Selasa, 21 November 2017

1570 mdpl -2017/11/19




Usai hari menyusur jejak jalur kuna, maka hari kedua ini di awali dengan ucapan syukur yang sangat karena dapat menikmati kemegahan lereng  Sindoro dan pemandangan yang heavenly berupa pemandangan rangkaian puncak gunung yang tersaji di arah matahari terbenam. 1100mdpl dan tanpa halangan yang berarti, Gunung Ungaran, Telomoyo, Andong, Merapi, Merbabu dan tentunya Sumbing serasa menyapa kami dengan agungnya.


Tak usai disitu ucapan syukur ini, perjalanan pagi berlanjut ke 1570mpdl untuk menikmati pemandangan sekaligus pemandangan matahari terbit yang sedikit terlambat. Menaiki pikep kami menyusur jalanan makadam hingga lokasi melihat pemandangan. Sesekali melewati pinggir jurang terus menanjak menuju lokasi.



Beberapa puluh meter menuju lokasi, pikep berhenti dan kami berjalan mendaki, kiri kanan sejak tadi perkebunan sayuran milih warga. Ada instalasi bambu yang disediakan untuk berfoto ria. Kata petani disitu, seminggu ini baru kali ini cerah lagi.



Syukur bagi-Nya.

Berbincang dengan mas Chandra yang membagikan cerita perjuangan hidupnya, yang tentunya sangat menginspirasi atas ketekunan dan penemuannya tentang esensi ‘hidup’ dalam usia yang begitu muda.




Syukur sekali lagi diucapkan.

Begitulah pagi ini 19 November 2017 saya ceritakan.





Senin, 20 November 2017

Ekspedisi Jalur Kuna #2

Sabtu 18 November 2017,
dapet kaos yey yey yey
aku diutus kantor untuk berangkat ke Parakan bersama Ludivine juga tim dari Tripdixi untuk mengikuti acara Ekspedisii Jalur Kuno 2; Jejak Prasasti Rukam dan Kayumwungan. Berangkat dari Puri Brata pagi hari, kami menggunakan mobil. Di perjalanan cukup lancar, kecuali magelang dan temanggung kami mendapatkan sedikit kemacetan. Sampai di Taman kota Parakan sekitar jam 10 pagi,. Sampai disana, kami dibagikan kaos perjalanan dan berkenalan satu sama lain.




pemandangan di lokasi situs pertama
Setelah briefing oleh panitia, kami diarahkan untuk menaiki mobil bak terbuka sebagai moda transportasi kami menuju situs-situs yang akan kami kunjungi. Kunjungan pertama kami dari parakan naik, mengarah ke Kledung, ditengah perjalanan hujan deras datang. Sebentar kami berhenti dan memakai mantol yang dibagikan panitia, dan lanjut lagi, tariik mang! Untunglah saya pututskan memakai celana pendek dan sandal gunung, jadi aman deeh..




bahagia diatas pikep
Berbahagia diatas pikep
Hujan deras menemani kami diatas pikep, karena derasnya hujan, panitia memutuskan untuk mengambil jalur lain menuju situs pertama, katanya lewat atas, karena kalau lewat bawah kemungkinan sungaii yang akan disebrangi banjir. Singkat cerita, pikep depan ga mau nyedot bensiin dan mogok, untunglah dekat dengan desa yang menuju situs.
terekking

balik dari situs pertama
Kami masuk desa, jalan sebentar dan mulai masuk ke pekarangan, dan lahan pertanian penduduk sekitar. Jalan lalu menurun, cukup curam dan licin. Hingga sampai pada sungai kecil yang bisa kami sebrangi. Dilanjutkan naik lagi ke lereng sisi lain sungai dan kami berjalan seperti di pematang sawah, menuju ujung bukit. Sebelum ujung bukit terdapat situs Lingga yang katanya ditemukan paling besar daripada yang lain. Maju sedikit dari situs tersebut kami bertemu dengan tangga lurus kebawah menuju ke tempuran (tempat bertemuanya dua sungai). Tangga tersebut tinggal separo, konon jaman belanda dulu masih utuh sampai bawah tangganya.
prasasti tahun 1700an kalau ga salah
Kemungkinan, gunung Sindoro diatas dianggap sebagai lingga dan tempuran yang disucikan tersebut adalah simbol dari anak Siwa. Sehingga lokasi tersebut adalah lokasi yang sakral. Kemungkinan juga ritus yang dilakukan pada masa itu bukan dari bawah (sungai) ke atas tetapi dari atas, lanjut ke sungai untuk melarung atau mengambil air, dan naik lagi keatas. Dari titik ini juga terlihat longosoran tebing, yang katanya memakan korban satu dusun.
tangga menuju tempuran
horeee
Perjalanan berlanjut, menuruti jalur berangkat tadi. Beberapa kawan mendapatkan servis pijat ditengah kebon karena kumat diperjalanan dan disarankan untuk lewat jalur lain yang lebih datar namun sempit. Kami kembali ke pikep dan perjalanan dilanjutkan, kami turun menuju kota Parakan lagi dan entah kemudian kemana, tibalah di lokasi yang konon katanya ditempat itu ditemukannya prasasti  yang kemungkinan berhubungan dengan penentuan lokasi dibangunnya candi Borobudur.
kuliah diatas pikep
Prasasti Kaymwungan.
Pendeta melakukan pamujan
Disitu prasastinya sudah dipindah di museum, dan tinggallah relief gajah yang ujud gajahnya sudah tidak daat dikenali karena kena semen. Ya, oleh entah siapa batu relief ini di berdirikan dan di perkuat dengan semen. Disini katanya juga sudah begitu banyak berubah, dengan dulu katanya ada diberi makam-makam-an, mungkin supaya lebih mistis, dan sekarang jadi ada peneduhnya, dan beberapa batu untuk numbuk padi, juga didatangkan batu seperti pagoda.

ukuran bata yang digunakan di situs Kayumwungan
Di sisi utara (menurutku) terdapat susunan bata berbentuk kotak, di sisi selatan tersingkap sedikit susunan yang kemungkinan dulu batas situs. Susunan batu kotak tersebut menurut bayangan saya dulu disitu adalah kolam yang digunakan untuk membersihkan diri ataupun sumber air. Karena situs ini diatas bukit maka permasalahan utama adalah air, sehingga perlu penampungan air. Seperti di candi boko dan makam ratu Malang. Sekali lagi itu analisis saya lho. Oh ya, penduduk yang mendiami di dekat situs ini juga membuat sumur dekat situs, banyak ketemu batu, yang kata mas Chandra adalah batu dasaran untuk perkuatan situs pada jamannya. Bukan jamannow. Daan sumurnya juga belum keluar air sudah 17 meter.

Ludivine mencoba pijatan spesial dari Guru
pak bos kita

Kami istirahat makan siang di tempat itu, dengan menu nasi jagung, nasi biasa dan sayur mayur, peyek ikan asin, juga makanan macam-macam lainnya. Disajikan dengan daun pisang dan nuansa syahdu dibawah pohon raksasa beringin putih yang menaungi puncak bukit tersebut.

atap baru tambahan biar syahdu



emejing
lokasi kekinian di temmpat ditemukan prasasti


Gondosuli.
menghargai tradisi moyang
Di situs ini, yang paling menarik bagi saya adalah cerita alasan tulisan di prasasti hilang. Ternyata karena kebaikan penduduk sekitar yang ingin membersihkan prasasti tersebut dan ternyata membersihkannya terlalu keras sehiingga aksara di batu tersebut juga ikut terkikis dan hilang.












gondosuli

 



Dalam pikiran saya, Gondosuli juga ada di ketinggian lereng lawu, nama tempat juga. Apakah tumbuhan Gondosuli cenderung tumbuh baik di ketinggian? Belum terjawab, mungkin kalau dah ketemu jawabannya saya tulis di blog ini juga.
nih prasasti yang hilang ingatan.
Di sisi timurnya prasasti ada kompleks reruntuhan. Tidak yakin apakah situs hindu meski ada Yoni, karena di masa lalu Yoni lebih universal sebagai simbol kesuburan, juga begitu kuatnya percampuran antara Hindu Budha, bisa jadi Budhis Siwa dan apapun itu. Singkatnya, bisa jadi yang membangun adalah masyarakat dengan kepercayaan X tapi tahunya cara bikin pamujan dengan cara Y. kurang lebih begitu yang saya tangkap.

Ada arca Nandi, arca perempuan yang tinggal sedikit bagian, yoni terisi air di lubang di dalamnya juga banyak relief yang menggambarkan kondisi sekitar lokasi candi berupa burung, dan tanaman, lotus terbuka utuh, separo dan kuncup. Tentunya bermakna tertentu yang saya juga belum tau.

Chakra.
Pikep menghantar kami sampai masuk desa, dan berhenti sebelum jembatan kecil. Kami berjalan masuk ke arah sawah, menelusuri pematang sawah dan naik bukit entah bukit yang mana karena ternyata banyak bukit di daerah sini, begitu banyaknya dan hampir di setiap puncak bukit ada situsnya meski hanya sedikit. Setelah menyebrang sawah, kami masuk lorong kebon bambu sebentar dan naik bukit melewati kebon telo. Cepat saja sampai puncak bukit dikelilingi bambu yang lebat, ternampaklah klimaks dari perjalanan ini. Sebuah lingkaran dengan empat lubang berbentuk apik, dan nampak bersih begitu megahnya terletak di tengah-tengah. Rasanya tak ingin usai memandanginya, mengapresiasi keindahannya. Biarkanlah foto yang berbicara kali ini.
membuat menganga..
Oh ya, di setiap situs kami beristirahat dan mendengar penjelasan. Juga ada pendeta budhis yang turut serta dan sembahyang di setiap situs. Membuat imajinasi ini liar membayangkan jaman dulu tiap-tiap situs juga didatangi oleh masyarakat unutk melakukan pemujaan.
selfie dengan masterpiece
Hari mulai redup. Kami turun, dan disajikan oleh sang maha kuasa, siluet gunung dari pikep kami. Perjalanan kami lanjutkan dengan kunjungan pada batuan candi yang sudah jadi dasaran rumah. Hari sudah gelap pencahayaan kurang asik karena kurang bisa melihat detail dan sudah lelah diguyur banyak hujan seharian. Kami menuju base camp di desa Candi Sari.
lorong bambu yang epic

katanya itu relief gajah
untuk dekorasi lahan pribadi

Isitirahat sebentar sambil ngopi dan nglinthing dan berangkat lagi untuk menghadiri acara didesa. Oncor menerangi jalan kami dan di tangga menuju petilasan, makam leluhur pertama desa tersebut. Tak lama datanglah rombongan berpakaian surjan lengkap diikuti iringan membawa tumpeng dan ingkung. Mulailah tembang dan doa-doa yang berakhir jam 11 malam dilanjut kita makan malam bersama nasi tumpeng yang sudah didoakan tersebut.
Prosesi
nembang

dapat lorotan degan

prosesi
Lalu kami disuguhkkan nanyian Lirilir yang sudah dimodifikasi kekinian dan tembang bahasa jawa kuna yang juga disajikan lebih mistis kekinian. Acara diakhiri dengan kata-kata dari mas Chandra, dan kami balik ke basecamp, kallau aku sih langsung cari posisi tidur, beralas tikar dan karpet, dan berseteru dengan dinginnya 1100mdpl diantara dua Gunung. Selamat malam!
persiapan manggung

pemandangan malam

Selamat malam!

Kamis, 09 November 2017

Fajar Menyingsing


Pagi ini, 10 November 2017 adalah hari pertama saya tidak lagi terikat dengan kampus UKDW yang selama 7 tahun saya mempunyai keterikatan khusus sebagai mahasiswa dan asisten dosen.

Oktober lalu, usai menyelesaikan membantu sahabat menjelang pengumpulan Tugas Akhirnya, tiba-tiba ada lowongan di suatu konsultan di ujung selatan Bantul, dan saya mencoba untuk mendaftar. setelah sekian hari saya mendapatkan balasan untuk wawancaara dan singkat cerita; diterima. Dua minggu awal, saya masih membagi waktu dengan menjadi asisten dosen di kampus pada mata kuliah Struktur dan Konstruksi 5 (SK5) juga mata kuliah Tektonika. Terhitung 9 November kemarin, adalah hari terakhir saya mengemban kebahagiaan menjadi asisten dosen.

Memang menarik menjadi asisten dosen selama ini, bertemu dengan pemudi-pemuda yang penuh semangat perjuangan kuliah, dan pengetahuan baru yang saling didapat oleh mahasiswa dari hasil diskusi yang hidup. meskipun ada gap pengetahhuan yang saat semester itu ketika saya kuliah saya belum mendapatkan dan tantangan baru lainnya yang saya harus hadapi.

Mungkin saya menjadi asisten ini sebagai perkenalan awal dalam menuju dunia kerja, dan saya sangat berterimakasih pada mas Bagus yang memberikan kesempatan ini pada Saya, dan Pak Yoga yang menerima saya sebagai asistennya meski tak usai satu semester. Juga pak Eko yang menawari saya menjadi asisten dosen pada matakuliah Tektonika yang diampu Bu Linda, yang darinya saya banyak belajar ternyata susah juga mengajar di depan kelas, dan berbagai ilmu kritis yang perlu lebih dipelajari kalau besok saya jadi dosen, hahaha ngarepp..

ok, tak lupa saya berterimakasih pada teman-teman SK 5 dan Tektonika semester ganjil tahun ajaran 2017-2018 yang sudah mau dan mempercayakan pertanyaannya pada saya. Ya saya jawab sebisa saya, bila tidak bisa saya kulakan dulu tanya ke dosen dan ku jelaskan padamu, cieeh.. tentunya saya juga mempunyai pengetahuan baru dengan bekerja sama bersama-teman-teman selama ini.

:)

semoga diskusi selama ini, dapat menjadi bekal, dan berguna bagi kelanjutan studi kalian guys!
selamat kuliah, menggarap tugas besar, dan sukses selalu untuk kuliahnya!
..
pesan saya, gak usah kuliah lama-lama, cari cara cepet dalam menyerap ilmu dan segera keluar dari kampus, dan segera mendapatkan penalaman kerja secara profesional.

dan dunia baru pekerjaan hari ini saya arungi.
sukses juga buat saya ^_^

Salam!