Hujan ialah
kawan, dingin ialah selimut dan perjalanan pulang ialah puncaknya.
Hari ke-8
Usai sekian hari perjalanan hingga Bromo penuh
dengan cahaya matahari, beda dengan esok ini. Mendung menggantung dari pagi
menemani kami menikmati esok di pinggir hutan pinus. Black Café berada di
pinggir jalan di Nongkojajar dan langsung di belakang kafe adalah Hutan Pinus. Berbincang
indah dengan sang pemilik café dilanjut dengan cek ulang sepeda, terutama
melumasi bagian bergerak pada sepeda setelah seharian dimakeup abu vulkanik
Bromo. Tentunya berfoto di hutan pinus tak ketinggalan
.
|
fight your head, terkadang musuh kita adalah pikiran kita sendiri, |
Dipersilakan sarapan oleh Mas Black dan kami dengan
lahap menyantapnya. Puji Tuhan, terimakasih Mas Black. Menjelang pukul 10
seperti yang diberitahhu mas Black, Noel menyapa via ponsel bahwa ia sudah
sampai di pertigaan Nongkojajar, lanjut kebawah dan bertemu dengan kami.
Cukup persiapan,
kami melanjutkan perjalanan dengan rintik gerimis setelah berfoto bersama sang
empunya café. Naik ke pertigaan Nongkojajar dan ambil kanan, jalur tembus
Jabung.
|
hujan lagi, lagi hujan |
Tak lama hujan turun, dan kami berteduh di teras
rumah penduduk. Ditemani seorang ibu dan anaknya yang dari pakis berteduh juga,
sebelum melanjutkan perjalanan ke atas. Usai, kami melanjutkan perjalanan. Belum
jauh dan jalan mulai menanjak, kami berteduh lagi. Hujan menyapa dengan
nikmatnya. Sekali lagi sebrang tempat kami berteduh adalah hutan Pinus lain. Berteduh
di teras rumah penduduk lagi.
Suara air mengadu dengan tanah menemani sesaa
sebelum sedikit mereda dan kami melanjukan perjalanan. Jalan sedikit turun dan
banyak menanjaknya tapi lumayanlah bagi energi yang belum pulih total, terasa
beranya. Hingga perjalanan kami terpaksa mendorong sepeda karena Elisa sudah
lelah, dan hujan mulai menyapa kembali. Di tikungan tajam Tlogosari ,
perbatasan kabupaten Malang-Pasuruan kami dipersilakan berteduh dan
beristirahat di gubuk oleh beberapa orang relawan penjaga tikungan tersebut.
Berbincang dengan relawan tersebut dan dia tahu
perbekalan air kami menipis, sontak beliau menyuruh yang lebih muda untuk beli
air minum. Kami dibelikan 2 air mineral berbool 1,5 liter. Terimakasih. Dengan kompor
kami menyeduh kopi, dan apapun yang bisa diseduh untuk melawan dingin.
Dua kali adzan terlewatkan
dan hujan masih indah
menyapa, kabut mulai datang tapi sebentar pergi. Dalam pikiranku esok tanggal
20-21 ada upacara di Bromo, pastilah sang Maha kuasa tak mau upacara tersebut
terlalu banyak debu. Jadi, nikmati saja hujan ini, di gubuk perbatasan. Bung
tito tertidur, elisa juga. Entah aku tertidur atau tidak. Disuguhi relawan ahli
menolong para mobil yang tidak kuat menaiki tanjakkan. Sigap mengganjal batu
dan menaiki mobil bak terbuka bila ada, supaya mobil tersebut bisa lebih
menapak aspal. Berbahya memang, tapi ya.. sekali lagi kami bertemu manusia. Lembaran
seikhlasnya atau seadanya melayang dan diterima aspal sebelum sampai di tangan
para relawan ini. Bentuk apresiasi terhadap usaha mereka.
Menjelang sore tak kunjung reda. Kami terpaksa
beranjak dari selimut dingin dan berkemas. Cover bag penuh air dan jaket basah
menemani kami mendorong sepeda di tanjakan. Untunglah ini tanjakan terakhir,
setelah itu turunan hingga Jabung, rumah mas Doank tempat kami menginap satu
malam lagi.
Sejenak berhenti untuk magriban dalam perjalanan,
kusempatkan membeli shampoo, sudah kangen keramas! Selama perjalanan banyak
kuburan di kanan kiri jalan, yang menandakan bahwa di lokasi ini adalah
pemukiman yang sudah tua. Rem yang tak berfungsi dengan baik adalah teman,
dimana dengan menekan rem penuh, dan aku masih bisa menyalip tiga temanku! Wow!
Harus ganti kampas rem!
Menjelang jam 19 kami sampai Jabung rumah mas
Icroel. Sekali lagi, terimakasih diterima dengan hangat J bebersih diri, ngobrol, makan
dan tidur. Malam itu teman mas Icroel datang dan sedikit berbincang mengenai
perjalanan kami.
Terimakasih
Pengeluaran hari 8:
Makan : -
Lain-lain: shampoo Rp 1000,-
Hari ke-9
Bangun dengan badan segar dan aroma masakan yang
sedap. Esok itu pesta! Tiga macam lauk disediakan, dan semuanya daging, entah
harus berterimakasih berapa kali lagi, yang ingin ku katakan, aku sangat berterimakasih
sangat banget sangat! Istri mas Icroel berpamitan duluan karena kerja, dan tak
bisa
nguntapke. Begitupula kami usai
sarapan. Persiapan dan berpamitan dan sekali lagi, terimakasih!
Tak sampai 5 kilometer kami bertemu dengan
romboongan TNI AU bersepeda dari belakang. Bertanya-tanya tentang perjalanan
kami, dan berkenalan. Tak lupa ucapan terimakasih kami sekali lagi, karena
sampai Pakis kami diajak sarapan lagi! Mendengar cerita para prajurit naik
hercules hingga papua sembari menyantap soto merupakan hal yang wah! Dilanjut berfoto
bersama dan mereka dengan kempol power mendahului rombongan kami.
Beberapa toko sepeda kami jajal tapi tak ketemu
standar untuk pengganti punyanya Noel. Mendekati stasiun, aku mengajak
rombongan untuk mampir (sebenarnya ngalang) ke Vellodrome (karena penasaran
belum pernah lihat bangunan vellodrome) 7,5 km berarti PP 15km dari situ,
sedikit ngebut karena mendekati jam 11. Berfoto secukupnya di vellodrome dan
lanjut ke pasar besar malang. Diputuskan untuk sholat dulu di masjid besar baru
ke pasar besar. di pasar besar barulah dapat standar Noel. Seharga 25 ribu.
Di toko
sepeda tersebut kami ngeyup lagi, karena hujan dann ketika reda kami lanjut ke
pasar Comboran untuk cari celana dalam dan celana pendek, karena hujan membuat
stok habis di dalam pannier. Di pasar Comboran ternyata pasar barang seken,
jadi ga ada, malah aku dan bung Tito beli jamu beras kencur yang murah meriah
dan uenak.
Perjalanan lanjut ke toko sepeda ketika kami akan
berangkat ke bromo. Aku membeli tapal kuda dan kampas rem seharga 36ribu, sadar
bahwa masih ada turunan pujon-pare dan sarangan-solo. Balik ke Karangploso dan merasakan
kemacetan Malang. Mampir di swalayan untuk beli celana dalam seharga 15rbu XD
tanjakan ke Karangploso begitu nikmat dengan badan kami yang sudah mudah lelah.
Menjelang jam setengah lima kami sampai Karang Ploso. Mongee, si anakan macan
remba langsung di berikan asupan oleh Elisa, tak lupa usai itu kami menceburkan
diri di kolam renang.
Malamnya Om Tatok dan Charlotte pergi latihan
ketoprak. Kami istirahat.
Pengeluaran hari 9
Makan : -
Lain2x :
tapal kuda dan kampas rem Rp 36.ooo,-
Celana dalam Rp 15.ooo,-
Hari ke-10
Bangun gasik jam setengah enam, lihat di kardus,
mongee sudah mati. Bangkainya aku taruh di atas kardus. Elisa bangun dan sedih
lihat mongee mati. Minum air putih bukannya seger tapi jam tujuh tidur lagi
hingga jam sepuluh. Baru bisa melanjutkan perjalanan usai makan siang.
Usai berpamitan dan mengabadikan momen, kami
berangkat. Terimakasih Om Tatok & charlotte!
Hari paling singkat.
Perjalanan hanya 9kilometer dari Karangploso hingga
kantor camat Batu. Bannya bung Tito dirasa bocor dan diganti. Usai ganti ban,
hujan menyapa kembali dan dingin menjadi selimut kami. Ditawari bermalam di
kantor camat, dan kami tak menolak. Menghangatkan badan dengan menyeduh
minuman.
Mulai gelap lapar melanda. Hujan usai tinggal beberapa tetes kadang
jatuh. Aku dan Elisa keluar membeli makanan di dinginnya kota batu nan syahdu.
Selamat Ulang tahun Elisa!
Kembali ke kantor camat dan tidur di langgar.
Pengeluaran:
Makan : nasi
mawut Rp 24.ooo,-
Minum Rp 2.5oo,-
Ketan Rp 10.ooo,-
Mi Instan Rp 14.ooo,-
Hari ke-11
|
Narsis dulu di depan kantor camat batu |
Pagi menerjang seperti tak kenal lelah. Bangun dan
bersiap. Cek ponsel dan dari Mas Christmas kami dianjurkan bertemu teman di
alun-alun Batu untuk di pandu. Usai foto-foto dan berkenalan kami lanjut ke
museum Angkut (foto saja) lanjut lagi ke Pujon dan mampir di bukit paralayang. Wow!
Meski lambat akhirnya aku sampai juga. Terimakasih banyak ya mas!! Aku sudah
hampir mabok tanjakan!
|
Alun-alun kota Batu yang khas dengan bianglala dengan tiket Rp 3000,- |
berfoto di museum angkot, gunung Kawi sebagai latar, dan foto ketika berkunjung ke rumah mas Shulton
|
bukti paralayang di atas desa Songgoriti |
Jalur ke bukit paralayang lewat kota Batu ke arah
Pujon. Dari Pujon turun sedikit lalu kanan ke arah bukit paralayang. Itu yang
katanya jalurnya landai. Katanya ada jalur yang lebih cepat tapi tanjakannya
melelahkan, lewat Songgoriti. Meskipun
nggremet
akhirnya sampai juga!!!
Usai dari paralayang kami di hantar ke rumah mas
Christmas dan dia cerita bahwa ketika dikontak dia langsung ke patung Sapi
pujon, padahal ketika di kontak Mas Icroel kami baru mau naik ke Bromo.
Istirahat dan makan siang di rumah Mas Christmas,
dengan cerita asik mengenai wisata alam dan cerita tentang pemuda kampungnya
yang begitu antusias membangun langgar. Noel dan Elisa terlelap, ditemani hujan
yang menderu. Usai hujan aku diajak melihat karya pemuda yang usai mengecat kubah dengan motif granit
hijau. Keren!
Kembali ke rumah dan Bung Tito mengajak lanjut
perjalanan. Mohon maaf mas Christmas, lain kali kami menginapnya _/|\_
Ucapan perpisahan, dan kami dihantar ke rumah mas Shulton
untuk pamitan juga, eh malah disuguh mie ayam! Kami kekenyangan hingga tanjakan
menuju ke jalan utama aku tak kuasa mengayuh!
Sekali lagi Terimakasih!
Serasa turunan tiada henti hingga pare. Sempat pinjam
kunci ingrris di bengkel karena komstir sepeda Elisa kocak. Mulai gelap dan
senter menyala, menyisir jalan panjang turunan hingga pare. Sebelum masuk pare
kami makan malam di warung sate. Lumayan mengisi perut, dan ternyata di pare
tak bertemu tempat bermalam yang asik, terpaksa kami lanjut ke arah kediri. Kira-kira
jam sepuluh malam baru kami ketemu pom bensin yang memperbolehkan kami bermalam
di langgarnya.
Pengeluaran hari 11
Makan: sate seprsi untuk 4 orang Rp 14.ooo,-/4
Nasi Rp 2.000,-
Minum
Rp2.ooo,-
Hari ke-12
|
pemandangan pagi dari SPBU |
Sekali lagi pagi bagaikan tak punya rasa iba,
begitu cepat datang dan kami harus melanjutkan ke Kediri.
Tak sampai dua jam kami sampai di simpang Lima,
berfoto menghabiskan pagi disitu dan lanjutkan perjalanan.
|
tinggal depan mata |
|
berpose dong! |
usai dari simpang lima, ke arah barat kami genjot sepeda dan dekat pabrik rokok kami berhenti untuk charge dan
sarapan.
|
berpose di candi Lor |
|
candi Lor bersama-sama |
Perjalanan dilanjutkan ke arah utara, nganjuk lalu
madiun. Hari itu panas, dan lelah. Setengah duabelas kami istirahat dan Bung
Tito jumatan. Usai, lanjut dan berhenti di warung kecil untuk minum teh panas. Lanjut
lagi dan sepertinya salah pilih jalan. Karena jalan rusak, jalur alternatif ke
arah madiun tidak lewat Nganjuk kota. Tapi di awal jalan kami bisa berfoto
dengan Candi lor.
Perjalanan lebih santai secara mental karena trukk
pada lebih lambat daripada di jalan besar, hingga kami bertemu dengan rute
berangkat alas Caruban, melwati saradan, hingga ambl kiri arah madiun. Mampir mandi
sekalian maghirban di pombensiin juga makan murah meriah di warung langganan
supir truk. Lanjut lagi ke Madiun.
Sekali lagi hujan menyapa kami, di lingkar luar
Madiun dan kami terpaksa berteduh di SPBU. Hingga pukul 22.00 kami melanjutkan
perjalanan karena SPBU tersebut masih baru dan tidak boleh menginap disana. Lanjut
arah magetan, modal nekat. Ga ada warung buka, ga ada SPBU buka. Akhirnya setelah
terminal bisa beli air putih dan lanjut naik arah Magetan.
|
ngantuk pun datang 22.30 masih menuju Magetan |
Sunyi jalan sepi, tak lebar juga. Kiri jalan slokan
menemai dengan suara airnya gemericik. Tak lupa ban sepedaku bocor menyapa. Terpakasa
ganti ban di tengah malam. Tak lupa juga ditolak untuk menginap di polsek, dan
dirujuk di polres. Polres yang katanya 2km (jarak orang lokal) jauuh, diambah
lelah dan jalan yang menanjak. Ada warung kopi masih buka, dan kami membeli
|
operasi penambalan ban luar + diganti ban dalamnya |
kehangatan di tempat tersebut. Sebelum akhirnya menemukan polres untuk
dipersilakan beristirahat. Tak lupa langsung tidur dengan sleeping bag
kesayangan.