Minggu, 02 Agustus 2015

Urip mung mampir Ngombe

-pemaknaan ulang-
...

Ada kiasan "urip mung mampir ngombe", ibarat hidup cuma sebatas mampir untuk minum. seteguk minum yang melegakan tenggorokan, yang kemudian hilang.

Hal ini biasanya diungkapkan atau dirasakan bagi yang para sesepuh, atau yang usianya sudah senja. karena kehidupannya yang berpuluh-puluh tahun tinggal kenangan saja, dan tanpa terasa mendekati ajal.

hal postif dari pemaknaan ini adalah waktu itu berharga, bahwa tiap detik harus kita upayakan untuk kehidupan yang berkualitas. Size the day. raih hari-harimu!

namun di kehidupan Nusantara, yang tidak banyak mengenal teori, kehidupan berguru dengan laku adalah hal yang sudah mendarah daging. ibarat manusia yang tak percaya batu itu keras sebelum menjebleskan kepalanya ke batu. ibarat belum tahu bus itu keras sebelum nabrak bus.

begitu pula gen laku itu pada mayoritas masyarakat Nusantara. Kecenderungan belum paham bahwa hidup itu sesingkat tegukan air minum sebelum mengalami usia Senja.

maka, dengan pemaknaan yang seperti itu, kita buka cakrawala berpikir kita untuk mencari alternatif pemaknaan yang lain.

***

Air, hal yang kita minum, memberi kesegaran dan kehidupan. Ada yang bilang, manusia lebih kuat tidak makan daripada tidak minum. dengan begitu kemudian muncul kiasan, bahwa air adalah sumber kehidupan.

ketika air dimaknai sumber kehidupan, baiklah bila kita selalu berbagi air dalam hidup ini. sebagaimana di depan rumah jaman dahulu, biasa kita temukan kendi berisi air. tak lupa juga pakiwan di susunan rumah vernakular Jawa yang berada di depan rumah. yang hampir tidak bisa kita lupakan hingga jaman sekarang, sosialisasi dari pemerinta pada ibu-ibu PKK bahwa di depan rumah di imbau untuk memasang keran air.

selain untuk keperluan bersih-bersih, mari kita lihat fungsi lain dari kendi di depan rumah tersebut.

jaman dahulu, alat transportasi tidkalah secanggih jaman sekarang, dan tentunya perjalanan jauh sesekali adalah suatu kebutuhan. Pengembara masih banyak dan mereka berjalan kaki. berbekal seadanya dan seefisien mungkin. tradisi mengembara ini yang kemudian menjadi salah satu alasan utama munculnya makanan seperti ampyang, ketupat dan makanan kering unik lainnya.

karena kebutuhan air lebih dibutuhkan daripada makanan dalam perjalanan dan air lebih mudah habis, dan waktu tempuh juga diperhitungkan, maka memotong basa-basi dan mengefisienkan waktu bagi pengembara, disediakanlah kendi-kendi di depan rumah.

sesuatu yang sah dan legal, ketika melewati suatu desa dan sang pengembara itu tidak akan tinggal di desa itu dengan alasan mengefisienkan waktu perjalanan dan kemudian sang pengembara mengamil tegukan air dari kendi di depan rumah salah seorang penduduk desa, dan mengisi wadah minumnya dengan air dalam kendi itu juga, dan langsung melanjutkan perjalanannya lagi.

bisa kita bayangkan, sedikit mengucapkan salam, bila terlihat sang empunya rumah, dan percakapan sebentar tentang tujuan pengembaraannya, dan sang pengembara itu melanjutkan pengembaraannya lagi.
urip mung mampir ngombe.

menjadi pemaknaan yang indah berkaitan dengan air sumber kehidupan dan akan pengembaraan hidup seseorang. pemaknaan dan pemahaman akan kebutuhan orang lain untuk dapat melanjutkan pengembaraan hidupnya.

pemahaman bahwa salah satu tujuan hidup adalah mensuport orang lain dalam pengembaraan hidupnya.

pertanyaannya, dapatkah kita menjadi manusia yang rela menyediakan kendi berisi air yang selalu tersedia di depan rumah, untuk di minum bagi saudara, teman, atau siapapun para pengembara kehidupan ini?

sehingga dengan teguk air yang kita sediakan, mereka bisa tetap hidup dalam pengembaraanya.

Eigner
3 Agustus 2015

Thx to Padepokan Hana Jangka

Jumat, 03 Juli 2015

Sepeda dan Sampah


Suatu sore saya membuka facebook dan menemukan poster, yang menginformasikan bahwa akan ada kegiatan berjalan kaki menyisir Jogja di sepotong sumbu imajiner yang terpotong; reresik dari tugu-0km.

Sayangnya pas acara tersebut saya tidak bisa ikut, namun menjadi inspirasi bagi saya untuk mengajak teman-teman Yogyakarta YMCA untuk melakukan hal yang mirip. Selang beberapa saat, munculah “Bike to-gather”

Poster Bike to-Gather 1
 Bike to-gather, bersepeda sambil mengumpulkan bisa juga sepeda untuk berkumpul, karena memang di desain untuk dwi makna, bersepeda untuk mengumpulkan sampah, dan bersepeda untuk menuju gathering (kumpulan) rutin bulanan YMCA Yogyakarta.

Bike to-Gather ini pada pelaksanaannya hanya bertahan 2x karena saat itu kami belum melek media untuk menggencarkan kegiatan ini sehingga personilnya hanya itu-itu saja dan kurangnya semangat membuat kegiatan ini redup.

Sempat muncul lagi ketika Yogyakarta YMCA diajak untuk berkolaborasi dengan teman yang mendapat tugas kampus untuk bikin acara, dan acara mereka adalah Fun Bike tradisional (dengan kupon dan tiket masuk plus-plus doorprize) yang notabene Yogyakarta YMCA pernah bekerja sama dengan Umbulharjo Ngepit perihal persepedaan dan kegiatan bike to Gather nya. Di acara funbike tersebut diselipkan acara pungut sampah di lokasi pakualaman dan lempuyangan.

Sepeda memang lambat dan sangat efektif untuk mengkoleksi informasi sembari sepedaan. Lambatnya juga memberikan waktu untuk merajut berbagai informasi tersebut jadi ide. Itulah sebabnya pesepeda seharusnya lebih peka. Namun sepeda sebagai ikon, ikon atau maskot untuk kegiatan lingkungan? Sepertinya tidak layak, karena sepeda juga sampah. Lihat di pengepul rosok, berapa banyak sampah dari sepeda, lihat di pasar sepeda; berapa banyak sepeda seken yang ada, lihat di bengkel sepeda; berapa banyak part sepeda yang berpotensi menjadi sampah, bungkus part sepeda, bungkus sepeda ketika beli baru. Sepeda juga berpotensi sampah.

Tong sampah JLFR | Sumber:
http://daniest.com/hingga_di_kayuhan_ramadhan_berita158.html
Sempat juga mendapatkan cerita mengenai teman-teman JLFR yang menyediakan tong sampah di Mangkubumi sebagai buah pemikiran bahwa paling tidak sebulan sekali mereka berkontribusi mengotori jalan Mangkubumi yang sebagai finish dari rute JLFR. Singkat kata cerita itu berakhir dengan hilangnya tong-tong sampah yang disediakan.

Hingga permasalahan ke-sampahan terbaru yang kemudian direspon oleh pesepeda yang concern terhadap hal itu; Willian Bike. Ikhalsnya aksi darinya kemudian memunculkan inisiatif-inisiatif positif dan kreatif; aktivitas Garuk Sampah. Bukan komunitas ataupun kelompok apapun; Garuk Sampah adalah aktivitas. Aktivitas ajakan bersama untuk reresik kota; menikmati kota dengan perspektif lain, mengajak melahirkan berabgai inisiatif dari diri sendiri tanpa sekat bahkan sekat setipis atribut dan tentunya tanpa adanya “kepentingan” yang selalu mencoba mendompleng.

Foto Profil page Garuk Sampah
Ketika kita datang untuk mengedukasi dengan berbagai macam atribut dan kesiapaannya yang terorganisir, masyarakat akan terbiasa, tetapi bila kita datang tanpa atribut dan mensetarakan diri kita dengan masyarakat sekitar, aktivitas ini akan dipertanyakan.
Tetapi mungkin itu poinnya, ketika mereka bertanya, berarti merka berpikir :)


Sehingga bila kemudian kesan atapun berbagai jargon peduli lingkungan kita sematkan pada sepeda, sepeda tidak cukup suci untuk mendapatkannya (apalagi pesepedanya). Lalu bagaimana sikap kita dengan sepeda dan lingkungan?



Ya mari kita pisahkan, keikhlasan kita menyayangi lingkungan kita lepaskan dengan ‘sepeda’ dan biarkan lah sepeda sebagai moda kita, moda kita untuk berbahagia, tetaplah bergembira dengan sepeda supaya janganlah kita yang menjadi sampah peradaban :)

Kamis, 02 Juli 2015

Sepeda dan Ibadah.


Seringkali kita bersepeda, seringkali kita terpana, tapi tak bermakna.

Menatap matahari terbit, mencari pemaknaan baru.

Berbagai kegiatan sepeda kota-kota sering saya ikuti, juga beberapa sepedaan jarak jauh. Dalam kegiatan itu seringkali saya bersepeda dengan dupa mengepul di sepeda saya, yang menyebabkan teman-teman sepeda saya merinding dengan aroma khasnya.

Lazim? Tidak, anti mainstream? Saya saja tidak tahu yang mainstream itu seperti apa.

Lalu mengapa berdupa?

Maka saya ceritakan;

Dupa sangat identik dengan ritual, terutama yang secara mind-set oleh macam-macam media dikaitkan dalam ritual klenik. Lalu apa itu klenik? Bila kita cari dari mbah gugel definisi klenik adalah “sesuatu yang tersembunyi”. Nah apakah dupa itu sesuatu yang tersembunyi? sepertinya tidak dia berwujud dan berasap, jadii sudah semestinya dia tidak klenik.

“Tapi kan yang tersembunyi di “balik dupa” itu?”

“nanti ngundang setan?”

Bila dikaitkan dengan klenik, yang adalah sesuatu yang tersembunyi, anggap saja misteri. Bukan kah kemudian itu wajar di setiap agama juga sangat khas dengan misteri Adi Kodrati-nya masing-masing? Mengapa “klenik” di masyarakat ini begitu di stigma-kan? Bukankah Tuhan juga sangat misteri, yang berarti juga sangat klenik?

Bila dikatakan ngundang setan? Ada lho agama yang dalam ritualnya butuh menggunakan dupa? Terus mereka menyembah setan? Bukannya dengan dupa malah datang berbagai roh baik (karena digunakan dalam ritual agama)?

Lalu bagaimana dengan dupa ini yang tercantol di sepeda?

Pada dasarnya manusia membutuhkan simbol, simbol sebagai penghubung antara Manusia dengan Sang Adi Kodrati. Simbol itu bisa beragam macam; salah satunya dupa.

Mengapa dupa?

Karena saya sangat familiar dengan dupa, di budaya Jawa juga erat dg dupa, selain itu dupa juga media yang murah (dibandingkan kalau bawa bunga atau menyan yang lebih “dianggap” serem). Juga cara saya memaknainya; bahwa doa-doa dan permohonan saya ibaratkan batang dupa itu, dan dengan energi dan usaha (panas) doa-doa dan permohonan itu diwujudkan menjadi tak berwujud (menyatu dengan udara hingga hilang) menjadi satu dengan Sang yang Tak Berwujud, Sang Adi Kodrati.

Lalu kaitannya dengan sepeda?

Ya, bersepeda adalah ibadah. Bersepeda itu salah satu laku. Dalam berabgai ritus keagamaan ataupun ajarannya tentu ada laku; puasa, meditasi dan laku-laku yang lain. Maka bersepeda pun adalah salah satu bentuk laku. Tak terbatas dalam hal yang familer dengan ritus keagamaan, esensinya adalah satu pikir satu tindakan. Ketika kita menjalani laku, kita berusaha menyelaraskan pikiran dan tindakan kita. Karena sangat umum pikiran dan tindakan tidak berjalan dg selaras. Maka dengan laku kita mencoba mengerem salah satunya.

Ketika pikir kita mendahului laku, arogansi, ego, ingin cepat sampai; instan dan keinginan yang  lain akan bertabrakan dengan fisik yang lakunya tidak selaju dengan pikiran. Proses pengereman pikiran ini menjadikan bersepeda adalah ritual beribadah.

Juga ketika fisik kita sebenarnya kuat, tapi ketika melihat tanjakan membuat mental kita mlintir. Mau tidak mau kita butuh “sinkronisasi” lagi ketika bersepeda supaya dapat mencapai puncak. Hingga pada akhirnya keselarasan pikiran dan tindakan bisa kita wujudkan dengan bersepeda.

Dengan demikian, dari berbagai pemaknaan tersebut saya berani mendeklarasikan bahwa dengan bersepeda saya juga beribadah. Perkara bentuknya yang berbeda, esensi beribadahnya tetap sama dengan kepercayaan yang saya anut.

Karena bagaikan sepeda, banyak part yang berputar, ketika kita hanya di permukaannya saja kita mudah terombang-ambingkan keadaan, tetapi ketika kita merapat mendekat pada As-nya, esensinya. Kita menjadi pusat, pusat akan diri kita sendiri menjadikan kita tidak terombang-ambingkan berbagai hal yang hanya pada tataran kulit saja.

Ban bisa berbagai material, merek, dan bentuk, tapi As tetap hanya selonjor logam silinder.


Salam bersepeda, dan jangan lupa bergembira :)

Umbulharjo

Rumahnya mata air di Yogyakarta

Aktivitas bersepeda biasanya mencari destinasi lokasi yang bisa dinikmati atmosfernya secara visual, karena kita dengan mudah mengabadikannya, lalu bagaimana bila kita bersepeda di keabadian? Keabadian cerita yang tak ada wujudnya dan kini hanya bisa didengar.
Mungkinkah saya terlalu lelah dengan segala visual.
Tapi toh, juga harus disajikan dalam bentuk visual.

Pemandangan Matahari terbit di Situs Warungboto

Umbulharjo, gabungan kata dari ‘umbul’ dan ‘harjo’ umbul berarti mata air, harjo dari kata Raharja yang berarti makmur. Jadi daerah Umbulharjo adalah daerah yang makmur mata air, atau kata lain banyak mata air di daerah ini.



Pemandangan ke kolam bekas mata air
dari atas Situs Warungboto
Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan reruntuhan bekas pesanggrahan jaman Hamengku Buwono II, Pesanggrahan Rejowinangun. Pesanggrahan Rejowinangun yang masih dapat dengan mudah dinikmati kini biasa disebut situs Tuk Umbul Warungboto. Berlokasi di Jl. Veteran Yogyakarta +- 2km dari Balaikota Jogja ke arah selatan.


Di sekitar situs Warungboto tersebut juga ada umbul lanang dan wadon yang dikelola warga sekitar sebagai kesatuan wisata bila ada yang berwisata ke lokasi tersebut. Dengan senang hati penduduk sekitar atau bila bertemu penjaga di situs Warungboto ini menunjukkan lokasi umbul lanang dan wadon tersebut.



Bekas mata air di bekas SD Glagah II
Salah satu SD yang rubuh pada gempa Jogja 2006 
Satu kilometer dari lokasi situs Warungboto arah barat laut, ada juga bekas mata air, terletak dibekas SD Glahah II yang kini sudah rata dengan tanah. Bekas mata air tersebut menyusut dan menjadi sumur, dan kini sumur juga telah diratakan hingga tak ada lagi jejak mata air kecuali cerita para sesepuh asli di daerah tersebut.

Banyaknya mata air juga tak terlepas dari area persawahan yang masif pada jaman dahulu sebagai daerah tangkapan hujan dan bentuk geografis berupa cekungan lembah kecil yang membentang dari Timoho hingga Warungboto sebagai sumber air bagi Umbulharjo dan terutama situs Warungboto.


Berpose sambil menikmati Sunrise
dengan segelas wedang, radio dan  bekal.
Seperti lokasi asik lain, situs Warungboto ini nikmat bila dinikmati di “golden hour” atau jam emas para foto grafer jam sunset dan sunrise, namun karena dari situs ini lebih leluasa memandang ke timur, tentunya view untuk sunrise lebih terasa atmosfernya.

Tahun 1996 ketika saya mengunjungi situs ini masih ada airnya, dan menurut penjaga mata air ini benar-benar kering memasuki tahun 1999 sebelum itu ketika musim hujan air masih mau keluar dari kolam mata air ini. Menurut penuturan warga yang telah lama mengenal mata air itu, jaman kecil situs itu dipakai untuk mandi-mandi bersama teman-teman.


Lokasi ini juga merupakan ide yang melatarbelakangi Komunitas Sepeda “Umbulharjo Ngepit” bersama YMCA Yogyakarta melakukan aksi simbolis pada hari air Sedunia 2014 lalu. Aksi simbolis bersepeda dari Alun-Alun utara Jogja ke situs mata air ini kemudian dan kemudian menuangkan air sebagai simbol. 

Sepeda dengan atribut yang kami bawa menuju Situs Warungboto
Proses simbolisasi aksi kita berbuat sesuatu terhadap mata air.

  Simbol bahwa kita sebagai manusia yang selama ini hidup dari air, selayaknya kini adalah saatnya kita balik memberikan sesuatu bagi air yang telah menghidupi kita.


Selasa, 23 Juni 2015

Air, tubuh manusia, dan Pemaknaan

Kata penelitian, 80% tubuh manusia terdiri dari air.
untuk itu perlu 2,5 liter air per hari kita minum.

Air. mengapa air?

Air Sumber Kehidupan?

bila ditelaah dari keselarasannya, maka YA, 80% tubuh manusia terdiri dari air (lebih tepatnya cairan) , maka sumber kehidupan kita adalah air, yang adalah komposisi terbesar dari tubuh manusia.

lalu, mengapa air?

Menengok kembali pelajaran jaman SD, kita diajari bahwa air mempunyai beberapa sifat, yang salah satunya  adalah "berbentuk sesuai wadahnya" lalu apa korelasinya?

sederhanya sekali, bahwa ketika 80% dari tubuh kita adalah cairan maka adalah kodrat alami kita bisa "berbentuk sesuai wadahnya".

Berbentuk sesuai wadah yang bagaimana?

Tentu wadah itu adalah kehidupan kita, sebagai manusia. Dalam setiap detik gejolak hidup manusia tentu kita harus dapat merespon, meskipun kadang berreaksi. Dalam merespon kita harus tenang selalu waspada dalam keadaan sadar hingga seperti air yang tenang permukaannya selalu datar. Datarnya permukaan air itu membuat kita bisa bercermin, berrefleksi diri. Keadaaan yang tenang membuat kita lebih bisa melihat ke dalam diri kita sendiri. Mengkoreksi diri sendiri.

Bolehlah mengutip Michael Jacson dlm lagunya Man in The Mirror,

"If You Wanna Make The World

A Better Place
Take A Look At Yourself, And
Then Make A Change"


dalam ketenangan itu kita mengenal gejala-gejala. Mengenal gejala dan kita analisis dan dapatkan solusinya. Solusi akan kegalauan hidup ini. Tentunya solusi-solusi yang ditemukan pasti tak lepas juga dari sifat air yang dinamis, mengikuti bentuk wadahnya. bahwa kita sebagai manusia dengan komposisi cairan yang dominan harus mengembalikan kodratnya dalam konteks manusia. "adaptasi"

berbentuk sesuai wadahnya adalah bentuk adaptasi..
dalam arti lain juga tanpa bentuk. karena kita bisa menjadi bentuk apapun.

www.thelastdragontribute.com
Ketika kita sadar bahwa manusia dengan kodratnya yang penuh cairan dalam konteks kehidupan, maka potensi terbesar dari kita adalah "berbentuk sesuai wadahnya" maka kekuatan terbesar manusia adalah "Beradaptasi"

Dengan memaksimalkan kemampuan kita beradaptasi kita menjadi lebih beradab :)

Salam pagi.
24/06/2015

Minggu, 07 Juni 2015



Sebagai referensi bahwa kota Jogja adalah kota tua yang seharusnya tidak layak untuk dilewati kendaraan bermotor yang masif.

Senin, 02 Maret 2015

Masyarakat Berdaya Untuk Berjalan Kaki

Malam tahun baru 2014 akhirnya pukul 01.15 bisa melewati Jalan Malioboro. Menuju malioboro diurungkan melalui jembatan Gondolayu karena antrean mobil masih pajang dari tugu hingga jembatan, pastinya tidak dari tugu namun itu antrean mobil yang ingin menuju malioboro. Sayang saat itu mobil tidak diperkenankan masuk ke ruas jalan Malioboro karena system buka-tutup jalan. Hanya sepeda motor yang dapat melewati jalan Malioboro.

Nuansa jalan itu lain, ketika yang melewati hanya para pesepeda motor dan pejalan kaki. Ramai namun lancar ketika semakin sedikit jenis alat transportasi yang diperbolehkan memasuki suatu kawasan.

Nuansa lain juga muncul ketika memasuki jalan Mataram. Terlihat banyak orang berjalan keluar dari jalan Malioboro, ada yang menuju mobilnya yang terparkir di ruas jalan itu, beberapa juga berjalan kaki akan pulang. Perjalananku hingga jalan Hayam Wuruk, terlihat masih banyak orang yang berjalan menuju rumahnya di sekitar kawasan Lempuyangan.

Hal ini mencengangkan saya, menunjukkan bahwa antusias masyarakat akan suatu event begitu besar dan untuk mencapai hal tersebut mereka rela berjalan kaki. Namun mengapa mereka rela berjalan kaki? Jawaban sepertinya lebih mengarah pada keadaan. Ketika mobil tidak bisa masuk Malioboro, mereka parker di jalan Mataram dan rela berjalan menuju Malioboro. Bagi yang asli Jogja dan tidak jauh mereka memilih jalan daripada ikut bermacet dengan kendaraan mereka.

Jalan Hayam wuruk ke malioboro memang tidak terlalu jauh, namun terasa jauh untuk ukuran jarak saat ini dengan kondisi mudahnya akses sepeda motor, hingga untuk ke warung dengan jarak kurang dari 200 meter saja menggunakan sepeda motor. Dan masyarakat berjalan kaki ke Malioboro, salut!

Untuk pengguna mobil, keadaan macet dan buka tutup jalan memaksa mereka berjalan kaki menuju malioboro. Ketika masyarakat terpojok pada aksesibilitas kendaraan pada akhirnya moda transportasi bawaan alam yang bergerak, kaki, sehingga mereka menjadi pejalan kaki.

Dari hal itu dapat dilihat bahwa sebenarnya masyarakat kita itu berdaya dan mampu untuk menempuh jarak dalam memenuhi kebutuhannya dengan berjalan kaki. Namun sepertinya pemikiran optimistis tersebut dikubur dalam-dalam oleh adanya iming-iming palsu kemudahan yang berupa moda transportasi pribadi.

Bila kita ibaratkan jalan malioboro ditutup untuk mobil, pasti dan harus masyyarakat tidak akan menggunakan mobil untuk ke malioboro, mereka akan menggunakan kendaraan lain. Dengan begitu ruas jalan malioboro akan lebih leluasa dan juga tidak merusak pondasi bangunan tua disekitar malioboro oleh tekanan berat kendaraan yang lewat.

Pertanyaannya, apakah kita berani menggaungkan bahwa kita berdaya dan mampu untuk berjalan kaki menggantikan transportasi pribadi yang begitu memikat?


4-Jan-2014

Balada Pohon

Sore itu, langit berwarna emas kemerahan, pertanda matahari akan segera menyinari bagian lan dari bumi. Terlihat siluet salahh satu gedung hotel menjulang tunggal diantara rumah-rumah dan sawah. Terlihat pula kendaraan mulai menyalakan lampu, dan melintas dengan santai di tengah temaram cahaya emas. Awan yang putih keabuan tak lagi memberikan bayangan di jalan lingkar itu. Pepohonan di tengahnya tak lagi meneduhi jalanan, tak lagi punya bayangan yang tercetak di keempat ruas lajur jalan.

Semakin rendah matahari semakiin terlihat siluet apik dari komposisi hotel, rumah, pepohonan yang berdret linear di pembatas tengah jalan. Pepohonan yang tumbuh dengan santainya menanti saatnya menghirup oksigen di malam hari. Tak dikira bahwa itu adalah senja terakhir dari salah satu pohon yang tertanam di pembatas tengah jalan.

Setelah malam datang, setelah jam sibuk berlalu sebuah mobil merapat ke pembatas tengah jalan dan berhenti dekat gap pembatas yang digunakan untuk mobil berputar di jalan lingkar itu. Enam orang turun dari mobil bak terbuka. Salah satu orang itu berjaket bahan jeans langsung menyalakan rokok. Dua orang menurunkan tali dan gergaji, dua orang yang lain menaruh segitiga berwarna merah di belakang dan depan mobil mereka . Seorang yang mengenakan sepatu warna putih kumal seperti tak pernah dicuci turun terakhir,  kemudian berjalan mendekat ke ujung pembatas dan berkata.

“Itu pohon yang menghalangi,” kataya dengan datar,
“pohon itu menghalangi rambu untuk berputar, sudah seharusnya pohon itu kita tebang!”
Ia menengok pada dua orang yang memeprsiapkan gergaji dan tali, member isyarat tanpa kata untuk segera menebang pohon itu.

Dua orang memanjat pohon untuk mengikatkan tali pada dahan-dahannya, seorang menariknya kebawah, seorang lagi memanjat untuk menggergaji.
Srook… Srookk… Srookk… !

Suara gergaji beradu dengan dahan basah bergetah.

Kata orang, pohon yang dilukai bergetah itu tanda pohon tersakiti. Setetes demi setetes getah itu membasahi aspal hitam di jalan itu, beberapa menetes di tangan penggergaji itu, sebagian lain terpercik ke baju dan kulit orang-orang yang dibawah melihat dahan itu jatuh.

Setengah jalan menggergaji dahan tali ditarik, dan “krakkkkk….!” Dahan itu jatuh…. Dengna gesit penggergaji itu menggergaji empat dahan besar di pohon itu dan tersisa batang utama yang menjulang. Tak luput dari mata gergajinya, digergaji pula batang utama itu sehingga meninggalkan batang setinggi satu setengah meter tanpa daun, tanpa dahan, tanpa ranting. Seperti manusia ditelanjangi tanpa baju.

“nah, begini baru papan rambu lalu lintas ini kelihatan,” kata seorang yang bersepatu putih, “banyak orang bisa tidak lihat kalau disini boleh berputar.”

Diangkut batang-batang pohon dan Diikatnya di bak mobil. Keenam orang itu naik dan mobil melaju. Meninggalkan jejak merah lampu belakang yang semakin jauh semakin mengecil dan menghilang di belokan jalur lingkar.

***
pagi muncul bersamaan dengan manusia beraktivitas, pepohonan merajut bayangannya seiring surya dengan malas muncul. tak ada yang merasa bahwa semalam ada pembantaian di lokasi itu. Manusia memacu kendaraannya melewati lokasi tanpa menghiraukan deret pepohonan yang telah hilang satu pohon. Tak ada perbedaan di hari itu dengan hari yang lain bagi manusia dengna kendaraannya.

Malam pun tiba, tak ada yang membedakan bagi para manusia yang lewat di jalan lingkar itu. Mereka melintas dengan satu maksud, cepat sampai tujuan masing-masing.

Malam semakin larut, gelap semakin pekat, lampu jalanan hanya beberapa yang menemani ruas jalan itu. Ketika manusia lelap tertidur untuk memulai ketergesaannya di kemudian hari, sebuah pohon mengangkat akarnya dan menggeliat bersuah payah menggerakkan akarnya untuk menuju ujung pembatas tempat kendaraan diperbolehkan berputar.

Pohon itu menatap pada pohon yang tinggal satu setengah meter tingginya, tanpa daun, tanpa batang, tanpa ranting dan berkata,

“ada apa gerangan sehingga manusia membenci mu, temanku?”
“Gwaahh….. “ pohon lain menggeliat menarik serajut akar dari tanah dan mendekat pada batang satu setengah meter dan berkata, “aku benci suara mereka menggergajimu.”
Aspal di jalan lingkar itu bergetar, dan selusin lebih pohon dengan akarnya tercabut dari tanah mengelilingi pohon telanjang yang tinggal satu meter itu.
“seharusnya ini tidak terjadi, dia  sudah hidup disini puluhan tahun”
“aku tidak terima, ada kaum kita yang di siksa secara kejam!”
“cih… manusia busuk, kami pohon tidak menggangu kehidupan kalian, mengapa kalian mengusik salah satu dari kami!”

Dengan bijak pohon pertama yang datang berkata,
“teman, baiklah kita cari tahu, mengapa ia disiksa sedemikian rupa.”
“ia tidak bersalah, ini hanyalah nafsu manusia yang keji memotong tubuh kaum kita untuk kepuasan!”
“ini tidak bisa ditoleransi, mereka hanya membuang potongan tubuh teman kita!”
“aku dengar salah satu dari pemotong itu berkata kalau ia menutupi tiang besi dengan plat bercat biru bergambar panah warna putih itu dengan dahan dan daunnya!”
“mari kita tanyai tiang besi itu untuk kejelasannya” kata pohon yang paling bijak.
“hey kau, mengapa kau disini? Sejak kapan kau disini” kata salah satu pohon.
Tiang besi berplat warna biru dengan panah warna putih diam saja. Tetap diam ditanyai oleh pohon. Ia diam dengan dinginnya, sedingin malam itu, yang membuat besi dan plat berwarna itu lebih dingin lagi.
“hei, kau tiang besi, apa gunanya kau disini!”
“Sejak kapan kau disini!” teriak pohon yang lain.
“siapa yang menyuruhmu disini!”

Tiang besi itu tetap diam, diam dalam pekatnya malam.

“ada yang tahu sejak kapan dia disini?” ujar pohon yang bijaksana memecakan suasana marah para pohon.
“Kita para pohon lebih lama berada disini, seperti kita tahu, kita telah puluhan tahun di sini, dan kita bisa hidup hingga puluhan tahun lagi!” ujar salah satu pohon “sedangakan tiang besi itu masih berkilap, birunya masih cerah, pasti tak tinggal disana lebih lama daripada kita, karena kita ditanam sejak kecil bertujuan untuk meneduhi jalanan ini, untuk membuat manusia nyaman melewati jalan ini”

“tiang besi itu hanya membuat teman kita mati sia-sia!”
“penggergaji itu piker teman kita menutupi tiang besi itu sehingga teman kita perlu disingkirkan padahal kita lebih dulu ada disini!”
“benar! Tiang besi itu hanya mengganggu ketentraman kaum pohon di jalan ini!” para pohon mengiyakan.
“untuk itu, kita balaskan siksaan teman kita supaya tidak ada lagi pohon yang tersiksa karena tiang besi itu! Kata pohon dengan marahnya “ dia pikir mudah mengembangkan dahan dan daun sehingga bisa memberikan kerindangan bagi jalan ini!”
“Hajar tiang itu!” seru para pohon
Sehingga di malam itu denyitan kayu beradu dengan besi bersuara mengerikan. hantaman dan cabikan yang dilayangkan kepada tiang besi itu  menghasilkan suara yang tidak dapat dideskripsikan, suara pilu amarah, dan derak kayu pohon setinggi lima belas meter menghajar tiang besi menghantam aspal mencabiknya dengan ranting-rantingnya. Amarah yang tidak sampai diungkapkan dengan kata-kata, amarah akan kesedihan kehilangan menghasilkan siksaan dan kengerian, ditengah dinginnya malam. Pekatnya gelap malam itu menambah gaung kengerian meneror setiap yang mendengarnya, akan kemarahan pepohonan terhadap temannya. Bagi pohon-pohon tidak ada yang bisa melupakan malam pembalasan itu.

--

Keesokan harinya manusia mulai beraktivitas, seiring pepohonan mulai memberikan bayangannya. Di ujung pembatas jalan tak lagi Nampak tiang besi dengna plat yang bercat biru dan arah panah berwarna putih menjulang, hanya tersisa bekas patahan bulat besi, pertanda pernah ada tiang besi berdiri disitu.

Pepohonan mulai jelas memberikan bayangannya, tak ada yang berbeda di hari itu dengan hari-hari sebelumnya selain di sisi utara jalan, di salah satu pohon tergantung seonggok besi, penuh goresan, dan tertekuk di berbagai tempat, tak ada sisi yang halus dari besi itu, tak terlihat lagi makna warna yang pernah mewarnai plat besi di onggokan besi itu. Besi itu bergoyang, ketika dahan tempat ia digantung terhembus angin. Satu hal yang membuat besi itu dikenali, adalah sedikit cat biru yang tersisa, bahwa besi itu dulu pernah terletak di ujung pembatas jalan, untuk memberi isyarat kendaraan boleh berputar.

Selain itu, derit besi mengadu dengan dahan kayu tak terdengar, bayangan pepohonan tak dihiraukan, terkalahkan oleh deruman kendaraan yang lewat. Hal ini tak berbeda dari hari-hari biasanya. Kendaraan terus lewat, terus menderu. Deruan kendaraan yang saling berburu untuk menjadi terdepan di jalan aspal lintasan jalur lingkar yang tak berujung.


17-01-2014


Senin, 23 Februari 2015

Teluk Kao, Kau dan Aku

Tiba-tiba terasa getaran keras, diikuti suara dsingan angin. Ku tengok kejendela terlihat aspal dengan garis putih putus-putus. Bangunan kecil di salah satu sudut tanah ini, pertanda sudah mendarat di bandara Kao. Inilah Bandara Kao, di Halmahera Utara, bandara kecil yang tidak setiap hari menerima penerbangan.
 Aku dan teman-teman turun dan menyisihkan beberapa saat waktu kami untuk ber-selfie­ dengan latar belakang pesawat berbaling-baling. Setelah itu kami berdesakan mengambil bagasi kami, maklum bandara ini bukan seperti bandara besar dan terkenal. Walau bandara ini hanya melayani penerbangan lokal, aku pikir ini akan menjadi pengalaman yang mengasikan, pengalaman menjelajah salah satu sudut Nusantara.

Sebenarnya aku pun tak tahu tiba-tiba aku berada disini. Tiket pergi-pulang kuhabiskan sekitar enam juta rupiah ditambah anggaran untuk liburan ini sama dengan uang hasil tabunganku semasa kuliah dan satu tahun gajiku. Namun sempat ku pikir konyol juga uang sebanyak itu tiba-tiba habis dalam satu minggu kedepan.

Tujuan utama kami berlibur adalah menyelam di Tanjung Kakara, sebuah pulau di Teluk Kao, seberang kota Tobelo, Halmahera Utara. Kata teman sih pantai di situ bagus dan lokasi Tanjung Kakara gak kalah bagus dibandingkan lokasi menyelam yang lain. Walaupun ku pikir semua pantai di Indonesia timur memang bagus-bagus.

Lima orang temanku Utami, Anggun, Desita, Jati, Delon dan aku; Karang Nagari memulai petualangan kami di bumi Halmahera. Mereka adalah temanku semasa kuliah yang hingga kini masih tetap keep in touch. Seperti reuni saja.

“Eh, tidak ada bus ke kota kah?” kata Utami.
“Tidak tahu, sepertinya hanya travel” jawab Jati.

Memang tak ada plat nomor kuning disini, yang ada macam mobil keluarga yang sopirnya terus presuasif mengajak kami menumpang mobilnya dengan bahasa yang kurang aku mengerti.
“Nggun, tasmu terbuka,” kataku sembari berjalan.
“Oh iya, bisa minta tolong tutupkan?” sahut Anggun dan ku tutup tasnya tanpa kata, dia menoleh dan berkata “dah yuk, ikut salah satu mobil aja, tanya berapa tarifnya ke kota.”
Ya, Anggun, ketika menoleh dan berkata-kata pun anggun, serasi dengan namanya, dialah salah satu gebetan aku sejak kuliah.
Kejadian selanjutnya berupa tawar menawar antara Jati dengan salah satu sopir mobil, dan akhirnya dikenai biaya dua ratus ribu rupiah untuk berenam dalam satu mobil. Perjalanan itu cukup lelah namun menyenangkan pikirku, setelah semalam transit diberbagai tempat, pagi ini akhirnya sampai. Selama perjalanan ke kota, kulihat pohon kelapa luar biasa banyaknya, tak heran bila memang ada senandung rayuan pohon kelapa.
Perjalanan itu singkat namun kami nikmati, terkadang terlihat pantai dengan pasir hitam dan bayak pohon kelapa. Sesekali menyembul rumah yang  terletak jarang-jarang, tidak pedesaan di Jawa. Sesekali terlihat sampan, perahu diparkir di pasir pantai dari jendela mobil ini. Canda tawa dan obrolan menyenangkan menemani perjalanan ini.
Tak tahu arah, kami memutuskan tingal semalam di hotel dekat pelabuhan Tobelo. Hotel dengan fasilitas seadanya dan cukup murah bagi kami. Hari itu kami beristirahat sampai siang dan sore hari Utami mengajak untuk berkeliing kota.
“hey, ayo bangun, udah siang nih, yuk main keliling kota sebelum besok pagi kita ke pulau” ajak Utami tiba-tiba muncul di kamar cowok dengan bersemangat,
Kami dengan sedikit malas-malasan kemudian mempersiapkan diri. 14.00 kami keluar hotel. Matahari cukup terik dikala bulan pertengahan tahun ini. Kulihat di ponselku 34o C di kota Tobelo dan real feel-nya 39o C.
“Wah, pantas panas sekali! Lihat ni di aplikasi ponselku” ku berseru sambil menunjukan temperatur kota ini.
“Ya ampun, ga nyangka sepanas ini ya..” kata Jati.
“Kan disini lebih deket ke kathulistiwa daripada di Jawa” sahut Delon.
Karena masih terang, kami memutuskan untuk berkeliling, dan kami memutuskan untuk menggunakan bentor kendaraan becak bermotor, kami sewa dua bentor dan berkeliling Kota Tobelo yang kecil. Pengemudi bentor menjadi guide kami, dia membawa kami melewati gedung kantor bupati Halmahera Utara yang berbentuk segi delapan.
“Lihat itu, keren ya gedung pemerintahannya” seruku, “di jawa kliatannya gak ada yg bangunannya se ‘wah’ itu”
“Iya tuh, cocok, megah sebagai gedung pemerintahan” jawab Jati.
Perjalanan kami diteruskan melewati Hibualamo, seperti pendapa namun bersegi delapan rumah khas Tobelo. Kami juga dilewatkan universitas di Tobelo. Kemudian aku usul untuk ke kantorpos daerah itu sebelum tutup. Aku berencana mengabari orangtuaku dan kakakku kalau aku sudah sampai di Tobelo.
“Aku mampir kantorpos dulu ya, bentar, mau beli kartupos” kataku sambil melangkah turun dari bentor.
“Eh, aku ikut, aku juga mau kirim kartupos” kata Anggun juga ikut turun bentor.
Kami berdua masuk kantorpos dan membeli kartu pos dan perangko. Sampai ke Jawa prangko hanya butuh tiga ribu rupiah ternyata.
“kau tulis surat pada siapa Nggun?” tanyaku.
“Ke tanteku, kan aku tinggal sama tanteku” jawab Anggun.
“Oh, kirain buat cowokmu.”
“Eh, ngawur, belum punya ya..”
“Ah, masa sih, sejak lulus kuliah masa belum dapet juga”
“Beneran, suwer, ngejek kamu ah..!”
“kalau gitu ndaftar jadi calon boleh?” kataku sambil sedikit berlari menyerahkan kartuposku untuk di cap pada petugas.
“Gakkkk!” jawabnya spontan, “Heh, tunggu!”
Kami berdua lalu keluar kantorpos dan perjalanan terakhir kami dengan bentor di sekitaran pelabuhan. Di dekat pelabuhan ternyata ada pasar tradisional, tak jauh dari pasar ada juga supermarket, sepertinya satu-satunya di Tobelo. Setelah itu kami kembali ke hotel.
***
Petang hari, 18.30 masih serasa pukul 17.00 sore di Jawa. Kami bersama-sama keluar berjalan ke arah swalayan untuk membeli bekal ke pulau untuk tiga hari disana. Berjalan melewati pasar, seperti trotoar di Indonesia yang lain, sebagian digunakan untuk berjualan juga. Melewati pasar, ada hal unik, seperti gula aren yang bulat dibungkus daun kering, sepertinya daun palem. Tentunya itu hal yang khas dari daerah sini dan kupikir aku harus membelinya untuk oleh-oleh. Para penjual menampilkan dagangannya dengan unik, diletakkan dalam piring-piring, begitulah etalase dagangan mereka.
Sesampainya di swalayan itu, kami berbelanja.
“kamu Cuma beli itu Ri?” tanya Anggun.
“Iya, ngapain  beli banyak-banyak, berat ah” jawabku.
“tapikan disana di pulau, ntar ga ada yang jual pas kamu butuh kapok kamu”
“biarlah, ntar pasti juga ada diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa”
“Ah, Ngaco kamu mah!”
Sisa malam itu kami habiskan di hotel. Kami ngobrol ramai hingga mengantuk dan packing untuk esok hari, mempersiapkan untuk tinggal tiga hari di pulau yang kami belum pernah datangi.
***
Pagi itu pukul 7.30 kami sudah on the way ke pelabuhan. Pelabuhan ke Kakara arahnya belok kiri sebelum gapura masuk pelabuhan utama, dan dari situ belok kanan dan tak jauh dari situ sudah dapat ditemui dermaga. Dua kapal bercadik siaga disitu dan kami akhirnya menumpang kapal yang berwarna hijau. Kapal ini beratap sehingga ketika masuk kami perlu sedikit membungkuk. Kapal kecil ini sudah memakai mesin di yang berada di bagian tengah sedikit kebelakang, diatasnya kemudi kapal. Mesin itu dihubungkan dengan besi yang memutar baling-baling di belakang kapal. Orang sini menyebutnya katinting.
Mungkin perjalanan 10-20 menit saja, tak kulihat jam tanganku karena asik ku lihat laut yang begitu jernih dan berganti-ganti warna dari hijau muda yang menandakan dangkal, kadang warna putih terpantul dari karang-karangnya, dan bila hijau-biru gelap berarti pertanda perairan dalam. Ditengah perjalanan sebuah kapal tangker terlihat berjalan pelan meniti laut dalam menuju ke pelabuhan Tobelo.
Saat itu sedang surut, kami tiba di Tanjung Kakara dan sedikit kesulitan karena adanya gap antara katinting dengan dermaga. Dermaga yang terbuat dari kayu itu menyambut kami menghantarkan ke pasir putih Kakara. Sedikit masuk dari pantai terdapat bangunan yang merupakan rumah kami untuk tiga hari kedepan.
“yuk buruan ke guest house, lalu kita nikmati pantai ini” kata Utami.
Dia bergegas ke guest house itu dan menanyakan mengenai reservasi kami. Setelah kami bongkar muat barang di kamar, kami langsung menuju pantai dengan celana pendek dan membawa kacamata renang.
“Amboi… indahnya… dari Tobelo tadi sampai sini tak ada ombak sama sekali, beda dengan pantai laut selatan Jawa!” kata Anggun dan kami semua mengiyakannya.
“Ayuk Nggun, renang” kataku sesudahnya.
Aku, Anggun, Jati dan Delon langsung masuk ke air, sedangkan Utami hanya bermain air dipinggir dan Desita menikmati pasir pantai. Indahnya pantai ini, tidak dalam, karangnya menggiurkan untuk dilihat hanya saja nafas memaksa untuk segera keluar dari air untuk menarik oksigen yang dihasilkan pulau yang penuh dengan pohon kelapa ini.
“Keren banget ya disini!” kata Jati, “biasanya lihat kaya ginian cuma di google atau TV sekarang bisa ngalamin beneran!”
“Iya, bener banget kamu Jat!” kataku.
Sambil menyelam minum air, sambil menyelam ku mengamati gerakan Anggun berenang, sekali lagi, benar-benar Anggun. Rambutnya yang lurus menggelombang terkena air ketika berenang. Wajahnya menjadi lebih manis dengan latar belakang pemandangan dalam air. Andai dengan liburan ini aku bisa dipersatukan dengan dia.
Tak takut gosong kami berenang hingga menjelang tengah hari, dan siang hari kami makan makanan khas daerah situ, Ikan bakar dengan ketela goreng bersama sambal, kata orang guest house ni sambal namanya dabu-dabu. Lezat juga walau menurut kami ‘hanya’ ketela namun ternyata ini menjadi makanan utama disini.
Siang sampai sore kami habiskan untuk bermalas-malasan di pasir dibawah pohon di pantai ini. Menjelang tenggelamnya sang surya, kami segera berbilas dan menuju dermaga di tanjung ini untuk menikmati matahari tenggelam. Gunung Mamuya di daratan Halmahera dengan langit keemasan menjadi latar belakang tenggelamnya matahari. Air laut menjadi keemasan juga. Semakin gelap langit semakin terlihat kelip-kelip di air.
“Eh teman-teman lihat, tu ada kelip-kelip di air apaan ya?” kataku.
Bagaikan kunang-kunang air, kelap kelip.
“Mungkin ikan bercahaya?” jawab Jati.
“Atau makhluk gaib Ri?” kata Anggun.
“Ah, ngaco kamu Nggun” kataku.
 Awalnya kupikir itu pantulan cahaya, namun entahlah mungkin benar itu sejenis sepesies kunang-kunang dalam air. Pastinya suasana itu suasana paling romantis yang ada, seharusnya. Karena itu aku coba ajak ngobrol Anggun sebisaku, walau kami berenam teman dekat tapi kikuk juga bila ada maksud ‘tertentu’ ketika ngobrol. Di sisi lain, Desita menikmati petang itu dengan caranya sendiri, diam. Dia memang terkenal pendiam namun bila kami ajak untuk main pasti langsung ikut, seperti liburan kali ini.
***
“Aduh, sakit” tiba-tiba Anggun berteriak. Dia terjatuh sepertinya tersandung akar pohon, dan perlengkapan menyelamnya jatuh semua. Pasir menempel di tubuhnya yang masih basah.
“kenapa Nggun?” kataku sambil mendatanginya, “gak apa-apa kan?”
“gak apa-apa kok, Cuma tersandung aja” jawabnya sambil mengambil barang-barangnya yang terjatuh.
Setelah mengembalikan peralatan menyelam kami bersantai di pinggir pantai lagi.
“Nggun, itu kaki mu agak bengkak?” kataku tiba-tiba padanya.
“Iya masih sakit nih, mungkin terkilir juga” jawab Anggun.
“Aku ambilin salep ya, liburan belum ada setengah, ntar malah tambah buruk” kataku sambil beranjak ke guest house dan mengambil salep untuk kesleo.
“Ni salepnya, aku olesin ya” tidak tau mengapa tiba-tiba kata-kata itu muncul dan kulakukan. Ku olesi salep pada kakinya yang sedikit bengkak.
“Makasih ya Ri” katanya setelah ku oleskan salepnya.
Sisa hari itu kuhabiskan lebih khusus berada dekat Anggun. Juga pada api unggun kecil-kecilan di pinggir pantai yang kami lakukan di malam terakhir di pulau.
“Eh, tidur di luar aja yuk malam ini? Kita nikmati malam ini tidur di pantai.” Kata Jati, dan semuanya setuju.
Malam itu satu persatu tertidur, tersisa aku dan Anggun masih terjaga berbagi certia masa lalu dan masa kecil. Akhirnya dia pamit untuk meringkuk di tikarnya berselimutkan kain. Nyala api unggun kecil dan ku menyusul tidur meringkuk dengan jaket dan sarungku.
Sekitar pukul 3.00 pagi aku terbangun, api unggun tinggal bara, dan Anggun terlihat kedinginan dibalik selimutnya yang tipis. Terlihat tidurnya tidak tenang karena kedinginan walau dia tidak terbangun. Memang itu bukan selimut namun kain pantai. Lalu kulepas sarungku dan ku selimutkan padanya, dan kulanjut tidur malam itu.
“Makasih ya semalem.” Kata Anggun di pagi hari sebelum kami mandi pagi di pantai.
“makasih apa Nggun?” jawabku.
“makasih udah kamu pinjemin sarungmu semalem, itu kan sarungmu tiba-tiba terselimutkan ke aku. Siapa lagi yang punya sarung kotak-kotak biru disini selain kamu”
“Oh, iya, sama-sama. Soalnya aku kebangun liat kamu kliatannya kedinginan gitu, maka aku selimutin.”
“Ok, makasih ya,” katanya sekali lagi sambil berlari masuk ke air.
***
Kami berkemas, siang itu dan tiba-tiba penjaga guest house itu nimbrung.
“Barangkali tinggal semalam lagi? Belum berwisata ke desa kan?” kata penjaganya dengan dialek lokal.
“Eh, memang ada desa disini Pak?” kataku.
“Ada, desa Kakara namanya, seperti nama pulau” kata pak Kristo penjaga guest house, “ kalau mau bisa jalan, paling 10 menit atau naik katinting langsung ke dermaga desa”
“Mungkin siang ini sampai sore kita bisa disana, lalu petang kita baru balik kota bagaimana?” kata Jati menjawab dan menawarkan ide pada ku dan teman yang lain.
Akhirnya kami setuju untuk berjalan ke desa dengan pemandu Pak Kristo, dan baru petang hari kami tolak ke kota via pelabuhan desa Kakara. Siang itu dengan tas penuh, kami berjalan menyusuri bakau dan kebun kelapa. Sesekali dan semakin sering menemui manusia berarti rumah penduduk sudah dekat. Memang benar, setelah melwati kuburan kecil, rumah penduduk terlihat. Beratap seng dengan dinding papan kayu atau batako, satu dua rumah masih menggunakan atap daun.
Desa Kakara ini hanya mempunyai satu jalan dengan ujuung dermaga dan sekolahan di sisi dalam pulau. Di tengah desa kami diajak Pak Penjaga untuk mampir ke rumah seorang perajin, disitu kami diperlihatkan pembuatan Salawaku, perisai khas Tobelo dan pernak pernik terbuat dari kerang kecil, disini mereka menyebutnya bia.
“Mari kebelakang, torang minum kelapa muda, bahasa Tobelonya O giyau kelapa muda. Saya punya beberapa pohon” kata pak Jesen sang pengrajin.
“Boleh pak?” kataku.
“Mari-mari, ikut saya kebelakang”
Dengan cekatan dipetikkan beberapa kelapa muda dan dengan parang yang tajam Pak Jesen membukanya. Segarnya bukan main! Apalagi ditengah terik panasnya pulau ini.
Setelah minum kelapa muda, kami diberikan kenang-kenangan berupa gelang dari kerang. Secara pribadi aku meminta sebuah untaian kerang yang sedikit panjang, berupa kalung untuk aku. Bapak pengrajin yang baik hati itu memberikannya juga padaku.
Menjelang petang, kami ke dermaga, di dekat dermaga ada rumah adat Hibualamo. Bersegi delapan dan terbuka. Kami menghabiskan petang itu di dermaga untuk melihat matahari tenggelam lagi sebelum kami bertolak ke kota Tobelo. Anak-anak desa Kakara terlihat asik bermain di dermaga, berrenang ada yang memancing juga. Beberapa katinting terlihat datang untuk pulang.
Petang menjelang, matahari sudah menyentuh garis cakrawala. 18.40. cahaya keemasan membuat langit dan laut berwarna sama. Di petang yang romantis itu kuberanikan diriku untuk berucap, “Nggun?”
“Ya?” jawabnya.
“Ehm… mau gak kamu jadi pacar aku?” kataku lemah sedikit terbata-bata.
Dia tersenyum dan kembali menghadap cahaya keemasan matahari. Hal itu membuatku acakadut. Perasaan ini jadi tidak enak. Beberapa menit kami dalam keheningan.
“Oke” jawab Anggun tiba-tiba sembari tersenyum.
“Eh, anu… beneran?” kataku canggung.
“Beneran, kamu juga beneran kan nembak aku?” balasnya.
“Eh, iya… em… kalau gitu ini buat kamu…” kataku sambil menyerahkan kalung dari kerang yang kuminta dari pak pengrajin di desa itu.
“Ah, kamu kok dapat ini? Darimana?”
“Iya dong, sini aku pakaiin.” Kataku sambil mencoba mengkalungkan untaian itu ke lehernya. Dia tersenyum dengan kalung itu di lehernya manis sekali wajahnya. Kemudian kami kembali menghadap ke matahari yang tinggal separuh di cakrawala. Dia menyandarkan kepalanya dipundak aku sembari menatap arah yang sama. Petang itu di Kakara, pulau karang. Hatiku teguh bagaikan karang menyatakan cintaku yang diterima

14- Jul-2014