Rabu, 02 November 2016

Sepi dalam bingkai (ku)

“Sepi… adalah ketika tak ada lawan tanding yang setara.
Entah karena mereka lebih tinggi ataupun lebih rendah.
Magel, adalah kata lain dari sepiku.”

Diatas adalah cuplikan dari salah satu bait puisi yang pernah saya buat. Memperingati hari raya nyepi, hari raya yang bisa dibilang unik. Unik karena biasanya hari raya ialah saatnya untuk “Hore!” karena ada kata ‘raya’ dalam frasa tersebut, tetapi dalam hari besar ini, pe-raya-an hanyalah awal dari suati inti; nyepi.

Sepi berarti tak ada lawan tanding, yang berarti tak ada dialog, diskusi, debat ataupun jotos-jotosan. Dalam arti harafiah maupun dalam lingkup pikiran. Dunia ini begitu ramai akan dialog akan kesenjangan, bahkan manusia dengan alam pun memiliki kesenjangan yang ekstrim. Mencoba menghilangkan kesenjangan tersebut merupakan bentuk nyepi. Alam terlalu keji, ya sudah biarlah demikian, Gunung itu terlalu tinggi, ya sudah, biarlah demikian. Tak perlu ada jotos-jotsan rasa dan keinginan untuk melebihi, atau mengurangi. Itulah sepi.

Menghilangkan tandingan adalah upaya awal. Tandingan tersebut ada di dalam pikiran, dan itu yang paling rumit untuk dilawan, karena kita terus membutuhkan lawan. Lantas apakah dengan nyepi kita menghadirkan lawan berupa sepi itu sendiri?


Begitu banyak rambu di jalan, tapi tak ada yang mematuhi. Mereka tau tapi tidak mau tahu. Begitu juga yang kurasakan, bahwa berbagai macam hal punya pola dan korelasinya, tetapi aku bisa apa?

Bisa jadi adalah lingkungan aku dibesarkan, yang menuntut kesendirian. Imaji mengerikan akan perempuan sering terlewat di benak. Hingga playstation adalah teman terbaikku.

Alkitab bukanlah hal yang harus dipelajari di gereja setiap minggu sekali/dua kali. Tapi bisa dipelajari di rumah. Dan hal itu membuat kesendirian berdampak lebih lanjut.

Kesendirian dikala mereka ribut mengenai kulit luar, dan aku tertarik pada hal yang orang-orang tidak tertarik. Maka aku tidak menarik.

Berbagai pola muncul jelas dan terarah menuju kemana, dan aku menjadi aneh.

Sepi…..

11-24 Juli 2016 (Part 4 Final)

Tuhan sudah merencanakan semuanya…

Kami bertiga melanjutkan lagi sekitar dua kilometer dan ketemu Mie ayam, tanpa pikir panjang makan sudah meski di sebrang jalan! Ketika mau nyebrang, pesepeda touring lewat dan kami sapa, ternyata beliau berhenti. Acara berlanjut berkenalan, selfie dan berkenalan di media sosial. Namanya Wing Sentot Irawan. Dengan sepeda federal cat gelap, sadel yang punya suspensi klasik. Panier belakang full loaded ditambah pompa ban yang khas di ikat di belakang sepeda. Beliau memilih lanjut ketika kami tawari untuk makan bersama.

Swafoto bersama Wing Sentot Irawan
Memang harga sesuai bannernya, murah. Enam ribu rupiah tapi porsi dipersedikit.

Perjalanan lanjut ke arah Sarangan, kami melewati daerah Plaosan terlebih dahulu. Merasa begitu lelah, ternyata madu harganya mahal. Urung niat beli madu untuk energi ekstra. Memasuki tanjakan utama, kecepatan nggremet tak bisa dihindarkan.

Empat sore, lima sore setengah enam sore baru kami sampai Sarangan. Perlahan tapi yang pasti tiap tanjakan kami istirahat. terimakasih sekali pada Bung Tito yang ngemong dua keong ini ^_^  Tidak mengambil ke arah telaga, kami lanjut dan istirahat magrib di warung. Cek rem dan kesiapan sepedaku, tak lupa tehh panas menemani. Hari mulai gelap dan kami lanjut. Tak sampai tanjakan berikutnya usai. Hujan datang. Segera mencari warung yang tutup, dan kami okupasi. Sepeda tak bisa terlindung dengan baik dari hujan, begitu juga kami. Derasnya hujan melembabkan kami dengan tampiasnya. Elisa tidur dan minta dibangunkan kalau ujan reda. Dingin tak tertahanakn terimakasih lagi pada Bung Tito untuk perapian spiritusnya.. kopi dan biskuit hangatnya.. sleeping bag seharga Rp 82 ribu gagal menjamin kehangatan semalaman..

Menggigil ketika tidur, ialah musik malam itu. Dingin ialah selimut, hujan sapaannya. Warung milik siapa, kami berterimakasih…
Malam yang dingin, kabut, gelap, kayu dan tikar…

hujan usai dan kami batal melanjutkan perjalanan karena dinginnya begitu uhuy. Bung Tito membuat api-api untuk menghangatkan diri. Sedikit menghangatkan lanjut tidur. Elisa bangun dan api-api. Sempat terbangun sebentar untuk memakan beberapa biskuit dan lanjut tidur.

...............................................................................................

24 Juli,

setelah subuh terbangun, dan menemui Bung Tito brukut di balik tembok kios, mengokupasi wc di dekat situ untuk mencicipi air es ala Sarangan dilanjut persiapan perjalanan hari terakhir.
tidak berani langsung digenjot

tak berani langsung pancal karena otot begitu kaku kedinginan, bersama kami tuntun hingga dua tanjakan. Jalan agak datar lanjut kami kencangkan otot memancal pedal. Berat rasanya otot dingin disuruh mengeluarkan energi untuk nanjak. Hangatnya sinar mentari tak dapat dipungkiri memberi kekuatan bagi otot juga.


tiba di simpang jalur lawu lama dan baru, setelah berfoto maka dipilihlah jalur lama karena lebih dekat meski tanjakannya syahdu. Jalur ini sepi, dan semaknya gondrong.
persimpangan jalur lama (kiri) dan baru (kanan)

Ketika kendaraan besar lewat kami harus mengalah karena jalannya yang sempit. pantas dibuat jalur lawu baru yang lebih landai dan luas. Banyak waktu digunakan untuk mendorong sepeda, dan baru satu tanjakan butuh asupan gizi. Dibukalah mi instan dan dimakan untuk energi, tak lupa di tikungan terakhir kami masak air untuk hangat-hangat.
gegenen

Ilusi optik ketika ketemu jalur utama lagi. Jalur serasa datar tapi tetap berat dikayuh. dan setelah  jam berjuang, kami sampai Cemoro Sewu. Jelas kami foto-foto di situ. istirahat dan cari kamar mandi, baru lanjut perjalanan turun.
foto di cemoro sewu


Lupa belum sarapan, sewaktu turun ada pencucian wortel gesit aku langsung minggir dan nempil wortel untuk sarapan.

"misi Bu, boleh nempil wortelnya satu?"
"boleh mas, satu apa? kilo napa karung?"
"mboten bu, satu biji aja"
"woalah, monggo ambil aja, itu mbaknya juga ambilkan sekalian"

dan akhirnya sarapan wortel.

turunan di jalur baru arah Cemoro Sewu dari Tawangmangu begitu indah. sejuk, dingin, dan turunan yang tak habis-habisnya. berhenti untuk berfoto di beberapa titik. dan makan siang di dekat Terminal Tawangmangu. Makan soto nyam-nyam.
perjalanan turun itu berasa begitu lambat, padahal tercatat kecepatan bisa sampai 40km/jam. Sore kami sampai di Karanganyar dan makan sore di Solo. di Kartasura juga berhenti untuk sholat Magrib dan cuci-cuci sebelum melanjutkan 60km terkahir perjalanan kami.

perjalanan pulan melewati jalan Solo ini penuh keharuan dan ke-embuhan. 60km terberat, terutama secara mental pribadi. perjalanan paling menguras emosi, sehingga ada yang aneh sedikit gimana gitu.. sempat bertemu dengan rombongan PITNIk yang pulang dari Down Mall di Solo dan berfoto.

konflik batin muncul ketika, salah komunikasi dengan Elisa dan Bung Tito melaju begitu cepat, dan saya tertinggal di belakang. ketika mencoba ngebut mengejar, dan akhirnya tak ketemu 2 orang itu di depan. ahirnya pecah ra karuan rasa ini. Sepeda saya ambrukkan di pinggir jalan gapura masuk klaten, dan mengistirahatkan sambil minum air sebanyak-banyaknya.

ternyata... Bung Tito berhenti untuk sholat dan aku sudah di depan sendiri, pantes ngebut sak kemeng-e gak nemu siapa-siapa.. akhirnya bersama, lanjut perjalanan.
ngangkring di klaten
..
menjelang keluar klaten, ditraktir ngopi oleh bung Tito, meleremkan ati dan badan, juga biar kompak lagi dan lanjut. perjalnaan ke Jogja berhenti sekali lagi di pom dan perlahan kami menuju Tugu Jogja...

Tugu itu tetap disana. kami berfoto disana,
tak ada yang istimewa dari berfoto bersama di Tugu Jogja sebelum berpamitan,
namun yang istimewa itu selalu ada di ingatan kami.
..
Terimakasih atas pengalman indah ini !
tugu jogja 24 Juli


Pengeluaran: 23 Juli
Makan                  : pecel + minum 8rb
                                Kratindaeng 2 x 5rb = 10rb
                                Mie ayam + minum 2x 8rb =16rb

Lain2x                   : as roda 9rb
                                 Ban luar  40rb
                                 Ban dalam 16rb
                                
Pengeluaran 24 Juli:
Makan                     : kratindaeng = 7500, Wortel: gratis, Soto+minum 20.000, sop pak min: 18.000. burjo 10.000

3 tahun roda berputar

2013 adalah awal dari sepeda yang dibeli tahun 1994 keluar lagi setelah sekian lama di gudang. Diawali oleh teman yang barusan beli sepeda dan ngajak sepedaan sebelum berangkat diskusi malam Sabtu Pahing, kami sepedaan ke plengkung gading dan berakhir di Mangkubumi. Terkaget karena malam itu buanyaaakk sekali pesepeda nongkrong di ruas jalan itu. Kami pikir ada event apa gitu pada awalnya, dan setelah sekian bulan baru sadar ternyata malam sabtu Pahing waktu itu bertepatan dengan aktivitas Jogja Last Friday Ride (JLFR).

Asiknya atmosfir JLFR yang hidup diwarnai dengan berbagai macam sepeda dan sorakan pemudi-pemuda memang selalu dinanti di akhir bulan. Hingga akhirnya fanspage JLFR membagikan kegiatan sepedaan yang digagas oleh Umbulharjo Ngepit, tinggal di umbulharjo juga maka pada hari H datanglah ke acara sepedaan tersebut. Itulah awalnya saya bergabung dengan komunitas sepeda.

Dari komunitas sepeda ternyata dapat mengenal lebih banyak teman dari komunitas-komunitas sepeda yang lain. Kadang berkunjung ke komunitas lain untuk mengikuti acara yang diadakan. Kadang komunitas lain juga datang ke komunitas sini. Saat itu yang saya ingat banyak komunitas berdiri dengan basis kedaerahan, seperti umbulharjo, bangirejo, godean, sleman, berbah dkk dkk..

Tahun 2013-2014 sepertinya JLFR sedang pada masa emasnya bila ukurannya adalah pesepeda yang ikut. Kridosono dipastikan macet, pesepeda banyak yang menunggu aktivitas ini start di ruas jalan keluar dari kridosono. Bahkan katanya ada kalau hanya 3000 pesepeda berkumpul tiap akhir bulan di Jogja dalam satu aktivitas sepedaan ini. Tua muda  mudi, bebas mengekspresikan dirinya dalam sepedaan ini. Kostum keren dan unik, biasa ditemui, pesepeda juga tak sedikit menggunakan baju2 terbaiknya dalam aktivitas ini.

Klakson ranmor bagaikan suara latar bagi pesepeda, semakin lantang pula klakson dibunyikan oleh pengendara mesin yang tak sudi jalan aspal bersama ini dirampas sebulan sekali. Sepeda kami tetap melaju.

Kolaborasi antar komunitas juga muncul sebagai inisiatif memperkaya JLFR. Ketika puasa bagi takjil, bagi nasi bungus utk buka puasa, berbagai acara komunitas, dan yang paling ditunggu saat ulang tahun JLFR, karena pasti ruame dan banyak lomba yang berhadiah menarik dari berbagai komunitas yang urunan.

Tak hanya di dunia nyata, dunia maya juga penuh pro dan kontra yang menjadikan diskusi menambah wawasan tentang sepeda dan kota. Hingga impian yang begitu indah bila tiap hari adalah JLFR yang berarti ribuan orang bersepeda tiap harinya di Jogja.

Memasuki 2015 muncul Jogja Second Friday Ride, sepedaan di minggu kedua tiap bulan, yang akhirnya pupus juga setelah berjalan 6 bulan. Mungkin diharapkan oleh pendirinya supaya bisa seramai JLFR tapi yah.. JLFR tetap di hati.

Tahun 2015 cukup menampar pesepeda, karena banyaknya isu begal, klitih dan pesepeda yang diajak gelut saat JLFR. Entah kenapa, pasti ada yang tidak suka/takut pada masa banyak tak terorganisir dan aktifitasnya sustain dapat bertahan hingga 5 tahun hanya dengan rute!

Sepertinya lelah dan pawang hujannya begitu hebat, 2015 ulang tahun JLFR hujan deras, bagaikan ono udan salah mongso. Jogja Kota Night Ride(JKNR) kemudian muncul di minggu pertama tiap bulan, diawali para pesepeda yang belum puas karena belum merayakan ulang tahun JLFR 2015 di akhir bulan karena hujan. Namun JKNR juga tak tahan lama rutinitasnya.

2015 pesepeda yang ikut JLFR menurun drastis diterpa berbagai isu. Tak lama, di medsos, bagaikan paham keadaaan redupnya JLFR, heboh grup Jogja Gowes yang langsung naik daun diserbu pesepeda. Sepedaannya tidak malam hari seperti JLFR, cenderung lebih aman dari begal, dan menawarkan sepedaan tematik: menuju ke suatu lokasi tertentu, tidak sekadar sepedaan muter kota seperti JLFR.

Hebohnya Jogja Gowes juga memicu komunitas tematik lainnya bermunculan, baru maupun lama. Seperti Pitnik, pit community, segoro geni,dll. Sehingga eksistensi mereka diwadahi dalam grup yang disebut komunitas jogja gowes.

Pada perkembangannya jogja gowes sebagai komunitas muncul anggapan seolah-olah hanya menjual jersey dan yang pakai jersey langsung dianggap anggota komunitas. Memang namanya mengandung kata jogja yang berani memakai nama jogja berarti bisa menaungi. Dengan ini jogja gowes mungkin maksudnya sebagai komunitas induk pesepeda di Jogja. Seiring berjalan waktu, grup medsos jogja gowes secara fungsi berubah menjadi forum tempat bertukar pendapat tentang sepeda  dan  tempat eksistensi pesepeda yang sebelumnya belum muncul dirasa diakui.

Ide selalu lahir dan diperbaharui, kebutuhan kelompok untuk diakui tetap ada dan tanpa meninggalkan hal tersebut muncul ide sepedaan bersama tanpa sekat, lintas komunitas, namun juga guyub, hingga akhirnya muncul gowes bareng (gobar) yang sangat kental budaya silaturahminya antar komunitas yang ikut.

Dinamisnya budaya bersepeda di jogja ini begitu asik untuk dinikmati juga diikuti dan membuktikan bahwa masyarakat Jogja sebenarnya mempunyai budaya bersepeda yang hebat dari berbagai kalangan. Seperti sepedaan sebenarnya sudah ada dalam gen masyarakat jogja dan hanya perlu di sentil saja.

Hingga berkembang seperti sekarang, ada yang bilang JLFR sekarang sudah tidak seramai dahulu, namun kata-kata seperti itu hanya berlaku bila ukurannya adalah banyaknya pesepeda yang ikut. Lebih dari itu, dari puluhan kali sepedaan JLFR masa sih kamu ga punya daya tular positif yang bisa kamu tularkan ke orang lain? Begitu pula berbagai komunitas yang silih berganti mati dan muncul. Komunitasnya mungkin mati, tapi anggota-anggotanya pasti sempat menularkan virus positif ini ke orang lain barang satu. Hingga akhirnya semuanya berkembang sesuai kapasitas masing-masing di posisi masing-masing.

Dan kenapa sih, dia harus ikut aliran/cara bersepedaku? Mau banter, mau pelan, mau nuntun, mau sepeda Cuma jadi bahan klangenan… apapun itu, rayakanlah saat itu. Karena setiap kegiatan bersepeda adalah ungkapan atas kecintaan akan sepeda yang berbuah kegembiraan bersama.

Tapi, bagaimanakah menularkan kegembiraan bersama ini pada perempuan dan anak-anak?
tetaplah bergembira ^_^

Kamis, 11 Agustus 2016

Pertengahan Oktober 2017


Pertengahan Oktober 2017 ini diriku merasa sibuk. Tentunya kesibukan adalah suatu pembelajaran bahkan adalah sebuah investasi bagi masadepan lebih baik, hahha…amin..

Diriku dimintai tolong sahabat dekatku, Rizal untuk membantunya mengerjakan Tugas Akhirnya. Dimulai dari malam menjelang dia evaluasi, sudah mapan bobok, saya ambil ponsel, ternyata Rizal whatsapp minta bantuan. Jadilah malam itu saya meluncur ke kos dia berbekal laptop dan perangkat pendukungnya. Dimulai dari brifing dan strategi perang melawan deadliine. Singkat cerita dengan kemampuan saya yang terbatas juga, Rizal lolos evaluasi, dan saya tidur..

Pertempuaran tak berhenti disitu, usai evaluasi, masih ada pertempuran lain; pengumpulan gambar 2d dan poster, maket, membuat presentasi. Semangat rizal! Bagianku menghajar gambar 2d, alias gambar kerja prarencana. Estimasi waktu dengan target yang ditentukan, sehari 2 gambar masyuk lah, hingga pengumpulan pas gambar standart terkumpulkan.

Pagi siang malam, hampir tiap hari, haha.. hidup di kos Rizal. Kadang ada kiriman makan dari mbaknya yang baik hati, kadang kami ngiras di warung. Diteman kopi dan rokok yang setia menemani kegiatan peperangan ini. tak terasa, kegiatan yang berulang pun mengalami titik jenuhnya. Meskipun secara tidur tercukupi, pada Jumat seminggu sebelum pengumpulan, otak ini tidak bisa diajak untuk miikir menggambar. Jadilah aku mohon diri dari Rizal untuk off dulu.

Eh, ternyata offnya berkepanjangan, karena Sabtunya saya ujug-ujug rapat yang harusnya jumat dipindah Sabtu. Oh iya, terimakasih sebelumnya untuk Natali, yang sudah memberikan pengalaman kepanitiaan acara sepeda Pahlawan #3 Napak Tilas Diponegoro. Menjadi panitia acara umum seperti ini ternyata membutuhkan urat syaraf tebal juga. Tapi bagaimanapun, kaos panitianya aku sukak warna birunya!

Akhirnya Jumat-Sabtu dan Minggu saya tidak produktif menggambar gambar prarencananya Rizal, karena berkesibukan memanitiani acara sepedaan. Bagian registrasi dan cek poin di nomor 140km. Minggu subuh meluncur ke Selarong, tempat start acara sepedaan ini. kok lagi-lagi parno dengan kegelapan selama perjalanan. Siap-siap hingga peserta datang, dan jebret, ambyar ketika rombongan datang dan registrasi. Maapkeun lah ya…

Usai registrasi selesai, dan rombongan nomor 140k start disusul 25k start maka kami bersiap menuju check point. Menumpang pikep, menuju cek point 1 ngluwar, eh… sampai Ngluwar, peserta banyak yang sudah datang, buset, memang para pembalap nih yang barisan depan. Melakukan ritual panita cek poin; mencentang dan membagi snack tak lupa membersihkan tempat tidurku, eh, salah, lokasi setelah usai jam batas cek poin; 9.00. kami lanjut ke cek poin bayangan di Sentolo, depan RS Nyi Ageng Serang. Sarapan dan standby hingga 14.30 peserta terahir lewat. Kami sisir jalur menuju cek point 3 dan balik lagi ke Selarong. Usai sudah pengalaman yang mengasikkan sebagai panitia ini. termakasih sekali lagi Natali!

Oke, ternyata kesehatan mental perlu dijaga juga, maka kembali ke Rizal, siap mengganyang sisa garapan yang dimintakan tolong ke saya. Dengan otak fresh maka, digaraplah! Meskipun begitu, karena 2 hari miss target, gambar prarencana baru finish minimal kami kerjakan di Kamis dini hari. Pagi hari niat pulang dari kos untuk ngeprintka, eh gembok sepedaku ga bisa dibuka, 20 menit di garasi kos Rizal malah kaya orang maling, yasudah lah, sepeda Rizal ku angkut, ku kendarai pulang. Tak lupa lewat jembatan layang, eh habis begadang takut nanjak, lewat bawah saja. Nasib membuktikan tergesa-gesa tak baik, maka lewatlah 3 kereta api untuk ditunggu. X)

Singkat cerita ter print 4 eksemplar dan kuserahkan padamu, calon Sarjana. Lanjut menerima pengumpulan tugas Tes Tengah Semester di Kampus dan balik kos Rizal teparrrr…. Dua sahabat terdekat; Mikha dan Rizal sudah menuju akhir dari kehidupan kampus, dua malam yang lalu ku lihat lowongan sebagai drafter, baiklah bila kini saatnya memulai karir yang sesuai bidang kuliahku. Sebelum terkapar, ku kirim lamaran ke Puri Brata. Malamnya Rizal menunggui maket yang otw Jumat dikumpuulkan- saya bobok manis di kamarnya :3

Esok hari ayub-ayuben, ingat sepeda motor terparkir di TPK balik lah saya dari kos sahabat saya, dan kutemui helm kesayangan saya hilang. Terpaksa dehh pulang tanpa helm. Sampai rumah ada kakak, eh dengan baik hatinya kakak menanyakan pada satpam gereja, dan ternnyata helm saya diamankan oleh satpam! Pagi hari bertemu dengan orang baik hati! terimakasih!...

Ya begitulah singkatnya cerita kurang lebih dua Minggu saya, dan untuk mereward diri, siangnya saya diajak mikha ke Blue Lagoon untuk mendinginkan dan menurunkan ritme otak supaya selaras lagi dengan tubuh yang mulai gak sinkron ini. hingga petang kami pulang dan istirahat.

Menyongsong ujian pendadaran Rizal, pacarnya datang dari jakarta. Dan weekend ini saya vacation lagi bikecamp di pantai Goa Cemara. Senin ngampus untuk menyaksikan Rizal di-dadar-oleh penguji. Asiknya, kami bisa masuk ruangan ujian! Menyaksikan langsung Rizal ujian! Yey! Usai Rizal ujian, menunggu jam 13, gantian teman satu angkatan Djosh, pendadaran. Kesempatan masuk ke ruang ujian terlewatkan karena aku kelaparan, mengajak mikha makan siang L maaf ya…
Malamnya tepar gasik lagi dan sekarang selasa… bangun gasik, dan jaga Tes tengah semester jam 9.00 pas sekali sebelum berangkat, ditelpon dari Puri Brata, menginfokan supaya datang interview Rabo depan. Ku iyakan dengan sedikit deg-degan dan berangkat ngampus!!

Semoga bisa diterima dan jadi pengalaman kerja yang menyenangkan!

11-24 Juli 2016 (Part 3)



Hujan ialah kawan, dingin ialah selimut dan perjalanan pulang ialah puncaknya.




Hari ke-8
Usai sekian hari perjalanan hingga Bromo penuh dengan cahaya matahari, beda dengan esok ini. Mendung menggantung dari pagi menemani kami menikmati esok di pinggir hutan pinus. Black Café berada di pinggir jalan di Nongkojajar dan langsung di belakang kafe adalah Hutan Pinus. Berbincang indah dengan sang pemilik café dilanjut dengan cek ulang sepeda, terutama melumasi bagian bergerak pada sepeda setelah seharian dimakeup abu vulkanik Bromo. Tentunya berfoto di hutan pinus tak ketinggalan.

fight your head, terkadang musuh kita adalah pikiran kita sendiri,



Dipersilakan sarapan oleh Mas Black dan kami dengan lahap menyantapnya. Puji Tuhan, terimakasih Mas Black. Menjelang pukul 10 seperti yang diberitahhu mas Black, Noel menyapa via ponsel bahwa ia sudah sampai di pertigaan Nongkojajar, lanjut kebawah dan bertemu dengan kami.










Cukup persiapan, kami melanjutkan perjalanan dengan rintik gerimis setelah berfoto bersama sang empunya café. Naik ke pertigaan Nongkojajar dan ambil kanan, jalur tembus Jabung.

hujan lagi, lagi hujan
Tak lama hujan turun, dan kami berteduh di teras rumah penduduk. Ditemani seorang ibu dan anaknya yang dari pakis berteduh juga, sebelum melanjutkan perjalanan ke atas. Usai, kami melanjutkan perjalanan. Belum jauh dan jalan mulai menanjak, kami berteduh lagi. Hujan menyapa dengan nikmatnya. Sekali lagi sebrang tempat kami berteduh adalah hutan Pinus lain. Berteduh di teras rumah penduduk lagi.

Suara air mengadu dengan tanah menemani sesaa sebelum sedikit mereda dan kami melanjukan perjalanan. Jalan sedikit turun dan banyak menanjaknya tapi lumayanlah bagi energi yang belum pulih total, terasa beranya. Hingga perjalanan kami terpaksa mendorong sepeda karena Elisa sudah lelah, dan hujan mulai menyapa kembali. Di tikungan tajam Tlogosari , perbatasan kabupaten Malang-Pasuruan kami dipersilakan berteduh dan beristirahat di gubuk oleh beberapa orang relawan penjaga tikungan tersebut.


 Berbincang dengan relawan tersebut dan dia tahu perbekalan air kami menipis, sontak beliau menyuruh yang lebih muda untuk beli air minum. Kami dibelikan 2 air mineral berbool 1,5 liter. Terimakasih. Dengan kompor kami menyeduh kopi, dan apapun yang bisa diseduh untuk melawan dingin.


Dua kali adzan terlewatkan 

 dan hujan masih indah menyapa, kabut mulai datang tapi sebentar pergi. Dalam pikiranku esok tanggal 20-21 ada upacara di Bromo, pastilah sang Maha kuasa tak mau upacara tersebut terlalu banyak debu. Jadi, nikmati saja hujan ini, di gubuk perbatasan. Bung tito tertidur, elisa juga. Entah aku tertidur atau tidak. Disuguhi relawan ahli menolong para mobil yang tidak kuat menaiki tanjakkan. Sigap mengganjal batu dan menaiki mobil bak terbuka bila ada, supaya mobil tersebut bisa lebih menapak aspal. Berbahya memang, tapi ya.. sekali lagi kami bertemu manusia. Lembaran seikhlasnya atau seadanya melayang dan diterima aspal sebelum sampai di tangan para relawan ini. Bentuk apresiasi terhadap usaha mereka.

Menjelang sore tak kunjung reda. Kami terpaksa beranjak dari selimut dingin dan berkemas. Cover bag penuh air dan jaket basah menemani kami mendorong sepeda di tanjakan. Untunglah ini tanjakan terakhir, setelah itu turunan hingga Jabung, rumah mas Doank tempat kami menginap satu malam lagi.

Sejenak berhenti untuk magriban dalam perjalanan, kusempatkan membeli shampoo, sudah kangen keramas! Selama perjalanan banyak kuburan di kanan kiri jalan, yang menandakan bahwa di lokasi ini adalah pemukiman yang sudah tua. Rem yang tak berfungsi dengan baik adalah teman, dimana dengan menekan rem penuh, dan aku masih bisa menyalip tiga temanku! Wow! Harus ganti kampas rem!

Menjelang jam 19 kami sampai Jabung rumah mas Icroel. Sekali lagi, terimakasih diterima dengan hangat J bebersih diri, ngobrol, makan dan tidur. Malam itu teman mas Icroel datang dan sedikit berbincang mengenai perjalanan kami.
Terimakasih

Pengeluaran hari 8:
Makan  : -
Lain-lain: shampoo Rp 1000,-

Hari ke-9
Bangun dengan badan segar dan aroma masakan yang sedap. Esok itu pesta! Tiga macam lauk disediakan, dan semuanya daging, entah harus berterimakasih berapa kali lagi, yang ingin ku katakan, aku sangat berterimakasih sangat banget sangat! Istri mas Icroel berpamitan duluan karena kerja, dan tak bisa nguntapke. Begitupula kami usai sarapan. Persiapan dan berpamitan dan sekali lagi, terimakasih!


 Tak sampai 5 kilometer kami bertemu dengan romboongan TNI AU bersepeda dari belakang. Bertanya-tanya tentang perjalanan kami, dan berkenalan. Tak lupa ucapan terimakasih kami sekali lagi, karena sampai Pakis kami diajak sarapan lagi! Mendengar cerita para prajurit naik hercules hingga papua sembari menyantap soto merupakan hal yang wah! Dilanjut berfoto bersama dan mereka dengan kempol power mendahului rombongan kami.

Beberapa toko sepeda kami jajal tapi tak ketemu standar untuk pengganti punyanya Noel. Mendekati stasiun, aku mengajak rombongan untuk mampir (sebenarnya ngalang) ke Vellodrome (karena penasaran belum pernah lihat bangunan vellodrome) 7,5 km berarti PP 15km dari situ, sedikit ngebut karena mendekati jam 11. Berfoto secukupnya di vellodrome dan lanjut ke pasar besar malang. Diputuskan untuk sholat dulu di masjid besar baru ke pasar besar. di pasar besar barulah dapat standar Noel. Seharga 25 ribu.


Di toko sepeda tersebut kami ngeyup lagi, karena hujan dann ketika reda kami lanjut ke pasar Comboran untuk cari celana dalam dan celana pendek, karena hujan membuat stok habis di dalam pannier. Di pasar Comboran ternyata pasar barang seken, jadi ga ada, malah aku dan bung Tito beli jamu beras kencur yang murah meriah dan uenak.



Perjalanan lanjut ke toko sepeda ketika kami akan berangkat ke bromo. Aku membeli tapal kuda dan kampas rem seharga 36ribu, sadar bahwa masih ada turunan pujon-pare dan sarangan-solo. Balik ke Karangploso dan merasakan kemacetan Malang. Mampir di swalayan untuk beli celana dalam seharga 15rbu XD tanjakan ke Karangploso begitu nikmat dengan badan kami yang sudah mudah lelah. Menjelang jam setengah lima kami sampai Karang Ploso. Mongee, si anakan macan remba langsung di berikan asupan oleh Elisa, tak lupa usai itu kami menceburkan diri di kolam renang.

Malamnya Om Tatok dan Charlotte pergi latihan ketoprak. Kami istirahat.

Pengeluaran hari 9
Makan  : -
Lain2x   : tapal kuda dan kampas rem Rp 36.ooo,-
                  Celana dalam Rp 15.ooo,-

Hari ke-10

Bangun gasik jam setengah enam, lihat di kardus, mongee sudah mati. Bangkainya aku taruh di atas kardus. Elisa bangun dan sedih lihat mongee mati. Minum air putih bukannya seger tapi jam tujuh tidur lagi hingga jam sepuluh. Baru bisa melanjutkan perjalanan usai makan siang.

Usai berpamitan dan mengabadikan momen, kami berangkat. Terimakasih Om Tatok & charlotte!

Hari paling singkat.

 Perjalanan hanya 9kilometer dari Karangploso hingga kantor camat Batu. Bannya bung Tito dirasa bocor dan diganti. Usai ganti ban, hujan menyapa kembali dan dingin menjadi selimut kami. Ditawari bermalam di kantor camat, dan kami tak menolak. Menghangatkan badan dengan menyeduh minuman.
 


Mulai gelap lapar melanda. Hujan usai tinggal beberapa tetes kadang jatuh. Aku dan Elisa keluar membeli makanan di dinginnya kota batu nan syahdu.

Selamat Ulang tahun Elisa!

Kembali ke kantor camat dan tidur di langgar.

Pengeluaran:
Makan  : nasi mawut Rp 24.ooo,-
                  Minum Rp 2.5oo,-
                  Ketan Rp 10.ooo,-
                  Mi Instan Rp 14.ooo,-

Hari ke-11

Narsis dulu di depan kantor camat batu
Pagi menerjang seperti tak kenal lelah. Bangun dan bersiap. Cek ponsel dan dari Mas Christmas kami dianjurkan bertemu teman di alun-alun Batu untuk di pandu. Usai foto-foto dan berkenalan kami lanjut ke museum Angkut (foto saja) lanjut lagi ke Pujon dan mampir di bukit paralayang. Wow! Meski lambat akhirnya aku sampai juga. Terimakasih banyak ya mas!! Aku sudah hampir mabok tanjakan!





Alun-alun kota Batu yang khas dengan bianglala dengan tiket Rp 3000,-


berfoto di museum angkot, gunung Kawi sebagai latar, dan foto ketika berkunjung ke rumah mas Shulton


bukti paralayang di atas desa Songgoriti
Jalur ke bukit paralayang lewat kota Batu ke arah Pujon. Dari Pujon turun sedikit lalu kanan ke arah bukit paralayang. Itu yang katanya jalurnya landai. Katanya ada jalur yang lebih cepat tapi tanjakannya melelahkan, lewat Songgoriti. Meskipun nggremet akhirnya sampai juga!!!
Usai dari paralayang kami di hantar ke rumah mas Christmas dan dia cerita bahwa ketika dikontak dia langsung ke patung Sapi pujon, padahal ketika di kontak Mas Icroel kami baru mau naik ke Bromo.



Istirahat dan makan siang di rumah Mas Christmas, dengan cerita asik mengenai wisata alam dan cerita tentang pemuda kampungnya yang begitu antusias membangun langgar. Noel dan Elisa terlelap, ditemani hujan yang menderu. Usai hujan aku diajak melihat karya pemuda yang  usai mengecat kubah dengan motif granit hijau. Keren!

Kembali ke rumah dan Bung Tito mengajak lanjut perjalanan. Mohon maaf mas Christmas, lain kali kami menginapnya _/|\_
Ucapan perpisahan, dan kami dihantar ke rumah mas Shulton untuk pamitan juga, eh malah disuguh mie ayam! Kami kekenyangan hingga tanjakan menuju ke jalan utama aku tak kuasa mengayuh!

Sekali lagi Terimakasih!
Serasa turunan tiada henti hingga pare. Sempat pinjam kunci ingrris di bengkel karena komstir sepeda Elisa kocak. Mulai gelap dan senter menyala, menyisir jalan panjang turunan hingga pare. Sebelum masuk pare kami makan malam di warung sate. Lumayan mengisi perut, dan ternyata di pare tak bertemu tempat bermalam yang asik, terpaksa kami lanjut ke arah kediri. Kira-kira jam sepuluh malam baru kami ketemu pom bensin yang memperbolehkan kami bermalam di langgarnya.

Pengeluaran hari 11
Makan: sate seprsi untuk 4 orang Rp 14.ooo,-/4
                Nasi Rp 2.000,-
                Minum Rp2.ooo,-

Hari ke-12

pemandangan pagi dari SPBU
Sekali lagi pagi bagaikan tak punya rasa iba, begitu cepat datang dan kami harus melanjutkan ke Kediri.
Tak sampai dua jam kami sampai di simpang Lima, berfoto menghabiskan pagi disitu dan lanjutkan perjalanan.








 

tinggal depan mata
berpose dong!

usai dari simpang lima, ke arah barat kami genjot sepeda dan dekat pabrik rokok kami berhenti untuk charge dan sarapan.

berpose di candi Lor
candi Lor bersama-sama
Perjalanan dilanjutkan ke arah utara, nganjuk lalu madiun. Hari itu panas, dan lelah. Setengah duabelas kami istirahat dan Bung Tito jumatan. Usai, lanjut dan berhenti di warung kecil untuk minum teh panas. Lanjut lagi dan sepertinya salah pilih jalan. Karena jalan rusak, jalur alternatif ke arah madiun tidak lewat Nganjuk kota. Tapi di awal jalan kami bisa berfoto dengan Candi lor.

Perjalanan lebih santai secara mental karena trukk pada lebih lambat daripada di jalan besar, hingga kami bertemu dengan rute berangkat alas Caruban, melwati saradan, hingga ambl kiri arah madiun. Mampir mandi sekalian maghirban di pombensiin juga makan murah meriah di warung langganan supir truk. Lanjut lagi ke Madiun.


 Sekali lagi hujan menyapa kami, di lingkar luar Madiun dan kami terpaksa berteduh di SPBU. Hingga pukul 22.00 kami melanjutkan perjalanan karena SPBU tersebut masih baru dan tidak boleh menginap disana. Lanjut arah magetan, modal nekat. Ga ada warung buka, ga ada SPBU buka. Akhirnya setelah terminal bisa beli air putih dan lanjut naik arah Magetan.
ngantuk pun datang 22.30 masih menuju Magetan







Sunyi jalan sepi, tak lebar juga. Kiri jalan slokan menemai dengan suara airnya gemericik. Tak lupa ban sepedaku bocor menyapa. Terpakasa ganti ban di tengah malam. Tak lupa juga ditolak untuk menginap di polsek, dan dirujuk di polres. Polres yang katanya 2km (jarak orang lokal) jauuh, diambah lelah dan jalan yang menanjak. Ada warung kopi masih buka, dan kami membeli

operasi penambalan ban luar + diganti ban dalamnya
kehangatan di tempat tersebut. Sebelum akhirnya menemukan polres untuk dipersilakan beristirahat. Tak lupa langsung tidur dengan sleeping bag kesayangan.