Jumat, 05 Juli 2019

Kepet


Pagi ini saya berangkat merji, nomer siji ke kantor, sampai kantor jam 8.50. Merji karena Leader saya lagi kondangan di kampung halamannya, ia biasanya sih jam 8.00 udah standby di kantor. Karena merji maka bisa ngetik ini, hehe..

Baru teringat kemarin, di perjalanan dekat pantai Glagah. Sebuah pertanyaanku jaman cilik. Jaman cilik ketika melihat truk iring-iringan. Dengan berbagai jenis warna bak dan motif truk, perhatian saya mengarah pada sesuatu yang bergoyang di dekat ban belakang truk. Warna hitam, ujung bawahnya bergerigi, kadang ada yang tercetak merek kendaraannya. Waktu itu gak eruh kui opo. Bertanyalah saya,

“Pak, opo to kui?”
Tak menjawab pertanyaan tapi menyodorkan pernyataan.
“kui luih larang mbangane trek-e”

Merasa gak nyambung, pertanyaan gak tak teruskan dengan berbagai kebingungan sampai waktu yang tidak ditentukan.

--- --- ---

Di lain zaman, ketika mengobrol soal kendaraan roda dua dengan mbakyuku, bukan byuku kura khas Sumatera, terlemparlah pembicaraan mengenai spakbor belakang kendaraan roda dua (selanjutnya disebut motor saja) yang model baru. Spakbor model baru saat itu lebih menyasar kesan sporty, lebih njengatzz dan tidak terlalu panjang.

Terlontarlah kata-kata yang tak tercatat di daun lontar maupun melinjo bahwa spakbor dengan desain tersebut melindungi penggunanya dari cipratan tapi tidak untuk pengendara di belakangnya kalau hujan. Dari situ kemudian setelah sekian zaman…

(jeda)

… juga, saya mencermati desain vespa yang khas dan biasanya orang yang punya vespa (nek niat) memasang dengan kepet-nya. Lah ini vespa kan spakbor belakangnya udah rendah (kurang lebih sampai menutup sampai separuh tinggi ban) ditambah kepet pula. Kurang apikan apa cobak! Desain spakbor yang sudah rendah mengurangi cipratan ke pengendara dibelakang, tambah lagi kasih kepet kadang sampe kangsrah. Aman deh kalau berkendara di belakang vespa, tidak perlu takut gak sengaja nelen cipratan ban motor depan, huehehehe.

Nah dari itu…

Muncul hipotesa, jangan-jangan demi trend ‘sporty’ (keliatan keren, desain keren) orang lupa pada orang lain. Bahwa nek hujan kecipratan ban mburi motormu ki ra kepenak. Ketika digeneralisir, tak hanya tren itu, banyak demi kelihatan keren mengesampingkan fungsi lebih, tak perlu contoh lah ya.

Sebagai bahan perbandingan, mobil jaman now, (yang luaris) meski ada builtin kepet tapi tep juga, tak se mantep kalau ada kepet tambahan. Coba saja di belakang mobil saat hujan.

----  --- ---

Dan setelah sekian purnama, saya simpulkan dan refleksikan, pertanyaan saya ke bapak saya, tentang kepet itu, dan mendapatkan jawaban yang uaneh. Bahwa kepet itu lebih mahal dari truknya karena dengan adanya kepet itu kita peduli pada orang lain, minimal pengendara di belakang kita. Bahwa kepedulian pada orang lain itulah yang mahal harganya. Lebih mahal dari harga truk tersebut.

J



Minggu, 21 April 2019

Masih dalam minggu kramat Paskah




Lagi berselancar di peramban Opera, peramban satu-satunya yang bisa diinstal di komputer ini sambil mendengarkan streaming diatas kok, tiba pada menit ke 11 terdapat dialog demikian;

“kula wani merga ana jalarane”
“jalarane apa”
“jalarane merga mbelani Bapak, Bapak niku pengen mbangun khayangan, mbangun morale, kawula sak negara amarto supaya uripe tan ra beda kaya teng khayangan”

Kok, dipikir-pikir pas yak. Ketika kita mengenang Yesus yang hidup seutuhnya untuk sesame dan mengajarkan cara hidup yang penuh kasih, ialah Yesus yang mengajarkan kita untuk merombak moral kita. Dia memberikan Operating System (OS) baru bagi kita, dengan hokum kasih-nya, sehingga dengan OS baru itu kita dapat mendapatkan kehidupan baru yang penuh kasih.

Hidup penuh kasih yang dimaksud pastilah hidup sesuai dengan keadaan sorgawi, (khayangan) hal ini mengingatkan pada doa yang diajarkan Yesus;

Bapa Kami yang ada di sorga,
Dimuliakanlah namamu,
Datanglah kerajaanmu
Di bumi seperti di sorga

…dst.

dialog antara Petruk dengan Antasena
menyajikan dialog keintiman hubungan Petruk dengan Bapaknya
seperti keintiman hubungan spiritual Yesus dengan Bapa-Nya


Menarik bukan kedekatan antara budaya Jawa dengan ajaran Kekristenan?
Terdapat hal yang sama bahkan dalam ranah esensi-nya.

Datanglah kerajaanmu, supaya uripe tan ra beda kaya teng khayangan.

Dan ketika Yesus mati, terbelah bait Allah, sesuai perkataaanya, akan ku bongkar dan ku bangun dalam tiga hari. Di saat itu memang, dengan keajaiban yang luar biasa, sang terpilih Yesus dapat merombak moral dan mental jemaat saat itu.

Lalu kita sekarang, telah menerima berbagai contoh dan ajaran Yesus bahkan dalam bentuk laku, yang harus juga kita lakukan supaya kita dapat menginstall OS kasih yang baru tersebut dalam kehidupan kita.

Selamat Paskah sekalilagi, selamat bangkit dari pemahaman lawas yang hanya di angetin tiap minggu sebagai kotbah mingguan.

Minggu Paskah 2019


Minggu ini minggu keramat bagi umat Kristen baik Kristen Katholik maupun Kristen Protestan dan aliran kristen yang lain. Di minggu yang keramat ini aku pergi ke 2 (dua) gereja yang berbeda, namun persamaannya adalah aku duduk di luar bangunan gereja karena jemaatnya yang overdosis.

Nah disinipun bisa dilihat dari 2 kacamata, gerejanya kebanyakan jemaat atau gerejanya kurang besar. Pasti gereja kaga mau kehilangan jemaat, rugi bandar dong upetinya (baca: persembahan) berkurang pasti bila ada suara demikian akan dibilangnya bangunan gerejanya yang udah kekecilan.
Tapi skip dulu lah itu bisa jadi tulisan tersendiri.
..
Jadi pertama, aku nggreja di GKJ Gondokusuman, kebagian duduk di luar, di halaman yang digunakan sebagai parkiran motor kalau ibadah reguler. Di sana diberi tenda, dan kursi seminar ditata apik ala seminar juga, menghadap lurus kedepan. Dengan pencahayaan lampu cool day light ditengah depan disajikan layar dengan sumber gambar dari proyektor. Di depan pojok kanan ada meja tempat roti dan anggur untuk perjamuan malam memperingati perjamuan terakhir Yesus. Ok, ada masalah?

Mari dibandingkan,

Pada ibadah kedua, ibadah sabtu malam, Sabtu Sunyi, malam reflektif bagi penganutnya. Saya beribadah di GKJ Wonocatur. Di gereja ini juga aku kebagian di luar bangunan gereja, di tenda, sisi barat gereja (karena emang perluasan lebih memungkinkan ke arah barat). Bangunan gereja ini desain awalnya mimbar berada di sisi selatan, lalu tembok sisi barat di jebol diganti pintu lipat sehingga panggung bisa diletakkan di ujung timur dan perluasan bagi jemaat kearah barat. Ada layar tivi namun saat itu sedang tidak digunakan. Tempat duduk mengarah ke panggung lurus kedepan, namun di batas luar dan dalam bangunan gereja terdapat tiang yang berpotensi menghalangi visual kedalam. Ok, ada masalah?

Kemenerusan Visual (Pandangan)

Di kedua tempat saya beribadah, terdapat sedikit perbedaan, di tempat pertama tidak ada kemenerusan visual langsung ke arah pengkhotbah, karena tempat duduk tidak menghadap ke arah penghkhotbah, kedua ada potensi kemenerusan visual ke arah pengkhotbah tapi ada halang rintang. Lalu apa pentingnya kemenerusan visual?

Kemenerusan visual dalam beribadah menurut saya mutlak perlu, karena kita mengarahkan hati kita dalam beribadah. Dengan demikian kita perlu konsentrasi pada sesuatu yang riil, real, nyata, maka kita membutuhkan simbol. Bagi jemaat yang ada di dalam gedung pastinya akan lebih mudah mengarahkan hati dalam beribadah karena nuansa sudah terbangun, juga mempunyai visual yang jelas, kearah mimbar, dan disana diperjelas lagi, dengan mimbar include pendeta berdiri disana plus simbol Salib raksasa (biasanya) tambah lagi Quote yang terpampang raksasa. Jemaat dengan mudah mengarahkan hati, sangat terarah, kedepan, pasti yaqueen. Lalu bagaimana dengan yang diluar bangunan gereja?

gedung GKJ Gondokusuman yang minim, kemenerusan visual bagi jemaat diluar gedung gereja.
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Keterbatasan kapasitas bangunan gereja menurut pandangan pribadi saya, adalah batas jumlah jemaat juga, karena diluar bangunan gereja sangat sedikit yang direncanakan utuk menjaga kekhusukan dan membatu jemaat mengarahkan hati dalam beribadah. Kalau sudah mbludak yasudah bikin pepanthan. Di pontho, di bagi daerah pelayanan ibadahnya. Tapi konon katanya membikin bangunan gereja baru kan sulit, yasudah dong ah, di ruat jemaat yang ada di luar gedung gereja.

Pelayanan bagi jemaat diluar gedung gereja saat ibadah difasilitasi dengan layar proyektor, layar teve dan soundsystem yang handal. Sangat memuaskan karena tak sedikit uang jemaat ataupun persembahan yang diberikan pada gereja untuk menjadi fasilitas ini. Hal ini membuat kita bisa melihat lintas ruang via penayangan di proyektor maupun teve. Nah, secara visual sudah terjadi kemenerusan yang diteruskan oleh teknologi. Bagus menurut saya. Kini perlu juga dipikirkan pengarahan hati pada jemaat dengan kemenerusan visual oleh teknologi tersebut. Mengarah ke urusan hati, ini perlu nuansa. Ibarat mau nembak cewek ya kita ajak di candle light dinner yang romantis dan aduhay.

Nuansa

“ marilah mengarahkan hatii…. Kepada Tuhan….”

Ketika beribadah di gereja Katholik, pasti ada deh nyanyian tersebut yang dibalas oleh jemaat

“sudah, kami arahkan”

(semoga kaga salah)

Nah! Hal yang mengasyikan di gereja katholik, nuansa sakral tiap ekaristi dapat tercapai, dengan adanya perlakuan yang berkenaan pada indra kita, suara, ritme, aroma dan gerakan. Tak dapat dipungkiri, aksi olah tubuh juga mempengaruhi kita untuk mencapai tingkat mengarahkan hati kepada Tuhan. Hal ini yang saya pikir sangat kurang di GKJ, pol-polan duduk, berdiri, (kadang) salaman. Oke, itu bisa masuk hitungan. Tapi dalam hal ini aku mau bicara tentang ruang.

Alternatif memunculkan titik fokus dengan altar, tak hanya sajian audio visual.
Kelemahan: lokasi proyektor di tengah mengganggu pemandangan
Kelebihan: fokus disatukan di tengah layar + altar

alternatif pemunculan fokus pada ruang-ruang ibadah diluar gedung gereja
Kelemahan: layar tidak di tengah
Kelebihan: minim terganggu oleh peletakan mesin proyektor


Nuansa ruang yang tercipta, mempengaruhi pengalaman jemaat beribadah. Di dalam gedung gerja vs diluar gedung gereja. Menghadap pada pengkhotbah dan menghadap layar teve. Apa bedanya kita lihat siaran langsung pendeta yang tiap minggu khotbah di teve? Kita bisa sambil leha-leha. Ah ya itu lah… kita perlu fokus! Jadi, apakah siaran langsung ibadah dengan projektor dan atau teve tersebut memfokuskan atau malah membuyarkan? Ya kalau saya, tergantung ukuran, peletakan, aksesori yang melingkupinya.

Teve, di dalam box logam, nyala. Kita lihat ke teve, tapi harus khusyuk kepada Tuhan. Kalau saya kok sulit ya. Atau dengan layar 2x2m yang mantap dengan jarak lihat paling dekat 3 meter, belum lagi yang kebagian duduk di belakang mesin proyektornya harus berjibaku menahan kehangatan hembusan udara exhaust projektor menerpa wajah, okelah,  meski mereka diluar, kita perhatikan juga lah nuansa beribadah bagi mereka jangan hanya sekadar ada tempat untuk turut di waktu yang sama beribadah. Tak hanya waktu, tapi ruang yang sama menghantar pada tiap ibadah dan doa khusyuk kita. Nah kalau gegara gereja tak menyediakan ruang beribadah yang nyaman lantas panyuwunan kaga sampai di Tuhan, emang gereja mau tanggung jawab? Lha itu kan tergantung individu, bla bla bla.. pasti ada lah.. mari lanjut..

Bolehlah sepengalaman saya beribadah, dalam ruang yang berbeda dalam waktu yang sama, mempunyai ide untuk menghasilkan kekhusyukan yang mendekati sama dengan yang berada di dalam gedung gereja. Yak, sekali lagi Fokus. Di dalam punya altar, boleh lah ada altar kecil di tiap ruang di luar yang digunakan untuk beribadah. Misal di sisi tertentu gereja diluar bangunan, di depan layar atau teve ada altar kecil. Dilengkapi juga dengan hiasan bunga, dan mungkin lilin besar mendampingi tivi sehingga memperkaya pengalaman visual dan rasa bagi jemaat. Hiasan bunga janganlah Cuma di mimbar saja, di distribusikan ke tiap-tiap titik fokus visual jemaat yang minim mempunyai jalur pandangan ke dalam gedung gereja. Bantulah mereka juga untuk fokus.

Waktu beribadah di GKJ Gondokusuman, saat perjamuan suci, meja perjamuan ada di samping depan, ya, itu sebagai fokus kita beribadah pada malam itu, kenapa kagak di taruh secara frontal di depan, di bawah layar penampil gambar, sebagai fokus ibadah malam itu bahwa ini memperingati perjamuan terakhir seorang yang sangat kita kagumi dan hormati bahkan sembah, memperingati semua laku hidupnya dalam perjamuan ini. Atau yang terpikir malah terbalik? Layar projektor butuh gede, nanti perangkat perjamuan bisa mengganggu tampilan layar? Yasudahlah kecilkan juga bisa kan tampilan layarnya.

diagram ruang di GKJ wonocatur, lebih terdapat akses visual masuk ke dalam bangunan gereja

Masih menyoal, perjamuan makan malam, kalau malam, sangat asik pastinya bermain cahaya. Jangan lah diluar pakai tipe cooldaylight, nuansanya seger, kaga syahdu. Pakailah lampu yang warm, ala-ala candle light dinner, bahkan bila ada altar mini dengan seperangkat alat perjamuan terakhir, kita kasih spot light. Jadilah kita punya fokus, dalam beribadah meski diluar gedung gereja! Bahkan kalau projektor mengganggu kasih aja di samping projektornya, di depan sisi kanan atau kiri, meminimalisir sentoran angin hangat dan mengurangi fokus. Masa yang belakang lihat bokong projektor? Kalau projektor di samping, yang belakang pun, bisa fokus pada altar kecil yang di sediakan.

Sama halnya bila itu di GKJ Wonocatur, meski hanya terdpat tiang di antara bangunan gereja dan para jemaat diluar gedung gereja, secara ruang, itu adalah ruang yang berbeda. Sekalian saja secara tegas dibedakan, berbeda ruang tapi satu waktu, tapi ruang itu sama-sama menghantar kepada-Nya yang dihantarkan oleh Pendeta. Berilah masing-masing teve sedikit hiasan, yang cantik, mungkin lilin besar, kan awet juga. Bunga-bunga. Sehingga jemaat bisa terfokus pada simbol-simbol yang tidak secara langsung menghubungkan dengan altar utama.

Bangunan

Bila nogmongin, tentang bangunan, sebenernya gampang kok, di Jawa ada model bangunan yang dapat mengakomodasi hal-hal diatas, keterputusan koneksi visual, dan mbludaknya jemaat. Yak, Pendopo.. yang terdiri hanya atap, tiang dan umpak. Dari seluruh penjuru pendopo dapat melihat altar pasti. Tapi Ya queen lah, pasti nanti akan heboh di perkara keamanan. Nanti inilah itulah takut hilang, anunya, eh, perlatan soundsystemnya, gamelannya, gendernya, drum-nya. Ya berarti harusnya gereja ngopeni berbagai macam ruang yang terbentuk ketika mbludak dong ya?

Meskipun gereja adalah tempat ibadah, namun ia tak serta merta tempat ziarah. Bayangkan, ada pemuda yang sudah booking restoran meski gak terlalu mahal, tapi lokasinya ciamik, order paket romantis, berniat menembak sang calon pacar, eh, ternyata ditolak. Bayangkan juga ada seorang yang terlilit hutang kredit ponsel, esok hari harus mbayar, padahal gajian baru turun 3 hari lagi karena suatu hal. Dan seorang ibu yang bahagia karena alasan apapun itu, dan ingin mengucap syukur di hari itu juga, kebetulan itu hari selasa. Apakah mereka dapat dengan mudah masuk ke dalam gereja dan mungkin sujud di depan mimbar, dan berdoa mengungkapkan perasaaanya saat itu secara pribadi pada Tuhan?

Gereja sebagai bangunan eksklusif sangat mudah dijumpai. Yang hanya terbuka bagi pengunjung tertentu di jam tertentu. Di jam tertentu oke lah, tapi pengunjung tertentu membatasi juga, misal, ada acara persekutuan, kan harus yang mau ikut persekutuan yang bisa akses. Lalu bangunan gereja seperti apa yang bisa membungkus kebutuhan keduanya dan bahkan mentradisikan kegereja untuk beribadah pribadi gak hanya hari tertentu saja?

“bangunan gereja sekarang harus didesain mengadaptasi teknologi, bisa pakai projektor tanpa layar, penempatan video terintegrasi, soundsytem dolby digital surround sound apik, kipas bahakan AC terpadu” teknologi kini mengarahkan manusia beribadah, sehingga bisa juga ditilik dari pandangan lian bahwa ibadah kita di dikte oleh teknologi, dengan begitu ibadah kita off ketika teknologinya juga off. Karena ketika teknologinya off harus dikunci rapat.

Contoh gereja Ganjuran dengan model pendopo yang dapat melanjutkan fokus visual jemaat
 ke dalam bangunan gereja bagi jemaat diluar gedung gereja
Sumber: https://rocetta.wordpress.com/2017/06/11/sejarah-gereja-ganjuran/

Kita punya warisan bentuk bangunan pendhopo, baiklah kita berawal merencanakan rumah ibadah dari bangunan tersebut. Kita buka apa yang menjadi hak akses jemaat beribadah, kita batasi akses bahkan kunci bagi yang memang dibutuhkan keamanan. Apakah bisa? Bisa, bisa kita contoh misalnya gereja Ganjuran. Tapi kan itu luas? Ya kita contoh aja konfigurasi dan fungsinya di lahan yang terbatas. Memang di Gereja Ganjuran luas, tapi secara esensi, bangunan ibadahnya terbuka. Meski penuh, yang duduk diluar bangunan gereja dapat akses visual langsung ke alatar, mimbar. Dan dibedakan ibadah dan kunjungan ziarah, bagi yang ziarah, ibadah pribadi bisa di sisi lainnya, di candinya. Kurang apa lagi coba, tapi ya kalau itu memang bisa diterima, biasanya kan jemaat Kristen gengsi, bila dibandingkan pada umat Katholik, bahkan sesama Protestan saja gengsi. Misalnya, banyak jemaat GKJ memilih beribadah di GKI Gejayan, karena lebih asik kesana daripada ke GKJ, yasudah tinggal studi banding saja kan ke GKI terkait, liturgi apa yang digunakan, support apa yang dilakukan gereja kepada jemaat, pasti ada petunjuk bila mau berkembang.

Tapi toh, kelihatannya ini tulisan isinya kritik saja, kalau gitu, seperti kata lagunya mbak Inul Daratista,

“ jangan marah, maafkanlah”

Selamat Paskah 2019