Siang
itu aku tergeletak di kasurku. Tanpa aba-aba airmata menetes dan mengalir di
pipiku. Tenggorokanku berasa tercekat meskipun tak ada tangan yang mencekiknya.
Ku geser-geser layar ponselku tak menemukan sesuatu yang dapat menhiburku. Facebook dan twitter pun sepertinya tak ada hal yang baru apalagi permainan.
Internet
akhir-akhir ini serasa semakin lambat dan semakin menggugah emosi burukku.
Entah hal apa ini merasuki aku, aku merasa siapapun yang ada di depanku
sekarang pasti patah tulang! Namu kata orang hanyalah patah hati, sebuah kisah
cinta yang berakhir tidak enak.
Ya,
aku cowok, dan aku menangis karena sayang. Apakah hal itu dapat dianggap
cengeng? Persetan kata orang, mereka gak pernah ngrasain hal yang aku alami
sama persis. Bahkan bila mereka mengalaminya paling juga tidak lebih baik dari
yang ku rasakan.
Kosong-song,
samasekali tanpa ada satu sms pun masuk ponselku. Memang aku seorang introvert
dan kata orang juga melankolis, tapi memang aku tidak terlalu suka berbincang.
Maka, satu cewek (baca: mantan) ini memang terlalu menyakitkan buatku, karena
untuk mendapatkan satu cewek pun jalur terlampau sulit buatku.
Mungkin
salahku-mungkin salahnya yang pasti aku dan dia sama-sama pernah berbuat salah.
Dia adalah sosok perempuan yang manis dan penyayang, cantik khas nusantara,
kulit kuning langsat, rambut panjang lurus, gigi rapih berderet dan tidak
terlalu kurus ataupun gemuk. Walaupun sebenarnya buatku fisik tak masalah,
namun bersyukur bila mendapat yang di idam-idamkan.
“Gi,
break dulu yuk? Aku semakin berat mengurusi kuliah ini, terlebih menjelang ujan
akhir semester, banyak tugas yang harus ku lembur. Bila kita pacarn masih
seperti ini kuliahku hancur” kataku, kata yang kini ku sadar awal kehancuran
kami.
“lalu
kalau kita break aku gimana?” kata Regina, “kau tau kan aku tak punya teman,
dirumah sendiri, sedangkan kuliahku seminggu hanya dua kali. Jangan lah, aku
pasti kesepian”
“tidak
apa-apa, hanya untuk sementara kok, nanti Januari, semester baru, kita semangat
baru, aku janji!”
“Aku
gak mau, kamu yang bikin aku nyaman, aku gak mau kita pisah…”
Setelah
percakapan itu sudah dapat ditebak kelanjutannya. Nilai kuliahku hancur,
hubunganku meregang, aku semakin tidak bisa membawa diri karena pikiranku
terpecah. Aku bukan perempuan ataupun komputer yang bisa multitasking. Hasilnya nol besar menurutku.
Semakin
hari ternyata benci ini semakin mengisi, dan aku benar-benar menginginkan
putus. Namun tiap kali kuucap isaknya semakin menjadi dan aku semakin tidak
tega. Hingga pada akhirnya dia berucap “iya”.
“Tapi
kamu satu-satunya yang bisa ku bikin nyaman” kata Regina
“Iya,
tapi kamu terlalu perasaan, sesekali pakailah logika!” sahutku.
Semakin
hari, dia ternyata juga semakin menunjukkan kebaikan, beberapa kado tiba di
rumahku atasnamanya. Tak hanya itu, dirinya pun semakin sering mengunjungi
rumahku untuk sekadar bertemu atau bercengkerama. Lambat laun, aku semakin
merasa bahwa hatiini harus membalasnya karena rasa ini pun sebenarnya juga
masih ada, begitu banyak.
Mulai
saat itu diriku mencoba menyayanginya lagi. Perlahan kasiih sayang kami pun
tumbuh lagi, dan coba ku pupuk lagi hingga kami rujuk. Kisah-kisah indah
mewarnai kami lagi. Hingga entah mengapa pada suatu hari dia menghilang, tanpa
alasan yang jelas ketika kami berjanji untuk bersepeda bersama menghabiskan
malam minggu yang seharusnya menjadi indah.
Satu
minggu, kucari dia tidak ada respon. Dua minggu ku cari dia, hanya alasan aneh
yang kudapatkan, satu bulan mencari akhirnya kutemui dia.
“Kamu
kemana saja, tau kalau kita punya banyak agenda untuk dilakukan bersama?”
kataku.
“Aku
acara dengan saudara-saudaraku, aku sibuk ga bisa ngabarin kamu.” Jawab Regina.
“Sesibuk
apa sih, sampai ga bisa ngabarin, ga
bisa ngubungin hanya ucapan selamat
pagi dan pamit tidur saja sms, gak mungkin lah kamu sampai seperti sibuk
ngurusin EO aja. Apalagi Cuma ketempat saudaramu”
“Beneran,
maaf…”
“Ga
ada gunanya maaf, kalau tak ada tindakan. Aku lebih suka orang yang bertindak
lebih baik daripada orang yang tiap kali hanya minta maaf”
“Maaf
yah.. please…”
“Enggak…”
“...tapi
jangan marah ya”
Namun
berkali-kali kejadian itu terjadi tanpa alasan yang jelas yang tidak bisa
kumengerti. Dua bulan berjalan dan dengan anehnya hal yang membuatku pusing
seumur hidupku mengenai logika perempuan.
“..mmm
aku mau ngomong sesuatu” kata Regina.
“Apa
Gi” perasaanku sudah tidak enak, dari kata-kata tersebut pasti sudah bisa
ditebak kelanjutan percakapan ini.
“..
aku pikir kamu bener… aku gak cantik, aku gak sexy, aku gak seperti yang kamu mau.. kamu bener kalau kamu minta
putus, aku iyain… skarang kita putus. Aku bukan cewek pinter, aku bukan cewek
yang pandai bergaul, aku minta maaf ga bisa bahagiain kamu aku cewek yang
lemah.
“Hey,
ngomong apa kamu, kita saling sayang kan?
“..nggak..
kita udah nggak lagi .. kamu pasti akan jadi mantan terindah buat aku, maaf,
aku ga bisa jadi yang kamu mau. Aku kira dengan ku slalu tolak kata putusmu
dulu aku bisa mengubah kamu jadi lebih sayang aku tapi aku gagal.”
“Kok
kamu kaya gitu sih? Ayo lah kita bersama! Kalau kamu pikir kurang baik, kita
perbaiki bersama, nggak kaya gitu caranya”
“maaf…
aku ga bisa lagi sama kamu, tapi ada kabar gembira, sekarang aku ditrima sbg
karyawan di kampus, tapi part time slama liburan pergantian tahun ajaran,
akhirnya aku bisa kerja juga”
“ayo
lah kita belum putus, kita perbaiki..”
“nggak,
kita udah putus.”
Hati
ini rasanya bagaikan dikhianati dan ditusuk, digores, rasanya memang lebih baik
mati daripada merasakan hal itu. Bagaimana tidak, memang aku menyadari dulu
memang aku memutuskan dia, tapi dia tidak mau dengan berjuta alasan. Namun
ketika ku pikir matang, sepertinya ku harus menerima dia lagi maka kami rujuk.
Serasa bagai batu loncatan yang dibuang begitu saja ketika dia berucap putus,
dan tak ada kompromi lagi. Untuk ku minta rujuk, dengan berjuta alasan lagi.
***
“Tok,
tok tok” pintu kamarku tiba-tiba diketok.
“Nak,
keluar lah. Ibu sudah pulang” seru ibuku yang barusaja pulang kantor, yang
menunjukkan hari sudah sore.
“Ya
bu…”
Sore
itu aku berlanjut menikmati sore bersama keluargaku dengan hidangan tahu goreng
sambal kecap utntuk cmilan. Ibuku menanyakan agenda liburanku dan kujawab bahwa
gak ada kerjaan selama liburan.
“Sudah,
ikut acara-acara musim panas saja, sana kamu Nak. Kan banyak to yang di adain
oleh LSM-LSM buat ngisi liburan pemuda.”
“Ah,
malas bu… liburan kok liburan sama orang yang gak aku kenal”
“Ya
itu tujuannya biar kamu gak Cuma di kamar terus, cari temen, cari pengalaman
mumpung masih muda, daripada tuamu besok susah”
***
Tak
tentu arah ahirnya aku tiba di Jogja, dalam suatu acara musim panas yang
diselenggarakan oleh salah satu LSM. Acara ini bertaraf internasional,
kerjasama LSM Indonesia ini bersama Jepang dan Hongkong. Aku pikir hal ini
biasa, karena dalam satu minggu ini isinya hanyalah workshop dan live in.
total peserta 18 orang, 6 dari masing-masing perwakilan negara.
Tak
ambil pusing mengenai bahasa, pikirku ini kesempatan untuk menjahit hatiku yang
telah koyak. Di tengah pendhapa basecamp LSM ini tiba-tiba,
“Hai, namaku Saraswati” sapa seseorang cewek
tiba-tiba, “dari Jogja, aku tinggal di Bantul”
Ku
tengok ke arahnya, seorang cewek, bertubuh sintal, rambutya lurus terurai
panjang dengan aksesoris bando, matanya yang jernih menatapku tanpa ada risih.
Dia memakai rok bermotif buga kecil-kecil dengna atasan kaos putih polos. Aneh
juga pikriku pakaiannya. Menjulurkan tanggannya dan kami berkenalan dan
bertukar info.
Stelah
kami berbincang sejenak dia permisi dan mencoba menyapa orang lain dan
berkenalan. Hari itu ku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya, walau
perempuan dari Jepang dan Hongkong lebih menggoda. Tapi apa toh gunanya, paling
juga seminggu ini saja kami berkenalan, ataupun maksimal satu bulan bertautan
di sosmed, setelah itu teman dari manca negara itu juga memiliki urusannya di
negaranya sendiri.
Bantul
ternyata tujan pertama kami, talkshow dengan salah satu penerbit buku tenar di
sebuah guest house ditengah sawah yang menawarkan nuansa tradisional khas Jawa.
Kamar-kamar yang disediakan juga merupakan bangunan jawa, hanya saja aula yang
kami tempati menunjukkan nuansa yang lebih kekinian.
“eh,
disini deket lho sama rumahku” kata Saraswati dengan antusias.
Bantul,
desa, pikirku, paling-paling kata deket untuk orang desa itu bisa saja 10km!
“oh
ya? Memang dimana?” jawabku agak kurang tertarik.
“tadi
kita masuk ke jalan menuju guest house ini kan lewat pertigaan dari jalan
utama, nah, rumahku pertigaan sebelum kita masuk ke jalan menuju guest house
ini.”
“ooh,
beda desa? Ya dengan disini”
“beda
sih, tapi aku tinggal di perumahaan kalik gak di desa”
“emang
ada ya perumahan dibantul? Bantul kan desa?”
“ah
kamu ini mentang-mentang orang kota!”
Percakapanku
itu terjadi begitu saja, serasa bukan aku yang menggerakkan. Seperti ada daya
lebiih dari Saraswati untuk memaksaku bercakap. Atau mugkinkah dia Saraswati
jelmaan sang dewi Saraswati?
Beberapa
workshop kami lewati dalam dua hari. Setelah workshop yang kami lakukan di
beberapa tempat di Jogja, Jogja ternyata bagus juga sekarang. Walau kondisinya
kata orang tak lagi nyaman, tapi tetap saja jadi tujuan pariwisata. Karena yang
bilang gak nyaman itu penduduk asli. bukan pelaku pariwisata.
Tiba
harinya untuk tinggal di desa, desa yang ditentukan ialah Turgo di kaki gunung
Merapi. Sebelum kesana, bus yang kami tumpangi menuju ke arah Kaliurang untuk
melihat Gunung Merapi dari gardu pandang yang ada disana.
Diatas
Gardu, bisa dilihat ujung suatu sungai, entah sungai apa, dan Merapi bagaikan
menyodok mata di depan kami. Dengan angkuhnya ia berdiri berwarna abu-abu biru
tua. Terlihat lekuk di lerengnya yang ternyata tidak rata.
“Hai!
Jangan melamun saja!” Saraswati mengagetkanku, “tuh, bagus kan dinikmati,
jangan melamun”
“aku
menikmati pemandangan ini yaa… gak melamun.”
“lihatlah,
Gunung itu, besar, gagah, bagaikan sosok ibu, yang selalu mengayomi anaknya.
Kasihnya dengan airnya yang ia alrikan melalui sungai, sesekali ia bagaikan ibu
yang marah ketika meletus, tapi itu juga kasih sayangnya untuk anak-anaknya
supaya dapat hidup lebih baik; bagi petani letusannya kan menyuburkan. Seperti
ibu yang marah pada anaknya dengan tujuan anaknya kelak lebih baik”
“yaampun
nogmong apa kamu?? Kamu yang gak melamun aja kesambet tuh, tuh”
“Ih!!!
Kamu gak ngehargain orang ngomong ya! Awas kamu!”
Diatas
gardu itu dia mencubiti aku, dalam canda dan tawa kami melanjutkan
bercengkerama. Event Internasional jatuh hatinya sama orang lokal, tak apalah.
***
Bermain
dengan anak adalah agenda kami utama, berdiskusi dengan pemuda adalah selingan,
dan bersosialisasi dengan orang tua yang kami tinggali adalah intermezo,
pikirku dalam live in ini di desa Turgo.
Dari
desa ini terlihat bukit Turgo yang menjulang hampir menutupi Merapi. Di sisi
bukit itu terdapat jalan setapak menuju puncak untuk melihat Merapi lebih baik.
sesekali bertemu dengan warga sekitar pulang mencari rumput “ngarit” kata orang sini. Beberapa titik
menarik untuk diabadikan dengan atau tanpa manusianya. Jalanan setapak hanya
cukup untuk dilewati seorang demi seorang dengan Saraswati di depanku membuatku
seperti bertanggung jawab atas keselamatan dia.
“Akhirnya
puncak Turgo. Indahnya…” kata Saraswati, “Aku orang Jogja tapi baru pertama
kali ini sampai di tempat ini.”
“ah
masa, bukannya kamu tukang traveling?” sahutku, sebelum dia berkata lagi “awas
jangan kesambet lagi kamu! Ntar tiba-tiba bikin prosa lagi ditempat ini”
“ngawur!
Beneran tauk, itu kan tafsiranku pada Merapi, suka suka aku lah, week!”
“kalau
gitu gantian aku menafisr, Merapi itu menurutku bagaikan Ayah.”
“mengapa?”
“Karena
darinya sungai-sungai mengalir.. dan mengisi Samudra, samudra bagaikan rahim
Ibu yang dibuahi oleh Merapi melalui sungai-sungainya. Dengan demikian yang
disebut Ibu adalah laut, bukan Merapi. Bagaimana?”
“hmm…
bagus juga, masuk akal.”
Sisa
waktu itu kami mengobrol mengenal lebih jauh mengenali diri masing-masing.
Dengan latar belakang merapi, di puncak bukit Turgo. Semakin siang, semakin
pudar sosok gunung itu dan akhirnya kabut memaksa kami untuk turun kembali ke
desa.
***
Suhu
sepertinya dibawah 0 drajat Celcius, menurut perkiraan orang kota seperti aku, meskipun
bisa jadi ini hanya kisaran 14o-18o C. usai api unggun dan malam perpisahan dengan
warga desa yang ramai, sorak sorai dan isak tangis oleh peserta Jepang dan
Hongkong. Aku mendekati Saraswati dan duduk di sebelahnya sekitar 3 meter dari
api unggun yang sudah kecil nyalanya. Anak-anak desa yang masih terjaga bersama
peserta yang lain membakar jagung.
“Tumben
diem? Biasanya riang dan selalu menyapa siapapun?” kataku membuka obrolan namun
sepertinya garing dan kulanjutkan, “gak bakar jagung juga?”
“Hmm…
oh ya. Mau dong, bakarin satu..” jawabnya. Ku kupas dua jagung dan ku olesi
mentega lalu ku taruh di bara kayu.
“nagapin
diem kamu?” kataku sambil mendekati Saraswati lagi dan duduk di sebelahnya,
sedangkan anak-anak mulai mengkikis jagung dengan gigi mereka.
“Gak
apa-apa kok, Cuma nikmatin malam ini aja. Perpaduan yang pas… langit cerah,
dingin dan masyarakat berinteraksi dengan pendatang?” jawabmu.
“lama-lama
omonganmu berat ah, bingung…”
“hahhaa…
lihat tuh! Langit itu cerah, bintang berserakan bagai gula pasir tupah
bercahaya. Dan lagi ini kala bulan mati, jadi mereka tampak lebih bersinar.
Ketika tak ada saingan yang lebih berarti, pasti sekecil apapun usahamu akan
terlihat.”
“tu
kan… jangan-jangan kamu anak filsafat ya?”
“haha,
enggak lah, tuh lihat bintang yang kaya layang-layang, tau gak aku sampe
sekarang bingun kok bisa dibilang rasi bintang gubuk penceng, padhal dia kan
mirip layang-layang. Apa jaman dulu gubuk tu bentuknya layang-layang gitu ya?”
“haha
bener juga.. gak tau tuh. Tapi bagus, jarang bisa didapet pemandangan kaya gini
di perkotaan yang dah banyak polusi cahaya.” Sungguh istimewa pikirku.
“Kedaluarsa…”
kata Saraswati tiba-tiba ditengah keheningan kami menikmati bintang.
“apa?”
“Semua
yang kamu lihat itu kedaluarsa…” uulangnya memperjelas, “karena itu cahaya
ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.. baru bisa sampai sini saat ini…
perjalanan jauh ditengah kehampaan luar angkasa. Jangan-jangan kalau kita mati,
kita berpindah antar bintang gitu ya, ke planet lain tata surya, dan bagaikan
nomaden saja…”
“tapi
kalau begitu, kok kita tidak ingat kehidupan masa lalu kita?”
“hmm…
ya entah lah… begitu saja kok dipikir, Hahahha… kita nikmati saja, dah”
Satu
persatu anak-anak pulang meninggalkan bonggol jagung di dalam bara kayu dan
yang tersisa tinggal peserta dan panitia yang ingin menikmati waktu malam yang
indah ini. Malam terkahir di desa.
***
Tolak
ke Jogja kota, suasana terasa ramai sekali, kendaraan dimana-mana, nampaknya
beberapa hari di desa saja sudah bikin culutre
gap!
Kunjungan
ke Kraton Jogja, sepertinya hal yang menarik pikirku. Dari utara melewati tugu
ditengah jalan yang tak ada yang sanggup menyuruhnya minggir karena menutupi
jalan. Masuk ke jalan Mangkubumi, yang kata Saraswati udah ganti jadi Margo
Utomo. Jalan meliuk dan melewati jembatan; sungai dibawahkami dan rel kereta
diatas kami. Rel ganda sudah terpasang di Jogja. Lokasi itu ternyata
bersejarah. Kreteg kewek. Peninggalan ‘kumpeni’.
Masuk
ke area Malioboro, bus kami serasa besar sesak menhimpit pengendara lain.
“what
a big Japanese motor showrom!!!”
“no,
no, not a show room but parkin area”
“no
way, it’s all Japanese brand!”
“yea,
Japanese motorcycle has special right here to sell in a cheap price”
Terdengar
obrolan di dalam bus dengan antusiasnya seorang peserta dari Jepang dan dijawab
juga dengan antusias oleh peserta lain.
Kraton.
GKR Hemas datang dalam ruangan itu dengan anggunnya, gedung Pacar Kepatihan. Ia
adalah istri Sultan Yogyakarta. Dia bercerita sedikit mengenai folosofi kraton
dan arsitekturalnya yang ternyata ialah sebuah linier kehidupan dari lahir
hingga mati disimbolakn dalam berbagai bentuk ruang; Pantai Selatan, Panggung
Krapyak, Alun-alun Selatan, Kraton dan bangunannya, Alun-alun Utara hingga Tugu
Jogja. Juga menjelaskan mengenai kepemudaan di Jogja.
Sesi
tanya jawab, dan saatnya ku mengobrol dengan Saraswati. Sihir kekuatan aneh
yang memberanikanku selama ini untuk mengobrol dengannya sepertinya belum
hilang.
“Tuh,
kan Jogja itu penuh cerminan kehidupan dengerin gak tadi?” kata dia mendahului
aku.
“eh..
iya bener.. hebat banget ya berarti orang jaman dulu, mikirnya dalem banget.”
Sahutku.
“ya
iyalah, jaman dulu belum ada ponsel,
sekarang dah ada ponsel, gadget dan elektronik yang lain bikin kita lupa
berinteraksi dengan alam. Padahal alam yang menyediakan semuanya. Orang pikir
sekarang kan beras tinggal beli, listrik tinggal bayar. Padahal kalau ga ada
sawah ga ada beras, ga ada air ga ada pembangkit lisrik.”
“aku
tercengang deh ama kata-katamu… beneran deh, kamu tambah kesambet, mungkin
kesurupan, hanya saja yang ngerasukin kamu tuh mesti roh baik bukan kesurupan
roh jahat, Hahhahahahaha” kataku bercanda
“Kamu
ah! bukannya ngeiyain malah ngejekin terus!”
***
Hari
terakhir. Kami diberikan waktu untuk berbelanja cindera mata di Malioboro. Ada
toko cukup besar khusus cinderamata khas Jogja, kami menuju kesana. Selain
berbelanja, kami juga sebagai pemandu bagi teman-teman kami peserta dari Jepang
dan Hongkong.
Kulihat
sebuah gelang, cukup unik yang gak begitu Jogja banget, dari logam dan bahan
kayu, sepertinya batok kelapa. Berupa bulir-bulir dengan aksen bentuk hati
tergantung di sis terjauh dari kaitan gelang itu. Aku pikir ini amunisiku untuk
menyatakan cinlokku. Aku ambil dan kubayar di kasir, lalu aku bantu teman-teman
peserta dari Mancanegara untuk memilih barang yang mereka suka.
Perpisahan
dengan peserta Jepang dan Hongkong di bandara cukup ramai diwarnai isak tangis
dan pelukan. Hingga akhirnya lambaian tangan terakhir kami lakukan mengiringi
mereka memasuki ruang check in.
Usai
bagi peserta luar, belum usai bagi peserta lokal. Juga tentunya belum usai bagi
diriku. Aku duduk di bus yang menuju base camp LSM pembuat acara ini, diriku
teringat bahwa diriku barusaja putus, dan dengan cepatnya mendapatkan gebetan.
Apakah ini memang mukjizat atau keberuntungan. Apakah Tuhan memang
mempercayaiku bisa menjaga hatinya?
Diriku
tiba-tiba terserang demam galau menjelang rencanaku mengungkapkan isi hati pada
Saraswati tepat sebelum berpisah. Macam-macam pertanyaan bermunculan di isi
kepalaku. Apakahh aku bisa, apakah aku layak, dia terlalu berpikir hebat
sedangkan aku hanya orang introvert yang dengan adanya kekuatan magis aneh
ingin selalu berada di sebelahnya. Belum juga nanti bila dia udah punya pacar.
Belum ntar kalau dia menganggapku hanya teman. Lain lagi ceritanya jika dia
malah kemudian tidak respect sama
aku.
Bus
tetap berjalan, dan Saraswati dua kursi didepanku tertidur, hampir sisa peserta
dan panitia tertidur. Kecuali aku dengan beban pikiran yang tiba-tiba tidak
memerdekakanku. Tapi gelang ini sudah aku beli untuknya untuk sarana ku nembak
dia? Aduh kenapa dengan otakku ini.
Tak
lama bus sampai basecamp dan kami
menurunkan barang kami. Teman-temanku sudah siap dijemput. kesempatan ini
kesempatan terakhir untukku berucap pada Saraswati. Namun kegalauan masih saja
menyerap semua rencana yang telah kupersiapkan, menjadi suatu gumpalan energi
ketakutan menghadapi sesuatu.
Akhirnya
dia berucap padaku, “aku pulang dulu ya, pengalaman indah acara ini dan sama
kamu” aku mengiyakan dan membalas pamitan. Dia berbalik menuju salah satu
jemputan yang ada.
“Hey,
tunggu sebentar!” triakku pada Saraswati, dan ku keluarkan dari tasku notes dan
alat tulis, kusobek satu lembar notes itu, dan kutulis;
“aku suka kamu, ku temui kamu kalau
ku ke Jogja lagi”
Ku
tekuk kertas itu dan kuserahkan pada Saraswati,
“Sampai
ketemu lagi ya” kataku padanya,
Dan
ku berjalan membelakanginya, di menuju jemputannya, ku menuju taxi yang
mengantarku ke Stasiun. Stasiun, tempat keretaku yang mengantarku ke kotaku
berada.
15-Jul-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar