Rabu, 26 Desember 2018

Natal - 2018

Natal tahun 2018 ini adalah natal yang terasa lebih sadar dan terasa lebih mengalami, bisa jadi hanya karena barusan dialami, juga natal kali ini mendapatkan pemaknaan baru mengenainya.

Dimulai dari cerita bahwa tema khotbah kali ini adalah jangan lupa bahagia, dan singkat cerita bahagia itu kan sifatnya berbeda-beda tergantung manusianya. Bisa jadi saya bahagia karena dapat uang 100ribu tapi kamu baru bahagia ketika mendapat 1juta dan berbagai buanyak perbedaan lain yang sangat dekat kita temui. Tapi bagaimana menanggapi jangan lupa bahagia kalau saat ini punya hutang 50 juta dan harus dilunasi hari ini dan belum cukup dana? Adanya Cuma mumet. Kebanyakan khotbah akan mengarah jalan pintas menuju kata sakti “percaya” pasti bisa, pasti ada jalan.

Banyak khotbah menggunaan contoh studi kasus, tapi banyak kata-kata dalam khotbah juga tak mempan bila dicoba dalam studi kasus. Terutama dalam mencerna bagian “percaya” bagaimana bisa cukup dengan percaya semua masalah selesai. Pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah saja kita harus merelakan barang kita untuk di gadai. Lha ini perkara percaya pada yang Kuasa.

Ya bisa, kita lanjutkan pemaknaan percaya itu tidak pasif, tapi aktif, bahwa percaya berarti pasrah pada kehendak-Nya tapi bagaimana kita tahu kehendak-Nya ? ya dengan mencoba, dengan demikian percaya pasrah itu adalah tindakan aktif kita mencari kehendak-Nya. Enggak mesti kehendak-Nya bagi kita itu sesuai yang di khotbahkan tiap minggu di gereja.

Ok, bahagia,

Suatu malam, kami pulang dari berpergian, bapak saya lalu mengatakan. Doa itu bisa saja singkat, mengucap syukur bahwa masih berada disini sudah cukup. Sekian tahun sekian bulan, sekian purnama, kata itu diketik di blog ini dan mengingatkan akan suatu kebahagiaan. Bersyukur. Tapi sekali lagi itu sangat kondisional.

Dalam keadaan terpuruk biasanya kita gencar berdoa, tapi kalau berdoa selesai mengucap kita lalu pergi, lupa bahwa kita sedang berbicara pada-Nya. Jangan-jangan Dia akan berbicara pada kita tapi terlanjur kita tinggal. Ya begitulah. Berdoa adalah dialog.

Terkadang jebakan adalah alam pikiran kita, setan, iblis, yang mempengaruhi macam-macam dengan ke-Logisannya, memang itu diperlukan, tapi dalam bertemu dengan-Nya kita bertemu dalam Rasa. Lalu bagaimana membedakan bahwa ini adalah hasil dari pemikiran yang tidak murni v.s kehendak-Nya? Ibarat wungkal yang adalah alat untuk mengasah, kita harus tiap kali mengasah ketajaman ini. Hasil dari pikiran pasti bisa kita tawar, tiap kali kita mengasah, kita bisa menawar hasil dari pikir. Seperti Yesus yang dicobai di padang gurun, siapa iblis? Yesu

s lapar? Lapar datang dari sinyal-sinyal tubuh yang dikirim ke otak, ya iblis itu adalah pikiran kita. maka saat itu Yesus ber-tawar-menawar dengan pikir ini, dan bisa. Beebeda bila memang ini kemauan Tuhan, tidak akan bisa di tawar lagi, yang terjadi haruslah terjadi. Seperti di Getsemani, Yesus tak lagi bisa menawar bahwa besok adalah kematiannya.

Kebahagiaan sejati bolehlah kita sepakati dan ketahui bersama adalah bersama dengan Tuhan. Tapi kemudian apakah dalam kehidupan sehari kita kita sudah hidup bersama dengan Tuhan? Ketika hal yang kita lakukan sudah selaras dengan kehendak Tuhan kita akan menemukan kebahagiaan sejati yang tak terpengaruh frekuensi naik turunnya kehidupan.

Dimulai dari saat kita membuka mata di pagi hari, sebelum kaki menyentuh tanah, sebelum macam-macam kegiatan dimulai, ada baiknya kita berucap pada-Nya, memohon bahwa berkenanlah Tuhan merasuk dalam raga ini, supaya yang kulakukan hari ini sesuai kehendak-Mu saja.

Selamat Natal..



Selasa, 18 Desember 2018

Cinta

Akhirnya cinta menentukan takdir bagi kami untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 29 Desember.

Tiga tahun mengenal Elisa Kurniawati, bukan waktu singkat tapi juga bukan waktu lama untuk merajut pondasi supaya dapat berjalan dalam rel yang sama dengan tujuan yang sama, tujuan satu entah apa itu.

selama kami masih mencari, tak akan usai cerita ini.