Seringkali kita bersepeda, seringkali
kita terpana, tapi tak bermakna.
![]() |
| Menatap matahari terbit, mencari pemaknaan baru. |
Berbagai kegiatan sepeda kota-kota sering saya ikuti, juga beberapa
sepedaan jarak jauh. Dalam kegiatan itu seringkali saya bersepeda dengan dupa
mengepul di sepeda saya, yang menyebabkan teman-teman sepeda saya merinding
dengan aroma khasnya.
Lazim? Tidak, anti mainstream? Saya saja tidak tahu yang mainstream itu
seperti apa.
Lalu mengapa berdupa?
Maka saya ceritakan;
Dupa sangat identik dengan ritual, terutama yang secara mind-set oleh
macam-macam media dikaitkan dalam ritual klenik. Lalu apa itu klenik? Bila kita
cari dari mbah gugel definisi klenik adalah “sesuatu yang tersembunyi”. Nah
apakah dupa itu sesuatu yang tersembunyi? sepertinya tidak dia berwujud dan
berasap, jadii sudah semestinya dia tidak klenik.
“Tapi kan yang tersembunyi di “balik dupa” itu?”
“nanti ngundang setan?”
Bila dikaitkan dengan klenik, yang adalah sesuatu yang tersembunyi,
anggap saja misteri. Bukan kah kemudian itu wajar di setiap agama juga sangat
khas dengan misteri Adi Kodrati-nya masing-masing? Mengapa “klenik” di
masyarakat ini begitu di stigma-kan? Bukankah Tuhan juga sangat misteri, yang
berarti juga sangat klenik?
Bila dikatakan ngundang setan? Ada lho agama yang dalam ritualnya butuh
menggunakan dupa? Terus mereka menyembah setan? Bukannya dengan dupa malah
datang berbagai roh baik (karena digunakan dalam ritual agama)?
Lalu bagaimana dengan dupa ini yang tercantol di sepeda?
Pada dasarnya manusia membutuhkan simbol, simbol sebagai penghubung
antara Manusia dengan Sang Adi Kodrati. Simbol itu bisa beragam macam; salah
satunya dupa.
Mengapa dupa?
Karena saya sangat familiar dengan dupa, di budaya Jawa juga erat dg
dupa, selain itu dupa juga media yang murah (dibandingkan kalau bawa bunga atau
menyan yang lebih “dianggap” serem). Juga cara saya memaknainya; bahwa doa-doa
dan permohonan saya ibaratkan batang dupa itu, dan dengan energi dan usaha (panas)
doa-doa dan permohonan itu diwujudkan menjadi tak berwujud (menyatu dengan
udara hingga hilang) menjadi satu dengan Sang yang Tak Berwujud, Sang Adi
Kodrati.
Lalu kaitannya dengan sepeda?
Ya, bersepeda adalah ibadah. Bersepeda itu salah satu laku. Dalam berabgai
ritus keagamaan ataupun ajarannya tentu ada laku; puasa, meditasi dan laku-laku
yang lain. Maka bersepeda pun adalah salah satu bentuk laku. Tak terbatas dalam
hal yang familer dengan ritus keagamaan, esensinya adalah satu pikir satu
tindakan. Ketika kita menjalani laku, kita berusaha menyelaraskan pikiran dan
tindakan kita. Karena sangat umum pikiran dan tindakan tidak berjalan dg
selaras. Maka dengan laku kita mencoba mengerem salah satunya.
Ketika pikir kita mendahului laku, arogansi, ego, ingin cepat sampai; instan
dan keinginan yang lain akan bertabrakan
dengan fisik yang lakunya tidak selaju dengan pikiran. Proses pengereman
pikiran ini menjadikan bersepeda adalah ritual beribadah.
Juga ketika fisik kita sebenarnya kuat, tapi ketika melihat tanjakan
membuat mental kita mlintir. Mau tidak mau kita butuh “sinkronisasi” lagi
ketika bersepeda supaya dapat mencapai puncak. Hingga pada akhirnya keselarasan
pikiran dan tindakan bisa kita wujudkan dengan bersepeda.
Dengan demikian, dari berbagai pemaknaan tersebut saya berani
mendeklarasikan bahwa dengan bersepeda saya juga beribadah. Perkara bentuknya
yang berbeda, esensi beribadahnya tetap sama dengan kepercayaan yang saya anut.
Karena bagaikan sepeda, banyak part yang berputar, ketika kita hanya di
permukaannya saja kita mudah terombang-ambingkan keadaan, tetapi ketika kita
merapat mendekat pada As-nya, esensinya. Kita menjadi pusat, pusat akan diri
kita sendiri menjadikan kita tidak terombang-ambingkan berbagai hal yang hanya
pada tataran kulit saja.
Ban bisa berbagai material, merek, dan bentuk, tapi As tetap hanya selonjor
logam silinder.
Salam bersepeda, dan jangan lupa bergembira :)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar