JLFR 70 |
2013 adalah suatu awal dari petualangan bersepeda
saya. Sepeda yang dibeli tahun 1994 keluar dari persembunyiannya lagi setelah
sekian lama berdiam di gudang. Dipicu oleh teman yang baru saja beli sepeda kemudian
mengajak saya untuk sepedaan sebelum berangkat mengikuti diskusi malam Sabtu
Pahing. Sepedaan malam itu menuju ke plengkung gading dan berakhir di Mangkubumi.
Pertama kali juga kami sepedaan di atas beteng yang masih tersisa di plengkung
gading. Menuju mangkubumi, terkagetlah kami karena malam itu buanyaaakk sekali
pesepeda nongkrong di ruas jalan itu. Kami pikir ada suatu event apa gitu, tapi
setelah sekian bulan baru sadar ternyata malam sabtu Pahing waktu itu
bertepatan dengan aktivitas Jogja Last Friday Ride (JLFR).
Jogja Last Friday Ride, acara sepedaan asik,
terkagum pada awalnya ternyata pesepeda muda di Jogja begitu banyaknya.
Atmosfir khas cah enom yang urakan
dan ora urusan membuat aktivitas sepedaan ini asik. Sorakan pemudi-pemuda pengendara
berbagai macam sepeda tua maupun baru memang selalu dinanti di akhir bulan.
Suatu waktu, fanspage JLFR membagikan kegiatan
sepedaan yang digagas oleh Umbulharjo Ngepit, karena saya tinggal di umbulharjo
maka pada hari H datanglah saya ke acara sepedaan tersebut. Momen itulah awal
mula saya bergabung dengan komunitas sepeda.
Dari komunitas sepeda ternyata dapat mengenal lebih
banyak teman dari komunitas-komunitas sepeda yang lain. Kadang berkunjung ke
komunitas lain untuk mengikuti acara yang diadakan. Kadang komunitas lain juga
datang ke komunitas yang di sini. Bila di Malang ada sonjo kampung, disini ada
srawung antar komunitas sepeda. Saat itu yang saya ingat banyak komunitas
berdiri dengan basis kedaerahan, seperti umbulharjo, bangirejo, godean, sleman,
berbah dkk dkk..
Tahun 2013-2014 merupakan masa emas JLFR, bila
ukurannya adalah banyaknya pesepeda yang ikut. Jalan melingkar di Kridosono
dipastikan macet, banyak pesepeda yang menunggu di ruas jalan keluar dari
kridosono. Dalam suatu dokumenter dikatakan ada kalau sampai 3000 pesepeda
berkumpul tiap akhir bulan di Jogja dalam satu aktivitas sepedaan ini. Tua
muda mudi, bebas mengekspresikan dirinya
dalam sepedaan ini. Kostum keren dan unik, biasa ditemui, pesepeda juga tak
sedikit menggunakan baju2 terbaiknya dalam aktivitas ini.
Klakson ranmor bagaikan suara latar bagi pesepeda,
semakin lantang pula klakson dibunyikan oleh pengendara mesin yang tak sudi
jalan aspal milik bersama ini dirampas sebulan sekali. Sepeda kami tetap
melaju. Kadang sorakan balik dari pesepeda menjadi suatu dialog emosional
antara pesepeda dan pengendara kendaraan bermotor.
Kolaborasi antar komunitas juga muncul sebagai
inisiatif memperkaya JLFR. Ketika puasa ada gotongroyong antar komunitas untuk
bagi takjil & bagi nasi bungus utk buka puasa juga berbagai acara
komunitas, dan tentunya yang paling ditunggu ialah saat ulang tahun JLFR,
karena pasti ruame dan ada lomba yang berhadiah menarik dari berbagai komunitas
yang urunan.
Tak hanya di dunia nyata, dunia maya juga penuh pro
dan kontra yang menjadikan diskusi menambah wawasan tentang sepeda dan kota. Tak
luput melahirkan impian bahwa tiap hari adalah JLFR, yang berarti ribuan orang
bersepeda tiap harinya di Jogja.
Memasuki 2015 muncul Jogja Second Friday Ride,
sepedaan di minggu kedua tiap bulan, yang akhirnya pupus juga setelah berjalan
6 bulan. Mungkin diharapkan supaya ada kegiatan serupa yang bisa seramai JLFR
tapi yah.. ataupun memecah keramaian sehingga tidak terlalu terpusat di jumat
akhir bulan. Tapi, JLFR tetap di hati.
Tahun 2015 berjalan beberapa bulan cukup menggemparkan
dunia persepedaan karena banyaknya isu begal, klitih juga ada pesepeda yang
diajak gelut saat JLFR. Entah kenapa, tentunya ada pihak yang tidak suka/takut
pada masa banyak tak terorganisir dan aktifitasnya sustain dapat bertahan
hingga 5 tahun hanya dengan rute yang di publish
sebulan sekali!
Hujan lebat April 2015, ulang tahun JLFR, bagaikan
ono udan salah mongso membuat ulang tahun JLFR kali itu begitu syahdu. Jogja
Kota Night Ride(JKNR) kemudian muncul di minggu pertama tiap bulan, diawali
para pesepeda yang belum puas karena belum merayakan ulang tahun JLFR 2015 di
akhir bulan karena hujan. Namun JKNR juga tak tahan lama rutinitasnya.
2015, beranjak menuju enam tahun JLFR pesepeda yang
ikut JLFR menurun drastis diterpa berbagai isu. Tak lama, di medsos, bagaikan
paham keadaaan redupnya JLFR, heboh grup Jogja Gowes yang langsung naik daun
diserbu pesepeda. Sepedaannya tidak malam hari seperti JLFR, cenderung lebih
aman dari begal, dan menawarkan sepedaan tematik: menuju ke suatu lokasi
tertentu, tidak sekadar sepedaan muter kota seperti JLFR.
Kegiatan positif selalu mempunyai daya tular hebat,
Jogja Gowes juga memicu komunitas tematik lainnya bermunculan, baru lahir
maupun yang sudah ada di ramaikan lagi seperti Pitnik, pit community, segoro
geni,dll. Sehingga eksistensi mereka diwadahi dalam grup yang disebut komunitas
jogja gowes.
Suasana di titik kumpul pada acara Jogja Gowes pertamakali, |
Pada perkembangannya jogja gowes yang menyebut diri
sebagai komunitas muncul anggapan seolah-olah hanya menjual jersey dan yang pakai
jersey langsung dianggap anggota komunitas. Memang namanya mengandung kata
jogja yang berani memakai nama jogja berarti bisa menaungi. Dengan ini jogja
gowes mungkin maksudnya sebagai komunitas induk pesepeda di Jogja. Seiring
berjalan waktu, grup medsos jogja gowes secara fungsi berubah menjadi forum
tempat bertukar pendapat tentang sepeda
dan tempat eksistensi pesepeda
yang sebelumnya belum muncul kemudian diakui.
Ide selalu lahir dan diperbaharui, kebutuhan
kelompok untuk diakui selalu ada. Munculnya ide sepedaan bersama tanpa sekat,
lintas komunitas, namun juga guyub menghadirkan nuansa baru sepedaan di Jogja. Hingga
akhirnya muncul agenda kegiatan gowes bareng (gobar) yang kemudian sangat
kental budaya silaturahminya antar komunitas/peserta yang ikut.
Kentalnya budaya kekerabatan yang begitu diolah
dalam kalangan Gobar ini membuat adanya batas menjadi kabur, batas antar
komunitas sepeda yang ada. Meskipun komunitas se
peda di jogja sudah lama dan
banyak yang bersifat inklusif, dalam kondisi ini di katalis oleh peran media
sosial. Rekan-rekan pesepeda yang cenderung sepuh sangat terbantu dalam
berkomunikasi, mengorganisir, dan melakukan silaturahminya. Sehingga meskipun
tua dalam usia, tapi ide, gagasan dan aksi tetap selalu ada, tak hanya yang
muda yang punya gerakan.
Dinamisnya budaya bersepeda di jogja ini begitu
asik untuk dinikmati juga diikuti dan membuktikan bahwa masyarakat Jogja
sebenarnya mempunyai budaya bersepeda yang hebat dari berbagai kalangan. Sepedaan
sebenarnya sudah ada dalam gen masyarakat jogja dan bila ingin mewujudkan Jogja
kota sepeda sebenarnya hanya perlu menunggu di sentil saja dengan kebijakan
pemkot yang pro terhadap pesepeda.
Hingga budaya bersepeda berkembang seperti
sekarang, ada yang bilang JLFR sekarang sudah tidak seramai dahulu, namun
kata-kata seperti itu hanya berlaku bila ukurannya adalah jumlah pesepeda yang
ikut berpartisipasi. Lebih dari itu, bagi pesepeda yang aktif ber-JLFR, dengan puluhan
kali kamu ikut sepedaan JLFR masa sih kamu ga punya daya tular positif yang
bisa kamu tularkan ke orang lain? Begitu pula berbagai komunitas yang silih
berganti mati dan muncul. Komunitasnya mungkin mati, tapi anggota-anggotanya
pasti sempat menularkan virus positif ini ke orang lain barang satu. Begitu juga
JLFR, para pesepeda yang pernah meramaikan JLFR pastinya juga telah dan pernah
menulari hal positif ke orang lain. Hingga akhirnya semuanya berkembang sesuai
kapasitas masing-masing di posisi masing-masing.
Dan kenapa sih, dia harus ikut aliran/cara
bersepedaku? Mau banter, mau pelan, mau nuntun, mau sepeda Cuma jadi bahan
klangenan… apapun itu, rayakanlah saat itu. Karena setiap kegiatan bersepeda
adalah ungkapan atas kecintaan akan sepeda yang berbuah kegembiraan bersama.
Tapi, bagaimanakah menularkan kegembiraan bersama
ini pada perempuan dan anak-anak?
tetaplah bergembira ^_^ tunggu tulisan selanjutnya :D
tetaplah bergembira ^_^ tunggu tulisan selanjutnya :D