidak setiap hari menerima penerbangan.
Aku dan teman-teman
turun dan menyisihkan beberapa saat waktu kami untuk ber-selfie dengan latar belakang pesawat berbaling-baling. Setelah itu
kami berdesakan mengambil bagasi kami, maklum bandara ini bukan seperti bandara
besar dan terkenal. Walau bandara ini hanya melayani penerbangan lokal, aku
pikir ini akan menjadi pengalaman yang mengasikan, pengalaman menjelajah salah
satu sudut Nusantara.
Sebenarnya aku pun tak
tahu tiba-tiba aku berada disini. Tiket pergi-pulang kuhabiskan sekitar enam
juta rupiah ditambah anggaran untuk liburan ini sama dengan uang hasil
tabunganku semasa kuliah dan satu tahun gajiku. Namun sempat ku pikir konyol
juga uang sebanyak itu tiba-tiba habis dalam satu minggu kedepan.
Tujuan utama kami
berlibur adalah menyelam di Tanjung Kakara, sebuah pulau di Teluk Kao, seberang
kota Tobelo, Halmahera Utara. Kata teman sih pantai di situ bagus dan lokasi
Tanjung Kakara gak kalah bagus dibandingkan lokasi menyelam yang lain. Walaupun
ku pikir semua pantai di Indonesia timur memang bagus-bagus.
Lima orang temanku
Utami, Anggun, Desita, Jati, Delon dan aku; Karang Nagari memulai petualangan
kami di bumi Halmahera. Mereka adalah temanku semasa kuliah yang hingga kini
masih tetap keep in touch. Seperti
reuni saja.
“Eh, tidak ada bus ke
kota kah?” kata Utami.
“Tidak tahu, sepertinya
hanya travel” jawab Jati.
Memang tak ada plat
nomor kuning disini, yang ada macam mobil keluarga yang sopirnya terus
presuasif mengajak kami menumpang mobilnya dengan bahasa yang kurang aku
mengerti.
“Nggun, tasmu terbuka,”
kataku sembari berjalan.
“Oh iya, bisa minta
tolong tutupkan?” sahut Anggun dan ku tutup tasnya tanpa kata, dia menoleh dan
berkata “dah yuk, ikut salah satu mobil aja, tanya berapa tarifnya ke kota.”
Ya, Anggun, ketika
menoleh dan berkata-kata pun anggun, serasi dengan namanya, dialah salah satu
gebetan aku sejak kuliah.
Kejadian selanjutnya
berupa tawar menawar antara Jati dengan salah satu sopir mobil, dan akhirnya
dikenai biaya dua ratus ribu rupiah untuk berenam dalam satu mobil. Perjalanan
itu cukup lelah namun menyenangkan pikirku, setelah semalam transit diberbagai tempat,
pagi ini akhirnya sampai. Selama perjalanan ke kota, kulihat pohon kelapa luar
biasa banyaknya, tak heran bila memang ada senandung rayuan pohon kelapa.
Perjalanan itu singkat
namun kami nikmati, terkadang terlihat pantai dengan pasir hitam dan bayak
pohon kelapa. Sesekali menyembul rumah yang
terletak jarang-jarang, tidak pedesaan di Jawa. Sesekali terlihat sampan,
perahu diparkir di pasir pantai dari jendela mobil ini. Canda tawa dan obrolan
menyenangkan menemani perjalanan ini.
Tak tahu arah, kami
memutuskan tingal semalam di hotel dekat pelabuhan Tobelo. Hotel dengan
fasilitas seadanya dan cukup murah bagi kami. Hari itu kami beristirahat sampai
siang dan sore hari Utami mengajak untuk berkeliing kota.
“hey, ayo bangun, udah
siang nih, yuk main keliling kota sebelum besok pagi kita ke pulau” ajak Utami
tiba-tiba muncul di kamar cowok dengan bersemangat,
Kami dengan sedikit
malas-malasan kemudian mempersiapkan diri. 14.00 kami keluar hotel. Matahari
cukup terik dikala bulan pertengahan tahun ini. Kulihat di ponselku 34o
C di kota Tobelo dan real feel-nya 39o
C.
“Wah, pantas panas
sekali! Lihat ni di aplikasi ponselku” ku berseru sambil menunjukan temperatur
kota ini.
“Ya ampun, ga nyangka
sepanas ini ya..” kata Jati.
“Kan disini lebih deket
ke kathulistiwa daripada di Jawa” sahut Delon.
Karena masih terang,
kami memutuskan untuk berkeliling, dan kami memutuskan untuk menggunakan bentor kendaraan becak bermotor, kami
sewa dua bentor dan berkeliling Kota Tobelo yang kecil. Pengemudi bentor
menjadi guide kami, dia membawa kami melewati gedung kantor bupati Halmahera
Utara yang berbentuk segi delapan.
“Lihat itu, keren ya
gedung pemerintahannya” seruku, “di jawa kliatannya gak ada yg bangunannya se
‘wah’ itu”
“Iya tuh, cocok, megah
sebagai gedung pemerintahan” jawab Jati.
Perjalanan kami
diteruskan melewati Hibualamo, seperti pendapa namun bersegi delapan rumah khas
Tobelo. Kami juga dilewatkan universitas di Tobelo. Kemudian aku usul untuk ke
kantorpos daerah itu sebelum tutup. Aku berencana mengabari orangtuaku dan
kakakku kalau aku sudah sampai di Tobelo.
“Aku mampir kantorpos
dulu ya, bentar, mau beli kartupos” kataku sambil melangkah turun dari bentor.
“Eh, aku ikut, aku juga
mau kirim kartupos” kata Anggun juga ikut turun bentor.
Kami berdua masuk kantorpos
dan membeli kartu pos dan perangko. Sampai ke Jawa prangko hanya butuh tiga
ribu rupiah ternyata.
“kau tulis surat pada
siapa Nggun?” tanyaku.
“Ke tanteku, kan aku
tinggal sama tanteku” jawab Anggun.
“Oh, kirain buat
cowokmu.”
“Eh, ngawur, belum punya
ya..”
“Ah, masa sih, sejak lulus
kuliah masa belum dapet juga”
“Beneran, suwer, ngejek
kamu ah..!”
“kalau gitu ndaftar
jadi calon boleh?” kataku sambil sedikit berlari menyerahkan kartuposku untuk
di cap pada petugas.
“Gakkkk!” jawabnya
spontan, “Heh, tunggu!”
Kami berdua lalu keluar
kantorpos dan perjalanan terakhir kami dengan bentor di sekitaran pelabuhan. Di
dekat pelabuhan ternyata ada pasar tradisional, tak jauh dari pasar ada juga
supermarket, sepertinya satu-satunya di Tobelo. Setelah itu kami kembali ke
hotel.
***
Petang hari, 18.30
masih serasa pukul 17.00 sore di Jawa. Kami bersama-sama keluar berjalan ke
arah swalayan untuk membeli bekal ke pulau untuk tiga hari disana. Berjalan
melewati pasar, seperti trotoar di Indonesia yang lain, sebagian digunakan
untuk berjualan juga. Melewati pasar, ada hal unik, seperti gula aren yang
bulat dibungkus daun kering, sepertinya daun palem. Tentunya itu hal yang khas
dari daerah sini dan kupikir aku harus membelinya untuk oleh-oleh. Para penjual
menampilkan dagangannya dengan unik, diletakkan dalam piring-piring, begitulah
etalase dagangan mereka.
Sesampainya di swalayan
itu, kami berbelanja.
“kamu Cuma beli itu
Ri?” tanya Anggun.
“Iya, ngapain beli banyak-banyak, berat ah” jawabku.
“tapikan disana di
pulau, ntar ga ada yang jual pas kamu butuh kapok kamu”
“biarlah, ntar pasti
juga ada diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa”
“Ah, Ngaco kamu mah!”
Sisa malam itu kami
habiskan di hotel. Kami ngobrol ramai hingga mengantuk dan packing untuk esok hari, mempersiapkan untuk tinggal tiga hari di
pulau yang kami belum pernah datangi.
***
Pagi itu pukul 7.30
kami sudah on the way ke pelabuhan.
Pelabuhan ke Kakara arahnya belok kiri sebelum gapura masuk pelabuhan utama,
dan dari situ belok kanan dan tak jauh dari situ sudah dapat ditemui dermaga.
Dua kapal bercadik siaga disitu dan kami akhirnya menumpang kapal yang berwarna
hijau. Kapal ini beratap sehingga ketika masuk kami perlu sedikit membungkuk.
Kapal kecil ini sudah memakai mesin di yang berada di bagian tengah sedikit
kebelakang, diatasnya kemudi kapal. Mesin itu dihubungkan dengan besi yang
memutar baling-baling di belakang kapal. Orang sini menyebutnya katinting.
Mungkin perjalanan
10-20 menit saja, tak kulihat jam tanganku karena asik ku lihat laut yang
begitu jernih dan berganti-ganti warna dari hijau muda yang menandakan dangkal,
kadang warna putih terpantul dari karang-karangnya, dan bila hijau-biru gelap
berarti pertanda perairan dalam. Ditengah perjalanan sebuah kapal tangker
terlihat berjalan pelan meniti laut dalam menuju ke pelabuhan Tobelo.
Saat itu sedang surut,
kami tiba di Tanjung Kakara dan sedikit kesulitan karena adanya gap antara
katinting dengan dermaga. Dermaga yang terbuat dari kayu itu menyambut kami
menghantarkan ke pasir putih Kakara. Sedikit masuk dari pantai terdapat
bangunan yang merupakan rumah kami untuk tiga hari kedepan.
“yuk buruan ke guest house, lalu kita nikmati pantai
ini” kata Utami.
Dia bergegas ke guest house itu dan menanyakan mengenai
reservasi kami. Setelah kami bongkar muat barang di kamar, kami langsung menuju
pantai dengan celana pendek dan membawa kacamata renang.
“Amboi… indahnya… dari
Tobelo tadi sampai sini tak ada ombak sama sekali, beda dengan pantai laut
selatan Jawa!” kata Anggun dan kami semua mengiyakannya.
“Ayuk Nggun, renang”
kataku sesudahnya.
Aku, Anggun, Jati dan
Delon langsung masuk ke air, sedangkan Utami hanya bermain air dipinggir dan
Desita menikmati pasir pantai. Indahnya pantai ini, tidak dalam, karangnya
menggiurkan untuk dilihat hanya saja nafas memaksa untuk segera keluar dari air
untuk menarik oksigen yang dihasilkan pulau yang penuh dengan pohon kelapa ini.
“Keren banget ya
disini!” kata Jati, “biasanya lihat kaya ginian cuma di google atau TV sekarang
bisa ngalamin beneran!”
“Iya, bener banget kamu
Jat!” kataku.
Sambil menyelam minum
air, sambil menyelam ku mengamati gerakan Anggun berenang, sekali lagi, benar-benar
Anggun. Rambutnya yang lurus menggelombang terkena air ketika berenang. Wajahnya
menjadi lebih manis dengan latar belakang pemandangan dalam air. Andai dengan
liburan ini aku bisa dipersatukan dengan dia.
Tak takut gosong kami
berenang hingga menjelang tengah hari, dan siang hari kami makan makanan khas
daerah situ, Ikan bakar dengan ketela goreng bersama sambal, kata orang guest house ni sambal namanya dabu-dabu. Lezat juga walau menurut kami
‘hanya’ ketela namun ternyata ini menjadi makanan utama disini.
Siang sampai sore kami
habiskan untuk bermalas-malasan di pasir dibawah pohon di pantai ini. Menjelang
tenggelamnya sang surya, kami segera berbilas dan menuju dermaga di tanjung ini
untuk menikmati matahari tenggelam. Gunung Mamuya di daratan Halmahera dengan
langit keemasan menjadi latar belakang tenggelamnya matahari. Air laut menjadi
keemasan juga. Semakin gelap langit semakin terlihat kelip-kelip di air.
“Eh teman-teman lihat,
tu ada kelip-kelip di air apaan ya?” kataku.
Bagaikan kunang-kunang
air, kelap kelip.
“Mungkin ikan
bercahaya?” jawab Jati.
“Atau makhluk gaib Ri?”
kata Anggun.
“Ah, ngaco kamu Nggun”
kataku.
Awalnya kupikir itu pantulan cahaya, namun
entahlah mungkin benar itu sejenis sepesies kunang-kunang dalam air. Pastinya
suasana itu suasana paling romantis yang ada, seharusnya. Karena itu aku coba
ajak ngobrol Anggun sebisaku, walau kami berenam teman dekat tapi kikuk juga
bila ada maksud ‘tertentu’ ketika ngobrol. Di sisi lain, Desita menikmati
petang itu dengan caranya sendiri, diam. Dia memang terkenal pendiam namun bila
kami ajak untuk main pasti langsung ikut, seperti liburan kali ini.
***
“Aduh, sakit” tiba-tiba
Anggun berteriak. Dia terjatuh sepertinya tersandung akar pohon, dan
perlengkapan menyelamnya jatuh semua. Pasir menempel di tubuhnya yang masih
basah.
“kenapa Nggun?” kataku
sambil mendatanginya, “gak apa-apa kan?”
“gak apa-apa kok, Cuma
tersandung aja” jawabnya sambil mengambil barang-barangnya yang terjatuh.
Setelah mengembalikan
peralatan menyelam kami bersantai di pinggir pantai lagi.
“Nggun, itu kaki mu
agak bengkak?” kataku tiba-tiba padanya.
“Iya masih sakit nih,
mungkin terkilir juga” jawab Anggun.
“Aku ambilin salep ya,
liburan belum ada setengah, ntar malah tambah buruk” kataku sambil beranjak ke guest house dan mengambil salep untuk
kesleo.
“Ni salepnya, aku
olesin ya” tidak tau mengapa tiba-tiba kata-kata itu muncul dan kulakukan. Ku
olesi salep pada kakinya yang sedikit bengkak.
“Makasih ya Ri” katanya
setelah ku oleskan salepnya.
Sisa hari itu
kuhabiskan lebih khusus berada dekat Anggun. Juga pada api unggun kecil-kecilan
di pinggir pantai yang kami lakukan di malam terakhir di pulau.
“Eh, tidur di luar aja
yuk malam ini? Kita nikmati malam ini tidur di pantai.” Kata Jati, dan semuanya
setuju.
Malam itu satu persatu
tertidur, tersisa aku dan Anggun masih terjaga berbagi certia masa lalu dan
masa kecil. Akhirnya dia pamit untuk meringkuk di tikarnya berselimutkan kain.
Nyala api unggun kecil dan ku menyusul tidur meringkuk dengan jaket dan
sarungku.
Sekitar pukul 3.00 pagi
aku terbangun, api unggun tinggal bara, dan Anggun terlihat kedinginan dibalik
selimutnya yang tipis. Terlihat tidurnya tidak tenang karena kedinginan walau
dia tidak terbangun. Memang itu bukan selimut namun kain pantai. Lalu kulepas
sarungku dan ku selimutkan padanya, dan kulanjut tidur malam itu.
“Makasih ya semalem.” Kata
Anggun di pagi hari sebelum kami mandi pagi di pantai.
“makasih apa Nggun?”
jawabku.
“makasih udah kamu
pinjemin sarungmu semalem, itu kan sarungmu tiba-tiba terselimutkan ke aku.
Siapa lagi yang punya sarung kotak-kotak biru disini selain kamu”
“Oh, iya, sama-sama. Soalnya
aku kebangun liat kamu kliatannya kedinginan gitu, maka aku selimutin.”
“Ok, makasih ya,”
katanya sekali lagi sambil berlari masuk ke air.
***
Kami berkemas, siang
itu dan tiba-tiba penjaga guest house
itu nimbrung.
“Barangkali tinggal
semalam lagi? Belum berwisata ke desa kan?” kata penjaganya dengan dialek
lokal.
“Eh, memang ada desa
disini Pak?” kataku.
“Ada, desa Kakara
namanya, seperti nama pulau” kata pak Kristo penjaga guest house, “ kalau mau bisa jalan, paling 10 menit atau naik
katinting langsung ke dermaga desa”
“Mungkin siang ini
sampai sore kita bisa disana, lalu petang kita baru balik kota bagaimana?” kata
Jati menjawab dan menawarkan ide pada ku dan teman yang lain.
Akhirnya kami setuju
untuk berjalan ke desa dengan pemandu Pak Kristo, dan baru petang hari kami
tolak ke kota via pelabuhan desa Kakara. Siang itu dengan tas penuh, kami
berjalan menyusuri bakau dan kebun kelapa. Sesekali dan semakin sering menemui
manusia berarti rumah penduduk sudah dekat. Memang benar, setelah melwati
kuburan kecil, rumah penduduk terlihat. Beratap seng dengan dinding papan kayu
atau batako, satu dua rumah masih menggunakan atap daun.
Desa Kakara ini hanya
mempunyai satu jalan dengan ujuung dermaga dan sekolahan di sisi dalam pulau. Di
tengah desa kami diajak Pak Penjaga untuk mampir ke rumah seorang perajin,
disitu kami diperlihatkan pembuatan Salawaku, perisai khas Tobelo dan pernak
pernik terbuat dari kerang kecil, disini mereka menyebutnya bia.
“Mari kebelakang,
torang minum kelapa muda, bahasa Tobelonya O
giyau kelapa muda. Saya punya beberapa pohon” kata pak Jesen sang
pengrajin.
“Boleh pak?” kataku.
“Mari-mari, ikut saya
kebelakang”
Dengan cekatan dipetikkan
beberapa kelapa muda dan dengan parang yang tajam Pak Jesen membukanya. Segarnya
bukan main! Apalagi ditengah terik panasnya pulau ini.
Setelah minum kelapa
muda, kami diberikan kenang-kenangan berupa gelang dari kerang. Secara pribadi
aku meminta sebuah untaian kerang yang sedikit panjang, berupa kalung untuk
aku. Bapak pengrajin yang baik hati itu memberikannya juga padaku.
Menjelang petang, kami
ke dermaga, di dekat dermaga ada rumah adat Hibualamo. Bersegi delapan dan
terbuka. Kami menghabiskan petang itu di dermaga untuk melihat matahari
tenggelam lagi sebelum kami bertolak ke kota Tobelo. Anak-anak desa Kakara
terlihat asik bermain di dermaga, berrenang ada yang memancing juga. Beberapa
katinting terlihat datang untuk pulang.
Petang menjelang,
matahari sudah menyentuh garis cakrawala. 18.40. cahaya keemasan membuat langit
dan laut berwarna sama. Di petang yang romantis itu kuberanikan diriku untuk
berucap, “Nggun?”
“Ya?” jawabnya.
“Ehm… mau gak kamu jadi
pacar aku?” kataku lemah sedikit terbata-bata.
Dia tersenyum dan
kembali menghadap cahaya keemasan matahari. Hal itu membuatku acakadut.
Perasaan ini jadi tidak enak. Beberapa menit kami dalam keheningan.
“Oke” jawab Anggun
tiba-tiba sembari tersenyum.
“Eh, anu… beneran?”
kataku canggung.
“Beneran, kamu juga
beneran kan nembak aku?” balasnya.
“Eh, iya… em… kalau
gitu ini buat kamu…” kataku sambil menyerahkan kalung dari kerang yang kuminta
dari pak pengrajin di desa itu.
“Ah, kamu kok dapat
ini? Darimana?”
“Iya dong, sini aku
pakaiin.” Kataku sambil mencoba mengkalungkan untaian itu ke lehernya. Dia
tersenyum dengan kalung itu di lehernya manis sekali wajahnya. Kemudian kami
kembali menghadap ke matahari yang tinggal separuh di cakrawala. Dia
menyandarkan kepalanya dipundak aku sembari menatap arah yang sama. Petang itu
di Kakara, pulau karang. Hatiku teguh bagaikan karang menyatakan cintaku yang
diterima
14- Jul-2014