Sore 2 Februari 2018 sepulang
dari kantor di Puri Design Bayu Tama, mbak Susi dan saya bermotoran menuju
hotel di utara balaikota jogja untuk menghadari acara Yogyakarta Young
Architect Forum (YYAF) yang ke-4. Meskipun yang ke-4 tapi ini adalah acara YYAF
yang saya datangi. Sampai di lokasi sudah magrib, langsung dapat coffee break. Tak lupa daftar ulang dan
mengambil name-ticker (stiker nama) yang di lekatkan di kaos yang saya pakai. Seminar
kit juga didapat dari sponsor. Lumayan dapat buku catatan di dalam seminar kit,
hehehe…
Saya masuk dan acara sesi-2
dimulai. Sesi dua ini menghadirkan narasumber yang asik, arsitek muda yang
sukses menangani 150an proyek setahunnya, dengan kantor di Jakarta, Semarang
dan Bandung. Revano namanya. Dia menceritakan rumahnya yang ia desain. Di
rumahnya sendiri dia memecahkan masalah dan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Seperti
desain kantor di rumahnya terbuka, dan langsung terhubung dengan ruang keluaga,
bagi orang lain mungkin tidak nyaman
tapi begitulah dia desain dengan mempertimbangkan masa lalunya tinggal di rumah
yang begitu banyak ruang privat sehingga katanya bisa satu tahun tinggal di
dalam satu rumah tapi tidak ketemu sama sekali. Di sisi lain, dia pecinta
mainan, koleksinya banyak. Akhirnya dia buat tempat mainan di luar, katanya
idenya didapat dari istrinya, “taruh aja di luar”.
Setelah beberapa tanya jawab,
dilanjut sesi selanjutnya yang menghadirkan para dewa; Pak Revi, Pak . dan Pak
Eko Prawoto. Sesi ini dimulai dari yang muda, setengah tua dan ditutup oleh pak Eko. Dijelaskan mulai
dari identitas, kesadaran bahwa tidak ada orisinalitas, maka identitas itu
kemudian hal yang mudah dipertanyakan. Ibarat lego, material tersedia, dan kita
menyusunnya dengan meletakkan di tempat yang paling optimal. Namun akan lebih
asik ketika lego, masih dalam bentuk yang raw (kotak) bukan yang sudah bertema,
karena olahan desain dan imajinasi akan lebih lagi. lalu penjelasan dari pak
Eko yang dapat ditebak pasti begitu reflektif dan menyajikan kesimpulan untuk
disimpulkan masing-masing yang mendengar. Beliau mengingatkan tentang konteks,
bahkan dalam dunia desain, konteks begitu cepat berubah, kini. Generasi mulai
merapat yang bisa tadinya generasi baru muncul tiap 25 tahunan, besok 10
tahunan bahkan kurang. Maka kemampuan beradaptaasi untuk memecahkan
permasalahan arsitektural yang kontekstual itu dibutuhkan. Tentu, penyajian dan
mengiingatkan kembali akan nilai humanis, juga “njuk ngopo” kalau sudah ini – itu perlu refleksi lagi, lalu apa,
tujuan yang lebih lagi adakah, tentunya yang lebih mulia.
Usai penjelasan oleh pak Eko Prawoto,
semua narasumber kemudian dipersilakan naik ke panggung dan peserta
dipersilakan bertanya, tiga orang penanya dari masing-masing grup tempat duduk
(A, B, C) nah, bertanyalah saya.
Bertanya.
Ternyata bertanya itu sulit. Ketika
sesi dua tadi saya baru datang, dan belum konek alur seminarnya, jadi menyimak
penyajian masih menerima secara utuh, dari tidak tahu menjadi tahu. Nah di sesi
kedua sudah agak nyambung, eh yang keluar para dewa, apalagi yang disajikan oleh
Pak Eko begitu lengkap.
Maka pertanyaan saya, meminta nasihat saja, bila identitas sejati arsitek adalah mendesain, dan desain itu adalah pemecahan masalah. Maka identitas arsitek adalah memecahkan masalah. Tak jarang kita terjebak kita menggunakan katai identitas desain dan mencari identitas desain tapi yang dimaksud sebenarnya adalah style ketika arsitektur itu sekadar transformasi dari yang sudah ada tanpa originalitas. Bahkan kadang demi style atau dilihat wangun, suatu bangunan jadi kutukan seumur bangunan pembantu disitu untuk ngepel tiap kali hujan karena kena tampias (dalam presentasi Pak Revi tadi diceritakan rumah Butet karya pak eko yang Butet begitu menyukai karena dia juga suka hujan, tapi kalau selesai hujan pembantunya kerja keras mengepel)
Maka kira-kira bagaimana nasihat untuk kaum muda dalam berproses jangan terjebak pada menganggap style berarsitektur adalah identitas-nya. Yang kedua, konteks, ketika pak Eko berani bilang generasi desain kedepannya akan semakin rapat jaraknya, maka konteks akan semakin cepat berganti, dan kita perlu adaptasi, maka kira-kira parameter apa yang perlu kita waspadai supaya kita lebih tepat dalam merespon konteks.
Maka pertanyaan saya, meminta nasihat saja, bila identitas sejati arsitek adalah mendesain, dan desain itu adalah pemecahan masalah. Maka identitas arsitek adalah memecahkan masalah. Tak jarang kita terjebak kita menggunakan katai identitas desain dan mencari identitas desain tapi yang dimaksud sebenarnya adalah style ketika arsitektur itu sekadar transformasi dari yang sudah ada tanpa originalitas. Bahkan kadang demi style atau dilihat wangun, suatu bangunan jadi kutukan seumur bangunan pembantu disitu untuk ngepel tiap kali hujan karena kena tampias (dalam presentasi Pak Revi tadi diceritakan rumah Butet karya pak eko yang Butet begitu menyukai karena dia juga suka hujan, tapi kalau selesai hujan pembantunya kerja keras mengepel)
Maka kira-kira bagaimana nasihat untuk kaum muda dalam berproses jangan terjebak pada menganggap style berarsitektur adalah identitas-nya. Yang kedua, konteks, ketika pak Eko berani bilang generasi desain kedepannya akan semakin rapat jaraknya, maka konteks akan semakin cepat berganti, dan kita perlu adaptasi, maka kira-kira parameter apa yang perlu kita waspadai supaya kita lebih tepat dalam merespon konteks.
Ketika bertanya, saya gemetaran,
pikirku takut karena para dewa dipajang on stage gitu, eh ternyata usai tanya
jawab saya juga masih gemetaran, ternyata saya lapar. Jam menunjukkan nyaris
pukul setengah sebelas malam dan belum makan malam, perut baru diganjal coffee break tadi petang.
Menjawab
Mungkin wagu ya pertanyaanku,
tapi gapapalah, mumpung masi muda, yang penting gasak dulu. Pertanyaan diajukan
pada tiga narasumber terakhir. Kadang manusia sebagai arsitek bisa diibaratkan
dunia para dewa dengan berbagai solusi tanpa tahu permasalahan, sedangkan di
dunia bawah sana, penuh permasalahan tanpa solusi. Disarankan sebagai arsitek
jangan begitulah. Lebih peka, kepekaan perlu diasah untuk mengetahui
gejala-gejala yang timbul untuk direspon secara aktif, juga dilatih sehingga
udah jadi mind-set dalam menghadapi
berbagai permasalahan. Ditambahkan pula oleh pak eko penjelasan, sedikit
analisis kedepannya dengan berbagai informasi begitu cepat betebaran dalam
media digital ini, maka kedepan, arah desain akan mengarah ke hal yang lebih
digital, maka persiapkanlah itu. Di akhir penjelasannya, untuk merespon
berbagai macam informasi yang begitu banyak bersebaran beliau berkata “silakan
berterbangan kemana-mana”
Diskusi
Pulang dari seminar, bareng Bayu
Tama dan kami putuskan untuk makan malam dulu di Bakmi Jawa Kang mas Daru. Disana
ternyata dia sharing bahwa ada
pertanyaan yang sebenarnya dia ingin ajukan tadi, tapi karena satu grup kursi
dengan saya dan yang bertanya saya duluan maka dia ga bisa tanya. Jadi,
pertanyaan Bayu kurang lebih seperti ini, ‘gimana sih suatu karya desain bisa
survive, kalau tadi dikatakan generasi semakin begitu cepat berganti.
Nah karena sekarang sudah jam
7.09 dan jam 7.30 nanti saya mau ikut diskusi 15 cerita arsitek muda di
koinonia UKDW, maka tulisan bersambung J
dulu ya.
3 - Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar