Malam tahun baru 2014 akhirnya pukul 01.15 bisa melewati Jalan
Malioboro. Menuju malioboro diurungkan melalui jembatan Gondolayu karena
antrean mobil masih pajang dari tugu hingga jembatan, pastinya tidak dari tugu
namun itu antrean mobil yang ingin menuju malioboro. Sayang saat itu mobil
tidak diperkenankan masuk ke ruas jalan Malioboro karena system buka-tutup
jalan. Hanya sepeda motor yang dapat melewati jalan Malioboro.
Nuansa jalan itu lain, ketika yang melewati hanya para pesepeda motor
dan pejalan kaki. Ramai namun lancar ketika semakin sedikit jenis alat
transportasi yang diperbolehkan memasuki suatu kawasan.
Nuansa lain juga muncul ketika memasuki jalan Mataram. Terlihat banyak
orang berjalan keluar dari jalan Malioboro, ada yang menuju mobilnya yang
terparkir di ruas jalan itu, beberapa juga berjalan kaki akan pulang.
Perjalananku hingga jalan Hayam Wuruk, terlihat masih banyak orang yang
berjalan menuju rumahnya di sekitar kawasan Lempuyangan.
Hal ini mencengangkan saya, menunjukkan bahwa antusias masyarakat akan
suatu event begitu besar dan untuk mencapai hal tersebut mereka rela berjalan
kaki. Namun mengapa mereka rela berjalan kaki? Jawaban sepertinya lebih
mengarah pada keadaan. Ketika mobil tidak bisa masuk Malioboro, mereka parker di
jalan Mataram dan rela berjalan menuju Malioboro. Bagi yang asli Jogja dan
tidak jauh mereka memilih jalan daripada ikut bermacet dengan kendaraan mereka.
Jalan Hayam wuruk ke malioboro memang tidak terlalu jauh, namun terasa
jauh untuk ukuran jarak saat ini dengan kondisi mudahnya akses sepeda motor,
hingga untuk ke warung dengan jarak kurang dari 200 meter saja menggunakan
sepeda motor. Dan masyarakat berjalan kaki ke Malioboro, salut!
Untuk pengguna mobil, keadaan macet dan buka tutup jalan memaksa mereka
berjalan kaki menuju malioboro. Ketika masyarakat terpojok pada aksesibilitas
kendaraan pada akhirnya moda transportasi bawaan alam yang bergerak, kaki,
sehingga mereka menjadi pejalan kaki.
Dari hal itu dapat dilihat bahwa sebenarnya masyarakat kita itu berdaya
dan mampu untuk menempuh jarak dalam memenuhi kebutuhannya dengan berjalan
kaki. Namun sepertinya pemikiran optimistis tersebut dikubur dalam-dalam oleh
adanya iming-iming palsu kemudahan yang berupa moda transportasi pribadi.
Bila kita ibaratkan jalan malioboro ditutup untuk mobil, pasti dan
harus masyyarakat tidak akan menggunakan mobil untuk ke malioboro, mereka akan
menggunakan kendaraan lain. Dengan begitu ruas jalan malioboro akan lebih
leluasa dan juga tidak merusak pondasi bangunan tua disekitar malioboro oleh
tekanan berat kendaraan yang lewat.
Pertanyaannya, apakah kita berani menggaungkan bahwa kita berdaya dan
mampu untuk berjalan kaki menggantikan transportasi pribadi yang begitu
memikat?
4-Jan-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar