Suatu hari di akhir tahun 2016,
ketika menikmati malam sambil scrolling layar ponsel, berharap ada barang murah
di forum jual beli sepeda. Bertemu dengan postingan komunitas sepeda baru di
DIY, Mataram Riders, yang mempunyai basecamp di Plered, Bantul. Meliihat
postingan di FJB tersebut, saya jadi tertarik bergabung, juga rute-rute
bersepeda mereka menantang. Saya komentari untuk mendapatkan kontak pesepeda
yang memposting, dan berlanjutlah di minggu selanjutnya, hari selasa saya
bergabung bersepeda bersama komunitas ini.
Trek yang saya lalui bersama
komunitas sepeda ini dari Plered arah Segoroyoso menuju tanjakan legendaris;
cino mati. Namun sebelum tanjakan cinomati kami berbelok ke kiri, arah depokan
dan muter-muter nanjak, akhrinya perjalanan berhenti di sebuah tebing, yang
syahdu untuk menatap kepergian sang surya ketika sore hari. Itulah puncak
Gebang.
Bukan candi Gebang yang ada di
utara UPN, tapi ini puncak Gebang di Bawuran, Bantul. Bila dari kota tugu Jogja
bisa kita tempuh hanya dengan menggelinding sejauh 15km saja ke arah tenggara.
Bila dari ringroad janti untuk menuju tempat ini, anda harus ke selatan hingga
dua persimpangan, nah di persimpanan kedua ini (kalau ke kanan/barat arah
kotagede) belok ke timur/kiri, mengikuti jalan, ada petigaan ambil kanan, ikuti
terus sampai mentok daerah Segoroyoso, jalan berbelok kekiri, ikuti hingga ada
pertigaan, ambil kiri. Setelah itu patokannya jalan utama berkelok ke kanan,
dan dikiri ada jalan masuk kampung, nah di simpang Y tersebut, ada gang yang
sedikit ngumpet di kanan/timur jalan. Gang-nya mimikri dengan bangunan di
kanan-kirinya. Oh, ya di simpang Y
tersebut patokannya ada kandang sapinya. Nah bila ketemu gang ke arah timur
tersebut, masuk dan ikuti. Hanya melewati dua rumah dan hamparan sawah
terbentang bagai ucapan selamat datang menuju puncak Gebang. Ikuti jalan hingga
menanjak dan nikmati hingga sampailah di puncak Gebang.
Waktu yang menurut saya terbaik
menikmati tempat ini adalah sore hari. Karena tempat ini menyediakan pandangan
yang leluasa, hampir tanpa hambatan untuk menikmati sinar matahari sore dan
proses tenggelamnya. Bila musim panas pemandangan syahdu dengan pepohonan
setengah keringnya, bila musim basah, akan lebih bernuansa refreshing, ijo-ijo
daun pepohonan. Ditambah bila sawah terbentang dibawah sedang hijau. Komposisi pemandangan
sawah di bawah dan batuan di tebing, sawah
yang terlihat di bawah bagaikan karpet
tergelar empuk enak untuk gulung-gulung. Pemandangan-pemandangan ini membuat
rileks mata juga pikiran yang bekerja keras ketika beraktifitas seharian. Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan
sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta
berinteraksi dengan sesama. sumber
Tak perlu khawatir juga bila
datang tak membawa bekal, karena ada beberapa penjual dengan warung bambunya.
Yang hampir selalu penuh pesanan minuman ketika lokasi ramai pengunjung.
Menikmati sore sembari meneguk sedikit-demi sedikit teh hangat atau kopi
ditemani gorengan merupakan makanan rohani bagi ketentraman jiwa. Duduk-duduk
di bebatuan alami atau di bangku dari kayu, silakan dipilih, atau kalau ingin
lesehan bisa meminjam tikar pada warung.
Kini, pengunjung lebih
bervariatif, dari keluarga dengan anaknya yang menikmati sore secara
murahmeriah dan mendapatkan pemandangan alam ala resort, pemuda-pemudi yang
merajut kenangan, pemuda yang pengen nongkrong saja, hingga pesepeda yang
membutuhkan pemandangan asik diatas bukit yang tak terlampau sadis tanjakannya.
Kadang matahari sudah
meninggalkan kami terlampau cepat karena ada mendung atau awan pekat di sisi
barat, tapi itu tak mengurangi indahnya matahari terbenam, meski hanya terbenam
di balik awan.
Jarak-Waktu-Kualitas
Dengan jarak 10-15km dari kota
Jogja, lokasi ini tidak terlampau jauh. Juga bila dicapai dengan moda sepeda.
Bila dengan sepeda, saya sarankan dari kota berangkat jam 15 atau 15.30 supaya
sampai di puncak Gebang masih mendapat
waktu cukup untuk istirahat dan menikmati tenggelamnya matahari.
Jarak yang relatif sama, bisa
sampai bukit bintang, ataupun candi Abang. Meski di buit bintang pemandangan
yang disajikan lebih aduhay, namun nuansa disana sudah sangat komersil. Kita
datang untuk bertransaksi. Bangunan-bangunan warung yang sengaja dibuat supaya
kita harus membayar untuk menikmati pemandangan. Berbeda dengan di puncak
gebang, menuju kesana sudah disajikan pengalaman ruang melewati jalanan yang
masih banyak sawahnya, sampai di puncak gebang, kita bisa leluasa memandang
pemandangan hampir tanpa halangan. Warung di lokasi ini berada di timur
pemandangan. Belum bila datang dengan sepeda, dan diatas bertemu dengan sesama
pesepeda, cerita ngalor ngidul dan teman baru didapat.
![]() |
| Masyarakat sekitar lokasi mempercantik, yang dari jauh mengapresiasi |
![]() |
| sruput teh anget dan cuci mata. |
Lokasi puncak gebang ini konon merupakan tanah pribadi, bukan aset desa. Diluar masalah kepemilikan, dan lokasi yang strategis, adanya tempat ini meberikan dampak positif bagi masyarakat. Memberikan sarana wisata murah-meriah dan yang paling penting menurut saya, lahan puncak gebang ini menjadi ruang publik yang semakin langka dan jarang direncanakan secara baik oleh pemerintah. Kecenderungan pemikiran selama ini ruang publik hanya pemborosan lahan, karena berarti lahan tidak terbangun = tidak menguntungkan. Tapi tidak bagi pandangan saya, ruang publik dibutuhkan meski tidak profit, tapi ada benefit bagi banyak orang. Bahkan menurut pak presiden, "Membangun ruang publik yang berkualitas sama saja dengan membangun manusia yang berkualitas" sumber.
![]() |
| Setiap hari mempunyai senjanya sendiri. |
Semoga puncak gebang tetap menjadi wisata yang bersifat alternatif, dan tidak menuju komersil. Dan semoga yang punya lahan di puncak gebang diberikan pahala yang begitu besar, karena memberikan kebahagiaan rohani bagi tiap pengunjung yang menikmati nuansa di lokasi tersebut.
Jadi, kapan kita mulai meningkatkan kualitas hidup kita dengan mengapresiasi ruang publik yang ada?
![]() |
| tak lupa mengabadikan sang senja |










Tidak ada komentar:
Posting Komentar