Selasa, 17 Oktober 2017

Bike Camp - Compi Jejal

Sabtu, 14 Oktober 2017
Hari yang ditunggu telah tiba, saatnya hari untuk bike-camping bersama dengan kompi Jejal; Komunitas pit penjelajah Jalanan. Bagi kompijejal, bike camp adalah agenda periodik. Bukan perkara setiap berapa bulan sekali, tapi setiap mayoritas anggota selo, maka diadakanlah aktivitas ini. Tak menutup keikutsertaan hanya anggota saja, bagi siapapun yang ingin ikut dipersilakan yang penting gayeng.

Meskipun janjian berangkat Sabtu sore, saya baru melakukan persiapan perlengkapan Sabtu siangnya. Tenda, makanan, air minum, sarung, sleeping bag dan perlengkapan lain sudah siap, saatnya  pannier dipasang dan menunggu keberangkatan. Saya berangkat bersama Elisa yang mampir untuk repacking perbekalan di rumah. Rombongan kompijejal berangkat jam 15.00 kami berangkat jam 17.00 kaerna menghampiri Kholis dahulu, di daerah Tembi, sepulang dia kerja. Sekitar magrib 17.45 kami tiba di rumah Kholis dan bertiga melanjutkan perjalanan menuju selatan, sesuai pesan singkat di WA, Pantai Goa Cemara masuk, perempatan kecil kebarat, penangkaran penyu kebarat sekitar 50m lalu keutara. Disitulah teman-teman yang dahulu datang mendirikan tenda.

Perjalanan keselatan dipercepat karena tipikal jalanan di DIY kalau keselatan berarti turunan meski sangat landai, dengan kayuhan biasa dapat mencapai 25kmph. Istirahat sebentar di sekitar Sanden, sekalian Kholis membeli air mineral 1.5 literan dan mengunyah eskrim-nya. Perjalanan menyelatan disambut dengan gelapnya jalan karena minim penerangan setelah memasuki gerbang retribusi pantai yang sudah tidak dijaga. Disambut pertigaan jalur selatan arah samas, kami berbelok ke barat, menyusur jalan yang sunyi dan gelap. Semak dan bangunan yang dilewati menampakkan kesan seramnya, membuat kesan sedikit horor. Sampai di simpang pantai Goa Cemara, kami masuk dan ternyata disitu ramai acara. Kami menuju kebarat, semakin terasa aura horornya. Jalan selebar dua meter dengan semak tinggi di kanan kiri. Melewati bangunan penangkaran penyu terlihat sepi tapi ada lampu menyala. Bagaikan di film horor. Aduh, aku gondrong tapi ya takut kaya ginian.

Maju dari penangkaran penyu dengan sinyal seadanya, mengabari kawan di WA bahwa kami sudah sampai bangunan penangkaran penyu. Sebentar berhenti di persimpangan menunggu balasan, dan akhirnya dua teman memberi sinyal dengan senternya, menjemput hingga tepi jalan. Langsung kami ikuti dua teman tersebut, dan ternyata menuju lokasi pendirian tenda perlu mendorong sepeda di pasir-pasir. Untunglah tidak terlalu jauh dan pasir mengeras terbasahi air hujan sore tadi. Tak lama kami sampai lokasi kemah.

Di lokasi, teman-teman lain sudah menyalakan arang yang dibawa dengan ceret diatasnya. Datang dan menurunkan barang bawaan kami, dan menyapa mereka. Bongkar-bongkar barang, dan mendirikan tenda, serta mengatur ulang tenda yang sudah didirikan supaya membentuk ruangan asik mengelilingi arang unggun.

Saya meras kedinginan tapi beberapa teman merasa sumuk, jadilah saya sarungan dan mereka ngligo. Meneguk secangkir goodday dan saya mapan bobok. Teman lain masih ngobrol hiingga subuh. Saya setengah sepuluh malam sudah mendengkur, sekitar jam 10.30 gerimis datang, menyiagakan aku yang setengah tertidur, mengecek kalau ada yang bocor, dan hanya menggeser terpal alas tidurku saja. Gerimis selesai, akupun tidur lagi. malam hari ku dengar suara cewek teriak, dan terbangun sesaat, ternyata hujan, tak kuasa ngantuk, ku tidur lagi.

Jadi judulnya Cuma pindah tidur. Paginya langsung menghangatkan badan dengan secangkir sekoteng. Menikmati pagi diatas pasir sebelum bongkar tenda. Fly sheet 15ribuan perhari ternyata berguna, dengan bentang 3x4 meter hampir menutupi dua tenda sekaligus. Pagi yang cerah ini diakhiri dengan berkemas dan menuntun sepeda kembali ke jalur aspal untuk dikendarai pulang.

Pulang lewat jalur selatan, begitu cerah ramai, tidak mencekam samasekali. Ternyata di timur goa Cemara itulah kebun bunga matahari yang lagi hits. Kami lewat saja, sekilas bertemu dengan mas Noel yang saya pernah sepedaan se rombongan 4 orang dengannya ke Bromo. Mas Noel dan pacarnya ingin mengunjungi kebun Bunga tersebut, dan kami melanjutkan perjalanan. Sebentar kami mampir di penjual Semangka, Kang Sabar dan Kholis beli semangka yang tulisannya 5ribu tapi semangka yang 5 ribuan habis, hahaha..

Perjalanan pulang sementara singgah di warung soto, mengisi bahan bakar, dan dilanjut ke rumah kang Sabar, makan semangkanya dan dapat oleh-oleh Sukun. Usai hujan saya dan teman lain pamitan, pulang. Sebelum sore sudah sampai rumah. Sudah termasuk mengembalikan fly sheet di Sapen bonus cerita menarik dari yang menyewakan.

Tak lupa sebelum istirahat sepeda dicuci dan perlengkapan di un-load. Sepeda dicuci supaya tidak mudah karat pada material yang terbuat dari besi, karena semalaman terpapar angin pantai.

Begitulah kisah kali ini. salam!

Minggu, 01 Oktober 2017

Puncak Gebang

 Alternatif tempat bercengkrama

Pemandangan ke arah barat, dengan hamparan sawah di bawah.
Suatu hari di akhir tahun 2016, ketika menikmati malam sambil scrolling layar ponsel, berharap ada barang murah di forum jual beli sepeda. Bertemu dengan postingan komunitas sepeda baru di DIY, Mataram Riders, yang mempunyai basecamp di Plered, Bantul. Meliihat postingan di FJB tersebut, saya jadi tertarik bergabung, juga rute-rute bersepeda mereka menantang. Saya komentari untuk mendapatkan kontak pesepeda yang memposting, dan berlanjutlah di minggu selanjutnya, hari selasa saya bergabung bersepeda bersama komunitas ini.

Trek yang saya lalui bersama komunitas sepeda ini dari Plered arah Segoroyoso menuju tanjakan legendaris; cino mati. Namun sebelum tanjakan cinomati kami berbelok ke kiri, arah depokan dan muter-muter nanjak, akhrinya perjalanan berhenti di sebuah tebing, yang syahdu untuk menatap kepergian sang surya ketika sore hari. Itulah puncak Gebang.

Bukan candi Gebang yang ada di utara UPN, tapi ini puncak Gebang di Bawuran, Bantul. Bila dari kota tugu Jogja bisa kita tempuh hanya dengan menggelinding sejauh 15km saja ke arah tenggara. Bila dari ringroad janti untuk menuju tempat ini, anda harus ke selatan hingga dua persimpangan, nah di persimpanan kedua ini (kalau ke kanan/barat arah kotagede) belok ke timur/kiri, mengikuti jalan, ada petigaan ambil kanan, ikuti terus sampai mentok daerah Segoroyoso, jalan berbelok kekiri, ikuti hingga ada pertigaan, ambil kiri. Setelah itu patokannya jalan utama berkelok ke kanan, dan dikiri ada jalan masuk kampung, nah di simpang Y tersebut, ada gang yang sedikit ngumpet di kanan/timur jalan. Gang-nya mimikri dengan bangunan di kanan-kirinya.  Oh, ya di simpang Y tersebut patokannya ada kandang sapinya. Nah bila ketemu gang ke arah timur tersebut, masuk dan ikuti. Hanya melewati dua rumah dan hamparan sawah terbentang bagai ucapan selamat datang menuju puncak Gebang. Ikuti jalan hingga menanjak dan nikmati hingga sampailah di puncak Gebang.


Sore
suasana sore ketika musim kering
Waktu yang menurut saya terbaik menikmati tempat ini adalah sore hari. Karena tempat ini menyediakan pandangan yang leluasa, hampir tanpa hambatan untuk menikmati sinar matahari sore dan proses tenggelamnya. Bila musim panas pemandangan syahdu dengan pepohonan setengah keringnya, bila musim basah, akan lebih bernuansa refreshing, ijo-ijo daun pepohonan. Ditambah bila sawah terbentang dibawah sedang hijau. Komposisi pemandangan sawah di bawah dan batuan di tebing,  sawah yang terlihat di bawah bagaikan  karpet tergelar empuk enak untuk gulung-gulung. Pemandangan-pemandangan ini membuat rileks mata juga pikiran yang bekerja keras ketika beraktifitas seharian. Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta berinteraksi dengan sesama. sumber 

Tak perlu khawatir juga bila datang tak membawa bekal, karena ada beberapa penjual dengan warung bambunya. Yang hampir selalu penuh pesanan minuman ketika lokasi ramai pengunjung. Menikmati sore sembari meneguk sedikit-demi sedikit teh hangat atau kopi ditemani gorengan merupakan makanan rohani bagi ketentraman jiwa. Duduk-duduk di bebatuan alami atau di bangku dari kayu, silakan dipilih, atau kalau ingin lesehan bisa meminjam tikar pada warung.
Bila beruntung dapat menikmati suguhan dari sang Ilahi

Kini, pengunjung lebih bervariatif, dari keluarga dengan anaknya yang menikmati sore secara murahmeriah dan mendapatkan pemandangan alam ala resort, pemuda-pemudi yang merajut kenangan, pemuda yang pengen nongkrong saja, hingga pesepeda yang membutuhkan pemandangan asik diatas bukit yang tak terlampau sadis tanjakannya.

Kadang matahari sudah meninggalkan kami terlampau cepat karena ada mendung atau awan pekat di sisi barat, tapi itu tak mengurangi indahnya matahari terbenam, meski hanya terbenam di balik awan.


Jarak-Waktu-Kualitas
Dengan jarak 10-15km dari kota Jogja, lokasi ini tidak terlampau jauh. Juga bila dicapai dengan moda sepeda. Bila dengan sepeda, saya sarankan dari kota berangkat jam 15 atau 15.30 supaya sampai  di puncak Gebang masih mendapat waktu cukup untuk istirahat dan menikmati tenggelamnya matahari.
Cari saja puncak gebang di googlemap bila ingin kesini.
Jarak yang relatif sama, bisa sampai bukit bintang, ataupun candi Abang. Meski di buit bintang pemandangan yang disajikan lebih aduhay, namun nuansa disana sudah sangat komersil. Kita datang untuk bertransaksi. Bangunan-bangunan warung yang sengaja dibuat supaya kita harus membayar untuk menikmati pemandangan. Berbeda dengan di puncak gebang, menuju kesana sudah disajikan pengalaman ruang melewati jalanan yang masih banyak sawahnya, sampai di puncak gebang, kita bisa leluasa memandang pemandangan hampir tanpa halangan. Warung di lokasi ini berada di timur pemandangan. Belum bila datang dengan sepeda, dan diatas bertemu dengan sesama pesepeda, cerita ngalor ngidul dan teman baru didapat.
 
Masyarakat sekitar lokasi mempercantik, yang dari jauh mengapresiasi
sruput teh anget dan cuci mata.

Lokasi puncak gebang ini konon merupakan tanah pribadi, bukan aset desa. Diluar masalah kepemilikan, dan lokasi yang strategis, adanya tempat ini meberikan dampak positif bagi masyarakat. Memberikan sarana wisata murah-meriah dan yang paling penting menurut saya, lahan puncak gebang ini menjadi ruang publik yang semakin langka dan jarang direncanakan secara baik oleh pemerintah. Kecenderungan pemikiran selama ini ruang publik hanya pemborosan lahan, karena berarti lahan tidak terbangun = tidak menguntungkan. Tapi tidak bagi pandangan saya, ruang publik dibutuhkan meski tidak profit, tapi ada benefit bagi banyak orang. Bahkan menurut pak presiden, "Membangun ruang publik yang berkualitas sama saja dengan membangun manusia yang berkualitas" sumber.
Setiap hari mempunyai senjanya sendiri.

Semoga puncak gebang tetap menjadi wisata yang bersifat alternatif, dan tidak menuju komersil. Dan semoga yang punya lahan di puncak gebang diberikan pahala yang begitu besar, karena memberikan kebahagiaan rohani bagi tiap pengunjung yang menikmati nuansa di lokasi tersebut.

jangan ditiru bila sepeda berat.
Jadi, kapan kita mulai meningkatkan kualitas hidup kita dengan mengapresiasi ruang publik yang ada?

tak lupa mengabadikan sang senja


narsis dulu