Menjadi Asisten
Akhir tahun ajaran lalu saya diminta bu kaprodi untuk mbantu menjadi
asisten dosen, karena banyak yang sudah mendapatkan kerja profesional. Aku
iyakan, toh aku belum pernah, dan lumayan pikirku, punya kesibukan dikala tubuh
sudah tidak sekuat dulu untuk kluyuran naik sepeda, hehe. Saat pendaftaran ku
isi form asisten dosen dengan penuh keyakinan dan gaya. Seminggu full, ambil
sesi pagi sore, dan berkeyakinan akan jadi orang sibuk semester ini.
Seminggu, dua minggu tak ada jawaban, ku tanya teman katanya mereka
sudah dapat email acc menjadi asisten. Mungkin karena faktor X ya saya tidak
diterima sama sekali menjadi asisten satu mata kuliah pun.
Angin segar, dari dosen mata kuliah kampung kota, namun ternyata angin
sementara karena tidak ada follow up, ketika ku tanyakan, mahasiswa yang
mengambil matakuliah ini hanya sedikit tak perlu asisten. Hingga suatu malam
ditanya oleh kakak angkatan, bisa bantuin matakuliah Struktur 5 kah? Butuh asisten.
Dengan sigap ku jawab “iya”! akhirnya….
Dua hari seminggu ku hadapi mendampingi pak dosen dan mahasiswa pada
mata kuliah Struktur 5. Lumayan lah daripada tidak ada kesibukan sama sekali. Eh
ternyata setelah tiga pertemuan dan bertemu dengan pak Eko Prawoto, ternyata
kelasnya juga membutuhkan asisten, direkrutlah saya. Jadi, seminggu saya masuk
3 kali sebagai asisten, yey! Kok bahagia ya? Haha…. Ya lumayan dapat sedikit
pundi-pundi uang.
Menghadapi.
Menjadi asisten dosen di prodi arsitektur menurutku menjadi bagian
paling ‘anu’ (deskripsikan sendiri :D) dalam dunia pendidikan. Selama menjadi
mahasiswa mengalami gap dimana info kurang jelas materi kurang di sini-sana,
sehingga menjadi asisten merupakan pengisi gap pengetahuan tersebut. Diluar sistem
kurikulum yang (mungkin) banyak celahnya.
Bertemu dengan berbagai macam manusia dari berbagai macam lokasi
menjadi satu di satu ruang kelas. Menjadikan diri juga semakin kaya
perbendaharaan soft-skill menghadapi berbagai manusia. Begitu asik mengamati
tiap mahasiswa memiliki cara pengerjaan tersendiri dan kemampuan yang unikk
pada setiap mahasiswa.
Bukan pada kurikulum, materi ataupun tenaga pengajar, tetapi mahasiswa
yang sedang berada di medan peperangan, menghadapi peperangannya sendiri dengan
semua potensi yang dimilikinya. Ok, kami hanya mengarahkan supaya potensi itu
berkembang ke arah yang (benar). Eits, tapi benar menurut siapa? Benar menurut
masing-masing mahasiswa/manusia yang mengalaminya sendiri.
Yah begitulah …