Minggu, 01 Oktober 2017

Puncak Gebang

 Alternatif tempat bercengkrama

Pemandangan ke arah barat, dengan hamparan sawah di bawah.
Suatu hari di akhir tahun 2016, ketika menikmati malam sambil scrolling layar ponsel, berharap ada barang murah di forum jual beli sepeda. Bertemu dengan postingan komunitas sepeda baru di DIY, Mataram Riders, yang mempunyai basecamp di Plered, Bantul. Meliihat postingan di FJB tersebut, saya jadi tertarik bergabung, juga rute-rute bersepeda mereka menantang. Saya komentari untuk mendapatkan kontak pesepeda yang memposting, dan berlanjutlah di minggu selanjutnya, hari selasa saya bergabung bersepeda bersama komunitas ini.

Trek yang saya lalui bersama komunitas sepeda ini dari Plered arah Segoroyoso menuju tanjakan legendaris; cino mati. Namun sebelum tanjakan cinomati kami berbelok ke kiri, arah depokan dan muter-muter nanjak, akhrinya perjalanan berhenti di sebuah tebing, yang syahdu untuk menatap kepergian sang surya ketika sore hari. Itulah puncak Gebang.

Bukan candi Gebang yang ada di utara UPN, tapi ini puncak Gebang di Bawuran, Bantul. Bila dari kota tugu Jogja bisa kita tempuh hanya dengan menggelinding sejauh 15km saja ke arah tenggara. Bila dari ringroad janti untuk menuju tempat ini, anda harus ke selatan hingga dua persimpangan, nah di persimpanan kedua ini (kalau ke kanan/barat arah kotagede) belok ke timur/kiri, mengikuti jalan, ada petigaan ambil kanan, ikuti terus sampai mentok daerah Segoroyoso, jalan berbelok kekiri, ikuti hingga ada pertigaan, ambil kiri. Setelah itu patokannya jalan utama berkelok ke kanan, dan dikiri ada jalan masuk kampung, nah di simpang Y tersebut, ada gang yang sedikit ngumpet di kanan/timur jalan. Gang-nya mimikri dengan bangunan di kanan-kirinya.  Oh, ya di simpang Y tersebut patokannya ada kandang sapinya. Nah bila ketemu gang ke arah timur tersebut, masuk dan ikuti. Hanya melewati dua rumah dan hamparan sawah terbentang bagai ucapan selamat datang menuju puncak Gebang. Ikuti jalan hingga menanjak dan nikmati hingga sampailah di puncak Gebang.


Sore
suasana sore ketika musim kering
Waktu yang menurut saya terbaik menikmati tempat ini adalah sore hari. Karena tempat ini menyediakan pandangan yang leluasa, hampir tanpa hambatan untuk menikmati sinar matahari sore dan proses tenggelamnya. Bila musim panas pemandangan syahdu dengan pepohonan setengah keringnya, bila musim basah, akan lebih bernuansa refreshing, ijo-ijo daun pepohonan. Ditambah bila sawah terbentang dibawah sedang hijau. Komposisi pemandangan sawah di bawah dan batuan di tebing,  sawah yang terlihat di bawah bagaikan  karpet tergelar empuk enak untuk gulung-gulung. Pemandangan-pemandangan ini membuat rileks mata juga pikiran yang bekerja keras ketika beraktifitas seharian. Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta berinteraksi dengan sesama. sumber 

Tak perlu khawatir juga bila datang tak membawa bekal, karena ada beberapa penjual dengan warung bambunya. Yang hampir selalu penuh pesanan minuman ketika lokasi ramai pengunjung. Menikmati sore sembari meneguk sedikit-demi sedikit teh hangat atau kopi ditemani gorengan merupakan makanan rohani bagi ketentraman jiwa. Duduk-duduk di bebatuan alami atau di bangku dari kayu, silakan dipilih, atau kalau ingin lesehan bisa meminjam tikar pada warung.
Bila beruntung dapat menikmati suguhan dari sang Ilahi

Kini, pengunjung lebih bervariatif, dari keluarga dengan anaknya yang menikmati sore secara murahmeriah dan mendapatkan pemandangan alam ala resort, pemuda-pemudi yang merajut kenangan, pemuda yang pengen nongkrong saja, hingga pesepeda yang membutuhkan pemandangan asik diatas bukit yang tak terlampau sadis tanjakannya.

Kadang matahari sudah meninggalkan kami terlampau cepat karena ada mendung atau awan pekat di sisi barat, tapi itu tak mengurangi indahnya matahari terbenam, meski hanya terbenam di balik awan.


Jarak-Waktu-Kualitas
Dengan jarak 10-15km dari kota Jogja, lokasi ini tidak terlampau jauh. Juga bila dicapai dengan moda sepeda. Bila dengan sepeda, saya sarankan dari kota berangkat jam 15 atau 15.30 supaya sampai  di puncak Gebang masih mendapat waktu cukup untuk istirahat dan menikmati tenggelamnya matahari.
Cari saja puncak gebang di googlemap bila ingin kesini.
Jarak yang relatif sama, bisa sampai bukit bintang, ataupun candi Abang. Meski di buit bintang pemandangan yang disajikan lebih aduhay, namun nuansa disana sudah sangat komersil. Kita datang untuk bertransaksi. Bangunan-bangunan warung yang sengaja dibuat supaya kita harus membayar untuk menikmati pemandangan. Berbeda dengan di puncak gebang, menuju kesana sudah disajikan pengalaman ruang melewati jalanan yang masih banyak sawahnya, sampai di puncak gebang, kita bisa leluasa memandang pemandangan hampir tanpa halangan. Warung di lokasi ini berada di timur pemandangan. Belum bila datang dengan sepeda, dan diatas bertemu dengan sesama pesepeda, cerita ngalor ngidul dan teman baru didapat.
 
Masyarakat sekitar lokasi mempercantik, yang dari jauh mengapresiasi
sruput teh anget dan cuci mata.

Lokasi puncak gebang ini konon merupakan tanah pribadi, bukan aset desa. Diluar masalah kepemilikan, dan lokasi yang strategis, adanya tempat ini meberikan dampak positif bagi masyarakat. Memberikan sarana wisata murah-meriah dan yang paling penting menurut saya, lahan puncak gebang ini menjadi ruang publik yang semakin langka dan jarang direncanakan secara baik oleh pemerintah. Kecenderungan pemikiran selama ini ruang publik hanya pemborosan lahan, karena berarti lahan tidak terbangun = tidak menguntungkan. Tapi tidak bagi pandangan saya, ruang publik dibutuhkan meski tidak profit, tapi ada benefit bagi banyak orang. Bahkan menurut pak presiden, "Membangun ruang publik yang berkualitas sama saja dengan membangun manusia yang berkualitas" sumber.
Setiap hari mempunyai senjanya sendiri.

Semoga puncak gebang tetap menjadi wisata yang bersifat alternatif, dan tidak menuju komersil. Dan semoga yang punya lahan di puncak gebang diberikan pahala yang begitu besar, karena memberikan kebahagiaan rohani bagi tiap pengunjung yang menikmati nuansa di lokasi tersebut.

jangan ditiru bila sepeda berat.
Jadi, kapan kita mulai meningkatkan kualitas hidup kita dengan mengapresiasi ruang publik yang ada?

tak lupa mengabadikan sang senja


narsis dulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar