“Sepi… adalah ketika tak ada
lawan tanding yang setara.
Entah karena mereka lebih tinggi
ataupun lebih rendah.
Magel, adalah kata lain dari
sepiku.”
Diatas adalah cuplikan dari salah satu bait puisi yang pernah saya
buat. Memperingati hari raya nyepi, hari raya yang bisa dibilang unik. Unik
karena biasanya hari raya ialah saatnya untuk “Hore!” karena ada kata ‘raya’
dalam frasa tersebut, tetapi dalam hari besar ini, pe-raya-an hanyalah awal
dari suati inti; nyepi.
Sepi berarti tak ada lawan tanding, yang berarti tak ada dialog,
diskusi, debat ataupun jotos-jotosan. Dalam arti harafiah maupun dalam lingkup
pikiran. Dunia ini begitu ramai akan dialog akan kesenjangan, bahkan manusia
dengan alam pun memiliki kesenjangan yang ekstrim. Mencoba menghilangkan kesenjangan
tersebut merupakan bentuk nyepi. Alam terlalu keji, ya sudah biarlah demikian,
Gunung itu terlalu tinggi, ya sudah, biarlah demikian. Tak perlu ada
jotos-jotsan rasa dan keinginan untuk melebihi, atau mengurangi. Itulah sepi.
Menghilangkan tandingan adalah upaya awal. Tandingan tersebut ada di
dalam pikiran, dan itu yang paling rumit untuk dilawan, karena kita terus
membutuhkan lawan. Lantas apakah dengan nyepi kita menghadirkan lawan berupa
sepi itu sendiri?
Begitu banyak rambu di jalan, tapi tak ada yang mematuhi. Mereka tau
tapi tidak mau tahu. Begitu juga yang kurasakan, bahwa berbagai macam hal punya
pola dan korelasinya, tetapi aku bisa apa?
Bisa jadi adalah lingkungan aku dibesarkan, yang menuntut kesendirian.
Imaji mengerikan akan perempuan sering terlewat di benak. Hingga playstation
adalah teman terbaikku.
Alkitab bukanlah hal yang harus dipelajari di gereja setiap minggu
sekali/dua kali. Tapi bisa dipelajari di rumah. Dan hal itu membuat kesendirian
berdampak lebih lanjut.
Kesendirian dikala mereka ribut mengenai kulit luar, dan aku tertarik
pada hal yang orang-orang tidak tertarik. Maka aku tidak menarik.
Berbagai pola muncul jelas dan terarah menuju kemana, dan aku menjadi
aneh.
Sepi…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar