Selasa, 08 Mei 2018

Surga dan ruang publik kota.

*) disclaimer: tulisan ini tanpa adanya ilustrasi, ataupun foto seperti tulisan yang lainnya.
..
Selamat pagi, dua hari ini saya bisa bangun pagi, jam setengah tujuh pagi, maka dari itu perlu saya me-reward diri sendiri. Salah satu reward bagi diri saya adalah meluangkan waktu untuk menulis.

Kali ini saya menulis tentang Jogja. Banyak yang bilang Jogja itu ngangenin, tapi itu bagi yang hanya sempat tinggal di jogja beberapa lama, tapi bagi saya, kadang Jogja itu anugerah, kadang menyebalkan.

Tinggal di jogja itu anugerah, dan menurut Tristan, seorang urban designer dari Prancis, Jogja itu kota impian bagi urban planner, karena hanya dengan 15 menit dari pusat kota, bisa menggunakan kereta api mencapai bandara. Kita bisa parkir di stasiun, bahkan tak perlu parkir, cukup menggunakan transportasi publik ke stasiun kereta untuk mencapai bandara. Menyebalkannya ialah, seharusnya kereta dari pusat kota ke bandara ada tiap 15 menit sekali, bukannya 1 jam sekali. Terlalu lama, kata pak prof Tristan.

Ok, karena saya juga jarang ke bandara dan lebih sering bersepeda (motor) keliling kota, ada dua hal selalu jadi daya tarik saya di kota Yojo ini keika keliling-keliling kota.  Bagaikan lagu anak jaman dulu yang begitu istimewa, saya pergi ke jantung kota jogja hanya untuk melihat keramaian yang ada.

Material, pejalan kaki dan Ranmor.
Setelah jogja mendapatkan dana keistimewaan, salah satu hal istimewa yang dilakukan adalah mempercantik citra kota, dengan mengganti perkerasan di simpang 0km jogja (0km suatu kota patokannya adalah kantorpos induk kota-banyak yang salah sangka karena 0km jogja di situ karena depan kraton) dan perkerasan jalan di simpang Tugu pal putih Jogja.

Perkerasan yang dipasangkan di persimpangan tersebut adalah batu, bukan aspal. Sehingga terlihat lebih hangat atmosfir yang disajikan oleh kota ini. Ketika sekian banyak persen wisatawan domestik di jogja adalah pelajar-mahasiswa yang dari luar jogja, maka menikmati jogja adalah hal yang wajib. Mereka mengunjungi titik panas kota untuk menongkrong, selain menongkrong, hal jaman now yang lakukan ketika wisata adalah menduplikasi citranya dengan kamera di ponselnya (bukan ha-pe).

Terjadilah silang kepentingan antara wisatawan domestik yang berjalan meyebrang di persimpangan dengan kendaraan bermotor. Di simpang tugu jogja, akan sangat tidak harmonis terdengar suara klakson secara periodik menyalak para pejalan kaki yang me-nengah mendekat ke tugu jogja untuk berfoto dengan ikon kota jogja tersebut. Menganggap jalan raya juga persimpangan adalah hak kendaraan bermotor, maka bahasa simbol adalah dengan klakson menyuruh minggir para pejalan kaki. Bukankah itu bentuk arogansi para pengendara kendaraan bermotor yang tergesa-gesa kebelet?

Bahkan ketika ada petugas pengaman disana, juga menyarankan dan mengingatkan para pemburu swafoto untuk minggir mengalah di simpang tersebut. Alhasil, menurut saya, simpang tugu tersebut jadi tidak terlalu hidup, dan pasti akan keren bila buanyak manusia berkumpul di tengah untuk mengapresiasi kota ini, bukannya disarankan minggir untuk mengalah.

Alasan saya sangat personal, tapi apakah bagi pemerintah mengganti perkerasan di simpang tersebut tidak mempunyai alasan khusus? Meskipun iya, tanpa alasan khusus yang lebih memanusiakan pejalan kaki, apakah para penguna jalan raya tidak sampainya berpikir untuk memelankan kendaraaannya? Itu tidak aspal lagi lho...! ngebut disitu juga gak enak, gemronjal. Apakah pemahaman ini tidak ada? Ataukah karena aspal di jogja juga sama gemronjalnya dengan jalan perkerasan batu tersebut. Apakah perlu diberi polisi tidur supaya mempertegas kawasan ini adalah kawasan publik dimana orang perlu dan dengan senang hati mengapresiasi kota ini.

Bagi saya, sekadar berswafoto di kota jogja ini, dimanapun, maka kota ini sudah ter-apresiasi oleh seseorang yang melakukannya.

Ruang publik, ruang nongkrong.
Tak jarang nongkrong menghasilkan ide briliant untuk berkarya. Hanya saja, tak semua orang mempunyai budget yang selo untuk menyewa tempat nongrong yang berkopi mewah. Banyak juga yang hanya butuh lokasi nongkrong yang free smoking. Ada kopi maupun tidak.

Nol kilometer jogja, edisi sebelum tampilan sekarang (8 mei 2018) banyak pot tanaman, hijau memang, tapi sedikit ruang bisa dipakai untuk menongkrong. Kini, teman-teman bisa lebih banyak pilihan ruang nongkrong (lesehan tentunya) di nol km Jogja. Bila dirasa penuh, dan mahal parkirnya, bisa pindah ke selatan dikit, di alun-alun utara kota jogja. Parkirnya di pinggir jalan, ilegal memang, tapi sepertinya tidak apa bila sudah malam. Cek saja bila malam minggu tiba.

Banyak manusia bisa ditampung berarti lebih banyak manusia yang akan mengapresiasi. Begitu di nol kilometer kota jogja. Tentu dengan persimpangan bermaterial perkerasan batu. Menambah epic-suasana di sini.

Di cerahnya malam dan terangnya lampu penerangan kota, nol kilometer jogja merupakan bukti bahwa kota jogja akan lebih banyak membutuhkan titik-titik ruang publik lain untuk bisa diolah dan di apresiasi. Pendidikan terus memperbanyak kampus, demi menampung banyak lagi siswa, akan ada banyak lagi siswa datang ke kota jogja. Tak luput untuk menongkrong.

Bisa dipastikan nongkrong adalah salah satu kebutuhan, biar tidak dikira kurang piknik (stres kerjaan). Ruang publik di kota salah satu fasilitas jawabannya. Maka, siapapun desainer atau yang bersedia menyisihkan tanah untuk dipakai dan diapresiasi menjadi ruang publik dipakai banyak orang untuk nongkrong secara murah meriah, maka dialah yang empunya sorga. Sekian ribu manusia akan bisa mendapatkan ketentraman di ruang publik, setiap hari, ataupun minggunya. Jadi bila ingin lancar masuk surga, bertemanlah dengan urban desainer, hihihi...

-- ... ---
Apalagi sebentar lagi bulan puasa, sembari menunggu buka, pasti akan ada banyak acara dan kegiatan di ruang publik. Bertambah pula pahala bagi para penyedia ruang publik yang dapat diakses siapapun di suatu kota.

Selamat pagi.