Jumat, 31 Maret 2017

Sejak tahun 2013 bersepeda



JLFR 70



2013 adalah suatu awal dari petualangan bersepeda saya. Sepeda yang dibeli tahun 1994 keluar dari persembunyiannya lagi setelah sekian lama berdiam di gudang. Dipicu oleh teman yang baru saja beli sepeda kemudian mengajak saya untuk sepedaan sebelum berangkat mengikuti diskusi malam Sabtu Pahing. Sepedaan malam itu menuju ke plengkung gading dan berakhir di Mangkubumi. Pertama kali juga kami sepedaan di atas beteng yang masih tersisa di plengkung gading. Menuju mangkubumi, terkagetlah kami karena malam itu buanyaaakk sekali pesepeda nongkrong di ruas jalan itu. Kami pikir ada suatu event apa gitu, tapi setelah sekian bulan baru sadar ternyata malam sabtu Pahing waktu itu bertepatan dengan aktivitas Jogja Last Friday Ride (JLFR).

Jogja Last Friday Ride, acara sepedaan asik, terkagum pada awalnya ternyata pesepeda muda di Jogja begitu banyaknya. Atmosfir khas cah enom yang urakan dan ora urusan membuat aktivitas sepedaan ini asik. Sorakan pemudi-pemuda pengendara berbagai macam sepeda tua maupun baru memang selalu dinanti di akhir bulan.

Suatu waktu, fanspage JLFR membagikan kegiatan sepedaan yang digagas oleh Umbulharjo Ngepit, karena saya tinggal di umbulharjo maka pada hari H datanglah saya ke acara sepedaan tersebut. Momen itulah awal mula saya bergabung dengan komunitas sepeda.

Dari komunitas sepeda ternyata dapat mengenal lebih banyak teman dari komunitas-komunitas sepeda yang lain. Kadang berkunjung ke komunitas lain untuk mengikuti acara yang diadakan. Kadang komunitas lain juga datang ke komunitas yang di sini. Bila di Malang ada sonjo kampung, disini ada srawung antar komunitas sepeda. Saat itu yang saya ingat banyak komunitas berdiri dengan basis kedaerahan, seperti umbulharjo, bangirejo, godean, sleman, berbah dkk dkk..

Tahun 2013-2014 merupakan masa emas JLFR, bila ukurannya adalah banyaknya pesepeda yang ikut. Jalan melingkar di Kridosono dipastikan macet, banyak pesepeda yang menunggu di ruas jalan keluar dari kridosono. Dalam suatu dokumenter dikatakan ada kalau sampai 3000 pesepeda berkumpul tiap akhir bulan di Jogja dalam satu aktivitas sepedaan ini. Tua muda  mudi, bebas mengekspresikan dirinya dalam sepedaan ini. Kostum keren dan unik, biasa ditemui, pesepeda juga tak sedikit menggunakan baju2 terbaiknya dalam aktivitas ini.

Klakson ranmor bagaikan suara latar bagi pesepeda, semakin lantang pula klakson dibunyikan oleh pengendara mesin yang tak sudi jalan aspal milik bersama ini dirampas sebulan sekali. Sepeda kami tetap melaju. Kadang sorakan balik dari pesepeda menjadi suatu dialog emosional antara pesepeda dan pengendara kendaraan bermotor.

Saat JLFR#51 bagi takjil di kawasan balaikota Jogja (2015)
Kolaborasi antar komunitas juga muncul sebagai inisiatif memperkaya JLFR. Ketika puasa ada gotongroyong antar komunitas untuk bagi takjil & bagi nasi bungus utk buka puasa juga berbagai acara komunitas, dan tentunya yang paling ditunggu ialah saat ulang tahun JLFR, karena pasti ruame dan ada lomba yang berhadiah menarik dari berbagai komunitas yang urunan.

Tak hanya di dunia nyata, dunia maya juga penuh pro dan kontra yang menjadikan diskusi menambah wawasan tentang sepeda dan kota. Tak luput melahirkan impian bahwa tiap hari adalah JLFR, yang berarti ribuan orang bersepeda tiap harinya di Jogja.

Memasuki 2015 muncul Jogja Second Friday Ride, sepedaan di minggu kedua tiap bulan, yang akhirnya pupus juga setelah berjalan 6 bulan. Mungkin diharapkan supaya ada kegiatan serupa yang bisa seramai JLFR tapi yah.. ataupun memecah keramaian sehingga tidak terlalu terpusat di jumat akhir bulan. Tapi, JLFR tetap di hati.

Tahun 2015 berjalan beberapa bulan cukup menggemparkan dunia persepedaan karena banyaknya isu begal, klitih juga ada pesepeda yang diajak gelut saat JLFR. Entah kenapa, tentunya ada pihak yang tidak suka/takut pada masa banyak tak terorganisir dan aktifitasnya sustain dapat bertahan hingga 5 tahun hanya dengan rute yang di publish sebulan sekali!

Hujan lebat April 2015, ulang tahun JLFR, bagaikan ono udan salah mongso membuat ulang tahun JLFR kali itu begitu syahdu. Jogja Kota Night Ride(JKNR) kemudian muncul di minggu pertama tiap bulan, diawali para pesepeda yang belum puas karena belum merayakan ulang tahun JLFR 2015 di akhir bulan karena hujan. Namun JKNR juga tak tahan lama rutinitasnya.

2015, beranjak menuju enam tahun JLFR pesepeda yang ikut JLFR menurun drastis diterpa berbagai isu. Tak lama, di medsos, bagaikan paham keadaaan redupnya JLFR, heboh grup Jogja Gowes yang langsung naik daun diserbu pesepeda. Sepedaannya tidak malam hari seperti JLFR, cenderung lebih aman dari begal, dan menawarkan sepedaan tematik: menuju ke suatu lokasi tertentu, tidak sekadar sepedaan muter kota seperti JLFR.

Kegiatan positif selalu mempunyai daya tular hebat, Jogja Gowes juga memicu komunitas tematik lainnya bermunculan, baru lahir maupun yang sudah ada di ramaikan lagi seperti Pitnik, pit community, segoro geni,dll. Sehingga eksistensi mereka diwadahi dalam grup yang disebut komunitas jogja gowes.
Suasana di titik kumpul pada acara Jogja Gowes pertamakali,
Pada perkembangannya jogja gowes yang menyebut diri sebagai komunitas muncul anggapan seolah-olah hanya menjual jersey dan yang pakai jersey langsung dianggap anggota komunitas. Memang namanya mengandung kata jogja yang berani memakai nama jogja berarti bisa menaungi. Dengan ini jogja gowes mungkin maksudnya sebagai komunitas induk pesepeda di Jogja. Seiring berjalan waktu, grup medsos jogja gowes secara fungsi berubah menjadi forum tempat bertukar pendapat tentang sepeda  dan  tempat eksistensi pesepeda yang sebelumnya belum muncul kemudian diakui.

Ide selalu lahir dan diperbaharui, kebutuhan kelompok untuk diakui selalu ada. Munculnya ide sepedaan bersama tanpa sekat, lintas komunitas, namun juga guyub menghadirkan nuansa baru sepedaan di Jogja. Hingga akhirnya muncul agenda kegiatan gowes bareng (gobar) yang kemudian sangat kental budaya silaturahminya antar komunitas/peserta yang ikut.
Gobar pertamakali dengan tujuan ke Telaga Biru Gunung Kidul
Kentalnya budaya kekerabatan yang begitu diolah dalam kalangan Gobar ini membuat adanya batas menjadi kabur, batas antar komunitas sepeda yang ada. Meskipun komunitas se

peda di jogja sudah lama dan banyak yang bersifat inklusif, dalam kondisi ini di katalis oleh peran media sosial. Rekan-rekan pesepeda yang cenderung sepuh sangat terbantu dalam berkomunikasi, mengorganisir, dan melakukan silaturahminya. Sehingga meskipun tua dalam usia, tapi ide, gagasan dan aksi tetap selalu ada, tak hanya yang muda yang punya gerakan.

Dinamisnya budaya bersepeda di jogja ini begitu asik untuk dinikmati juga diikuti dan membuktikan bahwa masyarakat Jogja sebenarnya mempunyai budaya bersepeda yang hebat dari berbagai kalangan. Sepedaan sebenarnya sudah ada dalam gen masyarakat jogja dan bila ingin mewujudkan Jogja kota sepeda sebenarnya hanya perlu menunggu di sentil saja dengan kebijakan pemkot yang pro terhadap pesepeda.

Hingga budaya bersepeda berkembang seperti sekarang, ada yang bilang JLFR sekarang sudah tidak seramai dahulu, namun kata-kata seperti itu hanya berlaku bila ukurannya adalah jumlah pesepeda yang ikut berpartisipasi. Lebih dari itu, bagi pesepeda yang aktif ber-JLFR, dengan puluhan kali kamu ikut sepedaan JLFR masa sih kamu ga punya daya tular positif yang bisa kamu tularkan ke orang lain? Begitu pula berbagai komunitas yang silih berganti mati dan muncul. Komunitasnya mungkin mati, tapi anggota-anggotanya pasti sempat menularkan virus positif ini ke orang lain barang satu. Begitu juga JLFR, para pesepeda yang pernah meramaikan JLFR pastinya juga telah dan pernah menulari hal positif ke orang lain. Hingga akhirnya semuanya berkembang sesuai kapasitas masing-masing di posisi masing-masing.

Dan kenapa sih, dia harus ikut aliran/cara bersepedaku? Mau banter, mau pelan, mau nuntun, mau sepeda Cuma jadi bahan klangenan… apapun itu, rayakanlah saat itu. Karena setiap kegiatan bersepeda adalah ungkapan atas kecintaan akan sepeda yang berbuah kegembiraan bersama.

Tapi, bagaimanakah menularkan kegembiraan bersama ini pada perempuan dan anak-anak?
tetaplah bergembira ^_^ tunggu tulisan selanjutnya :D

Sabtu, 25 Maret 2017

Trip to Purwodadi (Part 1)


Sudah lama menginginkan mengunjungi saudara di Purwodadi, mbak Ikha. Sudah lama tak jumpa, juga belum pernah ke Purwodadi tempat dia berkarya saat ini. Ingatan terakhir tentang purwodadi adalah saat teman bapak mas Dion menikah disana. Kesan yang masih tertinggal tentang Purwodadi hingga kini adalah kota dengan pepohonan, jalan menuju Purwodadi yang hancur dan satu biji semangka yang tersangkut digigi selama perjalanan pulang Purwodadi-Jogja!

Dengan kecemasan jalan menuju Purwodadi yang rusak, saya bersiap mengelumpukkan perlengkapan perjalanan. Seperti biasa, jaket, sarung, celana panjang dan perlengkapan sepeda ditaruh di paniier kanan, dan pada pannier kiri diisi ransum makanan. Meskipun jarak Jogja-Purwodadi 125km an, tak apalah membawa perbekalan yang overdosis, malum petouring amatir yang sering khawatir.

Berdasarkan pengalaman perjalanan jauh sebelumnya, 125km saya estimasi perjalanan seharian. Bisa jadi berangkat pagi dari jogja, sampai sana setelah magrib. Aplikasi elevation yang ringan dijalankan di ponsel melengkapi bayangan rute ke purwodadi yang cenderung turun, Purwodadi dekat dengan pantai utara. Matahari bulan November cukup panas di Jawa, jadi siapkan air sebanyak-banyaknya!

Oh,ya! Perjalanan kali ini akan ditemani oleh sepeda yang berbeda dari 2 perjalanan ketimur pendahulu. Karena sang besi pusaka sudah beberapa bulan di tlatah Kulon Progo untuk di permak. (Jieyang) Xtrada Premium, sepeda yang cukup (cukup dibaca: 8-10tahun yanglalu) tua, peruntukannya sebenarnya digunakan untuk XC leisure. Atau blusukan hepii.. uniknya di sepeda seri ini, terdapat dudukan untuk menempatkan boncengan, sehingga sangat membantu. Boncengan dipinjam dari sepeda Jieyang yang dikendarai ladies biker yang bersama bersepeda ke Jawa Timur Juli 2016 yang lalu. Jarak BB ke tanah terlalu tinggi menurut saya untuk digunakan perjalanan jauh, tapi toh dicoba saja.

Eh, ternyata pannier saya satu juga di Kulon Progo, jadi terpaksa pinjem satu pannier juga. Meski pannier selen, perjalanan tetep akan dilaksanakan. :)

Perbatasan, DIY-Jateng
Hari yang indah
Pagi itu senin (7/11/2016)rencana berangkat ke Purwodadi. Paginya menemani ibu belanja di pasar dahulu. Namun tidak sengaja sampai rumah, bahu kanan keseleo karena kedorong saat ibu turun dari kendaraan, dan akhirnya senin itu seharian saya tidur untuk pemulihan. Karena untuk ngangkat ceret saja tidak kuat.

Barang yang sudah dipersiapkan Minggu(6/11/2016), tersedia untuk memulai perjalanan yang terundur sehari. Selasa pagi usai sarapan dirumah, ku pancal sepeda keluar rumah pukul 7.45. Pagi cerah, matahari bersinar indah, mengawali kayuhan dengan santai untuk pemanasan. Sambil bernostalgia perjalanan sebelumnya ke Malang dalam rangka mengikuti event Endurance Race yang baru sampai Gondang sudah K.O kehujanan. 9 pagi kurang sedikit isitirahat di kota Klaten menyantap pisang dan roti basah yang bikin seret. 15 menit beristirahat perjalanan dilanjut. Pagi cerah nan indah perlahan menjadi panas menjelang siang, 10.10 sampai Delanggu karena tak kuat panasnya berhenti di Indoramet membeli pocarisweat dan jus.
Istirahat bung! panas!

Sekitar 10.30 melanjutkan perjalanan penuh dengan berkah dari sang surya. Coba kalau saya bisa fotosintesis pasti situasi seperti ini tenaga bisa 200%. Sampai Kartasura map di ponsel memperlihatkan untuk belok kiri masuk ke jalur alternatif, masuk ke dalam gang. Kuikuti saja dengan sedikit ragu. Akhirnya tembus ke arah bandara tanpa melewati terminal. Melaju dengan bahagia ke arah bandara karena jalannya lapang, halus, dan tidak banyak kendaraan sampai-sampai terlalu asik dan kebablasan arah bandara. Memutar balik dan belok ke arah seharusnya. Aspalnya mulus, tak tahu arah meski hanya di daerah sekitaran Solo, beriman hanya pada GPS di gawai maupun GPS darat (Ground Pitakonan System).

Tiba-tiba jalan mulai rusak dan banyak teman perjalanan baru berupa truk. Jalur ini separo hancur karena ternyata jalur truk. GPS menunjukkan untuk berbelok kanan tapi ku urungkan karena ragu dengan bentuk jalannya. Lanjut untuk mencari belokan dengan jalan yang lebih manusiawi. Ku temukan gapura dan masuk ke desa, menembus desa hingga ketemu sawah dibalik desa. Siang-siang istirahat di gapura keluar desa, terhampar sawah. Kumakan pisang bekal sambil pepanas menikmati indahnya sawah.
Spot favorit 1
 Lanjut perjalanan melalui bulak, dan ketemu desa selanjutnya, menggiring ke arah timur laut, sesuai dengan tujuan. Akhirnya setelah melewati desa itu terlihat jalur agak ramai menuju keutara. Mengikuti jalur tersebut yang penuh debu, ternyata jalur lalulalang truk pabrik. Tak lama akhirnya ketemu dengan jalur Boyolali-solo dan belok, nyebrang rel masuk ke Jalur Solo-Purwodadi km 11.

12.00 pas berhenti di soto murah tertera harganya Rp 6.000 parkir sepeda semakin sulit karena jagragnya sudah mulai letoy. Menunggu teh panas dan soto, supir truk menanyakan, kok tau jalan tebus tadi? Ku bilang Cuma mengikuti truk saja. Tertnyata truk tersebut tadi sempat menyalip saya dan juga menuju ke Purwodadi. Makan siang murah meriah namun kecewa dengan teh-nya karena tidak terlalu manis. Tapi toh perjalanan ini sudah manis. :D
Mana Soto nya?
Perjalanan dilanjut jalan mulai naik turun tapi cenderung turunan karena Purwodadi lebih rendah letaknya. Jalur dominan cor semen yang bikin roda semakin menggelinding laju. Rel kereta di kiri menemani perjalanan hingga berganti di kanan. Jalur cenderung sepi dan kadang jalur lurus membuat sedikit bosan dan kecepatan menurun, dan mulai asik ketika masuk alas. Plang arah gunung kemukus terlihat dan juga papan petunjuk arah Kedung Ombo. Malas pikirku untuk lewat mengingat ceritanya tentang pembuatan waduk tersebut yang aduhai.

Patokannya simple, rel dikiri, rel dikanan, rel dikiri, hilang, ketemu rel lagi berarti Purwodadi dah dekat. 32 Km menuju Purwodadi pukul 13.10an beristirahat saya di penjual Jus. Sebenarnya 5km sebelumnya ada penjual es campur yang menggoda, tapi malas berhenti karena sedang laju kencang. Kupesan jus mangga, dan enak sekali rasanya, segarr!
Favorit!
Suasana syahdu 32km menuju Purwodadi.

Sisa perjalanan menuju purwodadi begitu nikmat karena jalurnya dingin banyak pepohonan dan ketika rel sudah terlihat dikiri jalan, jalan cenderung turunan hingga Purwodadi. Tak jauh disapa oleh orang di kiri jalan, ternyata supir Truk yang tadi siang sempat makan bersama di warung. Terus menggelinding hingga simpang lima Purwodadi, dan waah! Indahnya! Sore teduh di kota tua. Kanan kiri pohon besar menaungi, dengan angin sepoi merontokkan daunnya pada jalan lurus membelah kota. Syahdu! Ditemani alunan musik khas, ternyata sedang ada pertunjukan barongsai keliling. Kulihat sebentar dan memasukkan uang ke kotak kelompok barongsai tersebut.

Hayo tebak, mana barongsainya?
Agak kecewa ketika sampai alun-alun masih sore 15.15an dan ingin menikmati sore di alun-alun tapi sedang renovasi. Ku telpon saudara Mbak Ikha yang sudah ku hubungi sebelumnya, menanyakan lokasi rumahnya. Rencana satu hari saya tinggal di Purwodadi. Sampai di lokasi disambut Mbak Ikha dan putranya, Arkha, istirahat dan nyantai.
 

Malamnya saya diajak muter-muter Purwodadi dan santap malam dengan swike khas Purwodadi! Termiakasih kakak ^_^.
 


Hari kedua.
Bangun pagi malas-malasan dan mengobrol santai di dapur. Edisi hari ini, menikmati arsitektural GKJ Purwodadi yang katanya desain awalnya didesain oleh dosen pembimbing tugas akhir saya, Pak Mahatmanto. Usai menikmati bangunan, dilanjut bersepeda bareng Arkha ke taman kota Purwodadi. Taman kota tersebut masih proses pembangunan tapi sudah banyak bisa digunakan fasilitasnya. Siang-siang ke taman kota yang  panas memang asik. Ibarat kopi dan gedhang goreng panas. Pulang dari taman kota mampir untuk makan bakso di jalan utama menuju kota Purwodadi. Tak lama usai makan bakso, perjalanan pulang, dan… hujan… hingga bermalam di Purwodadi diiringi hujan.
Adik Arkha dan sepeda kesayangannya..

GKJ Purwodadi dan sepedaku
Taman Kota Purwodadi
 Purwodadi yang konon kota imut secara luasan ini bahkan mempunyai ruang yang didedikasikan untuk umum. cukup membayar parkir 1000 rupiah untuk ranmor roda 2 dan parkir gratis untuk sepeda sudah bisa menikmati indahnya taman kota di Purwodadi. Lalu, apa menariknya taman kota ini? Ya jelas menarik lah, taman kota berarti, pengelola kota paham bahwa Manusia butuh ruang, untuk mengapresiasi kemanusiaannya. Dengan menghadirkan taman kota yang dapat diakses publik ini apa sih untungnya? Dalam kacamata saya, untung/benefit dari taman kota ini jelas, masyarakat jadi mempunyai tempat untuk bersosialisasi, berrekreasi, dan tombo stress. Pada dasarnya Manusia butuh dolan (seperti saya ini, hehe...) tapi juga terikat waktu dan lokasi. Maka butuh tempat rekreasi yang dekat, Taman kota adalah solusi nya.
di plaza taman kota
Icon taman kota Purwodadi

 Fasilitas parkir sepeda.
 Menghadirkan fasilitas parkir sepeda di taman ini, adalah pemandangan yang seharusnya sangat biasa. Tapi bagi manusia dari Jogja ini yang parkir sepeda saja susah di kotanya sendiri (meskipun (hanya) di malioboro sekarang sudah tersedia.2017) salah satu bentuk pemuliaan terhadap kemanusiaan di suatu kota adalah pemuliaan terhadap pejalan kaki dan pesepeda. Bukan perkara  pesepeda dengan euforia ber-medsos-nya yang mengklaim, pesepedalah yang mempopulerkan berbagai lokasi wisata, tapi bahwa pembangunan kota itu harus berorientasi pada penduduknya, yang menggunakan, manusia.

Saya jadi belajar kembali, bahwa transportasi sepeda/pesepeda hanya KW 1 dari bentuk suatu kemanusiaan dalam kota. Orignialnya tetap transportasi dengan berjalan yaitu pejalan kaki.


Bentuk pemuliaan manusia dalam suatu kota

(Bersambung lagi)