Minggu ini minggu keramat bagi
umat Kristen baik Kristen Katholik maupun Kristen Protestan dan aliran kristen
yang lain. Di minggu yang keramat ini aku pergi ke 2 (dua) gereja yang berbeda, namun persamaannya adalah
aku duduk di luar bangunan gereja karena jemaatnya yang overdosis.
Nah disinipun bisa dilihat dari 2 kacamata, gerejanya
kebanyakan jemaat atau gerejanya kurang besar. Pasti gereja kaga mau kehilangan
jemaat, rugi bandar dong upetinya
(baca: persembahan) berkurang pasti bila ada suara demikian akan dibilangnya bangunan gerejanya yang udah kekecilan.
Tapi skip dulu lah itu bisa jadi tulisan tersendiri.
..
Jadi pertama, aku nggreja di GKJ Gondokusuman, kebagian duduk di luar, di halaman yang digunakan sebagai parkiran
motor kalau ibadah reguler. Di sana diberi tenda, dan kursi seminar ditata apik
ala seminar juga, menghadap lurus kedepan. Dengan
pencahayaan lampu cool day light ditengah depan disajikan layar dengan sumber gambar dari proyektor. Di depan pojok
kanan ada meja tempat roti dan anggur untuk perjamuan malam memperingati
perjamuan terakhir Yesus. Ok, ada masalah?
Mari dibandingkan,
Pada ibadah kedua, ibadah sabtu
malam, Sabtu Sunyi, malam reflektif bagi penganutnya. Saya beribadah di GKJ
Wonocatur. Di gereja ini juga aku kebagian di luar bangunan gereja, di tenda,
sisi barat gereja (karena emang perluasan lebih memungkinkan ke arah barat). Bangunan
gereja ini desain awalnya mimbar berada di sisi selatan, lalu tembok sisi barat
di jebol diganti pintu lipat sehingga panggung bisa diletakkan di ujung timur
dan perluasan bagi jemaat kearah barat. Ada layar tivi namun saat itu sedang
tidak digunakan. Tempat duduk mengarah ke panggung lurus kedepan, namun di
batas luar dan dalam bangunan gereja terdapat tiang yang berpotensi menghalangi
visual kedalam. Ok, ada masalah?
Kemenerusan Visual (Pandangan)
Di kedua tempat saya beribadah,
terdapat sedikit perbedaan, di tempat pertama tidak ada kemenerusan visual
langsung ke arah pengkhotbah, karena tempat duduk tidak menghadap ke arah
penghkhotbah, kedua ada potensi kemenerusan visual ke arah pengkhotbah tapi ada
halang rintang. Lalu apa pentingnya kemenerusan visual?
Kemenerusan visual dalam
beribadah menurut saya mutlak perlu, karena kita mengarahkan hati kita dalam
beribadah. Dengan demikian kita perlu konsentrasi pada sesuatu yang riil, real,
nyata, maka kita membutuhkan simbol. Bagi jemaat yang ada di dalam gedung
pastinya akan lebih mudah mengarahkan hati dalam beribadah karena nuansa sudah
terbangun, juga mempunyai visual yang jelas, kearah mimbar, dan disana
diperjelas lagi, dengan mimbar include pendeta berdiri disana plus simbol Salib
raksasa (biasanya) tambah lagi Quote yang terpampang raksasa. Jemaat dengan
mudah mengarahkan hati, sangat terarah, kedepan, pasti yaqueen. Lalu bagaimana
dengan yang diluar bangunan gereja?
Keterbatasan kapasitas bangunan
gereja menurut pandangan pribadi saya, adalah batas jumlah jemaat juga, karena
diluar bangunan gereja sangat sedikit yang direncanakan utuk menjaga kekhusukan
dan membatu jemaat mengarahkan hati dalam beribadah. Kalau sudah mbludak
yasudah bikin pepanthan. Di pontho, di bagi daerah pelayanan ibadahnya. Tapi konon
katanya membikin bangunan gereja baru kan sulit, yasudah dong ah, di ruat
jemaat yang ada di luar gedung gereja.
Pelayanan bagi jemaat diluar
gedung gereja saat ibadah difasilitasi dengan layar proyektor, layar teve dan
soundsystem yang handal. Sangat memuaskan karena tak sedikit uang jemaat
ataupun persembahan yang diberikan pada gereja untuk menjadi fasilitas ini. Hal
ini membuat kita bisa melihat lintas ruang via penayangan di proyektor maupun
teve. Nah, secara visual sudah terjadi kemenerusan yang diteruskan oleh
teknologi. Bagus menurut saya. Kini perlu juga dipikirkan pengarahan hati pada
jemaat dengan kemenerusan visual oleh teknologi tersebut. Mengarah ke urusan
hati, ini perlu nuansa. Ibarat mau nembak cewek ya kita ajak di candle light
dinner yang romantis dan aduhay.
Nuansa
“ marilah mengarahkan hatii…. Kepada
Tuhan….”
Ketika beribadah di gereja
Katholik, pasti ada deh nyanyian tersebut yang dibalas oleh jemaat
“sudah, kami arahkan”
(semoga kaga salah)
Nah! Hal yang mengasyikan di
gereja katholik, nuansa sakral tiap ekaristi dapat tercapai, dengan adanya
perlakuan yang berkenaan pada indra kita, suara, ritme, aroma dan gerakan. Tak dapat
dipungkiri, aksi olah tubuh juga mempengaruhi kita untuk mencapai tingkat
mengarahkan hati kepada Tuhan. Hal ini yang saya pikir sangat kurang di GKJ,
pol-polan duduk, berdiri, (kadang) salaman. Oke, itu bisa masuk hitungan. Tapi dalam
hal ini aku mau bicara tentang ruang.
|
Alternatif memunculkan titik fokus dengan altar, tak hanya sajian audio visual. Kelemahan: lokasi proyektor di tengah mengganggu pemandangan Kelebihan: fokus disatukan di tengah layar + altar |
|
alternatif pemunculan fokus pada ruang-ruang ibadah diluar gedung gereja Kelemahan: layar tidak di tengah Kelebihan: minim terganggu oleh peletakan mesin proyektor |
Nuansa ruang yang tercipta,
mempengaruhi pengalaman jemaat beribadah. Di dalam gedung gerja vs diluar
gedung gereja. Menghadap pada pengkhotbah dan menghadap layar teve. Apa bedanya
kita lihat siaran langsung pendeta yang tiap minggu khotbah di teve? Kita bisa
sambil leha-leha. Ah ya itu lah… kita perlu fokus! Jadi, apakah siaran langsung
ibadah dengan projektor dan atau teve tersebut memfokuskan atau malah
membuyarkan? Ya kalau saya, tergantung ukuran, peletakan, aksesori yang
melingkupinya.
Teve, di dalam box logam, nyala.
Kita lihat ke teve, tapi harus khusyuk kepada Tuhan. Kalau saya kok sulit ya. Atau
dengan layar 2x2m yang mantap dengan jarak lihat paling dekat 3 meter, belum
lagi yang kebagian duduk di belakang mesin proyektornya harus berjibaku menahan
kehangatan hembusan udara exhaust projektor menerpa wajah, okelah, meski mereka diluar, kita perhatikan juga lah
nuansa beribadah bagi mereka jangan hanya sekadar ada tempat untuk turut di
waktu yang sama beribadah. Tak hanya waktu, tapi ruang yang sama menghantar
pada tiap ibadah dan doa khusyuk kita. Nah kalau gegara gereja tak menyediakan
ruang beribadah yang nyaman lantas panyuwunan kaga sampai di Tuhan, emang
gereja mau tanggung jawab? Lha itu kan tergantung individu, bla bla bla.. pasti
ada lah.. mari lanjut..
Bolehlah sepengalaman saya
beribadah, dalam ruang yang berbeda dalam waktu yang sama, mempunyai ide untuk
menghasilkan kekhusyukan yang mendekati sama dengan yang berada di dalam gedung
gereja. Yak, sekali lagi Fokus. Di dalam punya altar, boleh lah ada altar kecil
di tiap ruang di luar yang digunakan untuk beribadah. Misal di sisi tertentu
gereja diluar bangunan, di depan layar atau teve ada altar kecil. Dilengkapi juga
dengan hiasan bunga, dan mungkin lilin besar mendampingi tivi sehingga
memperkaya pengalaman visual dan rasa bagi jemaat. Hiasan bunga janganlah Cuma di
mimbar saja, di distribusikan ke tiap-tiap titik fokus visual jemaat yang minim
mempunyai jalur pandangan ke dalam gedung gereja. Bantulah mereka juga untuk
fokus.
Waktu beribadah di GKJ
Gondokusuman, saat perjamuan suci, meja perjamuan ada di samping depan, ya, itu
sebagai fokus kita beribadah pada malam itu, kenapa kagak di taruh secara
frontal di depan, di bawah layar penampil gambar, sebagai fokus ibadah malam
itu bahwa ini memperingati perjamuan terakhir seorang yang sangat kita kagumi
dan hormati bahkan sembah, memperingati semua laku hidupnya dalam perjamuan ini.
Atau yang terpikir malah terbalik? Layar projektor butuh gede, nanti perangkat
perjamuan bisa mengganggu tampilan layar? Yasudahlah kecilkan juga bisa kan
tampilan layarnya.
|
diagram ruang di GKJ wonocatur, lebih terdapat akses visual masuk ke dalam bangunan gereja
|
Masih menyoal, perjamuan makan
malam, kalau malam, sangat asik pastinya bermain cahaya. Jangan lah diluar
pakai tipe cooldaylight, nuansanya seger, kaga syahdu. Pakailah lampu yang
warm, ala-ala candle light dinner, bahkan bila ada altar mini dengan
seperangkat alat perjamuan terakhir, kita kasih spot light. Jadilah kita punya
fokus, dalam beribadah meski diluar gedung gereja! Bahkan kalau projektor
mengganggu kasih aja di samping projektornya, di depan sisi kanan atau kiri,
meminimalisir sentoran angin hangat dan mengurangi fokus. Masa yang belakang
lihat bokong projektor? Kalau projektor di samping, yang belakang pun, bisa
fokus pada altar kecil yang di sediakan.
Sama halnya bila itu di GKJ
Wonocatur, meski hanya terdpat tiang di antara bangunan gereja dan para jemaat
diluar gedung gereja, secara ruang, itu adalah ruang yang berbeda. Sekalian saja
secara tegas dibedakan, berbeda ruang tapi satu waktu, tapi ruang itu sama-sama
menghantar kepada-Nya yang dihantarkan oleh Pendeta. Berilah masing-masing teve
sedikit hiasan, yang cantik, mungkin lilin besar, kan awet juga. Bunga-bunga. Sehingga
jemaat bisa terfokus pada simbol-simbol yang tidak secara langsung
menghubungkan dengan altar utama.
Bangunan
Bila nogmongin, tentang
bangunan, sebenernya gampang kok, di Jawa ada model bangunan yang dapat
mengakomodasi hal-hal diatas, keterputusan koneksi visual, dan mbludaknya
jemaat. Yak, Pendopo.. yang terdiri hanya atap, tiang dan umpak. Dari seluruh
penjuru pendopo dapat melihat altar pasti. Tapi Ya queen lah, pasti nanti akan
heboh di perkara keamanan. Nanti inilah itulah takut hilang, anunya, eh,
perlatan soundsystemnya, gamelannya, gendernya, drum-nya. Ya berarti harusnya
gereja ngopeni berbagai macam ruang yang terbentuk ketika mbludak dong ya?
Meskipun gereja adalah tempat
ibadah, namun ia tak serta merta tempat ziarah. Bayangkan, ada pemuda yang
sudah booking restoran meski gak terlalu mahal, tapi lokasinya ciamik, order
paket romantis, berniat menembak sang calon pacar, eh, ternyata ditolak. Bayangkan
juga ada seorang yang terlilit hutang kredit ponsel, esok hari harus mbayar,
padahal gajian baru turun 3 hari lagi karena suatu hal. Dan seorang ibu yang
bahagia karena alasan apapun itu, dan ingin mengucap syukur di hari itu juga,
kebetulan itu hari selasa. Apakah mereka dapat dengan mudah masuk ke dalam
gereja dan mungkin sujud di depan mimbar, dan berdoa mengungkapkan perasaaanya
saat itu secara pribadi pada Tuhan?
Gereja sebagai bangunan
eksklusif sangat mudah dijumpai. Yang hanya terbuka bagi pengunjung tertentu di
jam tertentu. Di jam tertentu oke lah, tapi pengunjung tertentu membatasi juga,
misal, ada acara persekutuan, kan harus yang mau ikut persekutuan yang bisa
akses. Lalu bangunan gereja seperti apa yang bisa membungkus kebutuhan keduanya
dan bahkan mentradisikan kegereja untuk beribadah pribadi gak hanya hari
tertentu saja?
“bangunan gereja sekarang harus
didesain mengadaptasi teknologi, bisa pakai projektor tanpa layar, penempatan
video terintegrasi, soundsytem dolby digital surround sound apik, kipas bahakan
AC terpadu” teknologi kini mengarahkan manusia beribadah, sehingga bisa juga
ditilik dari pandangan lian bahwa ibadah kita di dikte oleh teknologi, dengan
begitu ibadah kita off ketika teknologinya juga off. Karena ketika teknologinya
off harus dikunci rapat.
|
Contoh gereja Ganjuran dengan model pendopo yang dapat melanjutkan fokus visual jemaat ke dalam bangunan gereja bagi jemaat diluar gedung gereja Sumber: https://rocetta.wordpress.com/2017/06/11/sejarah-gereja-ganjuran/
|
Kita punya warisan bentuk
bangunan pendhopo, baiklah kita berawal merencanakan rumah ibadah dari bangunan
tersebut. Kita buka apa yang menjadi hak akses jemaat beribadah, kita batasi akses
bahkan kunci bagi yang memang dibutuhkan keamanan. Apakah bisa? Bisa, bisa kita
contoh misalnya gereja Ganjuran. Tapi kan itu luas? Ya kita contoh aja
konfigurasi dan fungsinya di lahan yang terbatas. Memang di Gereja Ganjuran
luas, tapi secara esensi, bangunan ibadahnya terbuka. Meski penuh, yang duduk
diluar bangunan gereja dapat akses visual langsung ke alatar, mimbar. Dan dibedakan
ibadah dan kunjungan ziarah, bagi yang ziarah, ibadah pribadi bisa di sisi
lainnya, di candinya. Kurang apa lagi coba, tapi ya kalau itu memang bisa
diterima, biasanya kan jemaat Kristen gengsi, bila dibandingkan pada umat
Katholik, bahkan sesama Protestan saja gengsi. Misalnya, banyak jemaat GKJ
memilih beribadah di GKI Gejayan, karena lebih asik kesana daripada ke GKJ,
yasudah tinggal studi banding saja kan ke GKI terkait, liturgi apa yang
digunakan, support apa yang dilakukan gereja kepada jemaat, pasti ada petunjuk
bila mau berkembang.
Tapi toh, kelihatannya ini
tulisan isinya kritik saja, kalau gitu, seperti kata lagunya mbak Inul
Daratista,
“ jangan marah, maafkanlah”
Selamat Paskah 2019